Burung
Burung

Mata pelajaran bahasa Indonesia mempunyai kedudukan khusus dalam kurikulum 2013. Kedudukan mata pelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 adalah sebagai penghela peradaban. Artinya, mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan sarana untuk meningkatkan peradaban manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan karakter budaya Indonesia. Mata pelajaran bahasa Indonesia diharapkan mampu menjembatani antara nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan siswa penerus bangsa.

Upaya untuk menjadikan mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai penghela peradapan harus segera dilakukan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah semakin menipisnya karakter nilai budaya Indonesia. Banyak kasus yang menimpa anak usia sekolah yang disebabkan kurangnya kesadaran akan nilai budaya, seperti pemerkosaan, pencurian, hamil diluar nikah, dan lain-lain. Dengan maraknya kasus seperti itu, mata pelajaran bahasa Indonesia mempunyai tantangan baru yang lebih berat. Bukan hanya tentang bagaimana siswa berbahasa, tetapi juga tentang bagaimana bahasa itu seharusnya digunakan sebagai wujud karakter seseorang (siswa).

Keberadaan nilai-nilai luhur budaya Indonesia mulai luntur. Nilai-nilai itu tak sepenuhnya tercermin lagi dalam tindakan masyarakat Indonesia. Banyak yang melupakan tentang keberadaannya. Bahkan, para orang tua (sengaja) lupa mengajarkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Tentu saja ini menjadi sangat ironi ketika para pendidik mengajarkan nilai luhur di sekolah, tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak melakukannya. Akhirnya mereka lupa tentang apa yang diajarkan di sekolah.

Maka dari itu diperlukan strategi jitu dalam kurikulum  2013 yang tercermin secara nyata untuk menanamkan nilai luhur bangsa ini kepada siswa. Tidak hanya itu, nilai-nilai tersebut harus tertanam kuat di ingatan siswa sampai ia tua bahkan sampai mati. Dengan seperti itu, niscaya keberadaan nilai luhur bangsa ini akan awet keberadaanya.

Dalam kurikulum 2013, nilai luhur bangsa Indonesia terumuskan dalam kompetensi dasar angka satu dan angka dua. Kompetensi dasar angka satu memuat nilai sprittual bangsa Indonesia. kompetensi dasar angka dua memuat nilai-nilai sosial bangsa indonsia. Masalahnya adalah implementasi standar kompetensi ini belum jelas. Konsep yang terumus dalam kompetensi dasar satu dan dua sangat abstrak bahkan untuk seorang guru. Misalnya, bagaimana kita mengajari bersyukur kepada tuhan jika syukur itu tidak nyata.

Fabel menjadi solusi termudah untuk mengatasi lunturnya nilai budaya Indonesia. Fabel memuat nilai-nilai luhur bangsa ini dan mengemasnya secara menarik dalam nuansa dunia binatang. Fabel pulalah yang akan menjembatani konsep abstrak kurikulum 2013 kompetensi satu dan dua menjadi nyata dan dapat diimplementasikan secara mudah.

Fabel telah menjadi bagian dari bangsa ini dan melekat di benak masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kalimat tanya “Siapa yang tak ingat cerita Kancil Mencuri Timun?”.

Orang Indonesia cenderung mudah mengingat fabel daripada cerita-cerita yang lain. Dunia binantang telah lama melekat dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan hewan fabel khas tiap-tiap daerah, misalnya Jawa dengan Kancil, Sunda dengan kura-kura, Toraja dengan kera, atau Bali dengan induk ayam hitam. Hewan-hewan ini telah melekat erat di jiwa masyarakat setempat dan takkan dilupakan karena telah tertanam kuat.

Kelebihan fabel diantara produk sastra lainnya ada pada tokohnya. Secara khas, tokoh fable pasti hewan. Hewan dapat digolongkan sebagai makhluk hidup yang derajatnya di bawah manusia. Fabel menyajikan tokoh-tokoh hewan ini seakan dapat berperilaku dan dapat berbicara layaknya manusia. Hewan-hewan ini juga mempunyai konflik sama yang sering dialami oleh manusia.

Pada dasarnya manusia tak suka digurui. Manusia juga tidak mau direndahkan oleh manusia lain. Fable dirasa menjadi simbol yang kuat untuk mengajari manusia berkehidupan. Tokoh hewan mewakili manusia menjadi symbol yang kuat dalam mengajari manusia. Manusia pasti tak pernah mau jika dianggap lebih rendah dari hewan. Jika hewan saja bisa berperilaku baik, manusia pun akan tidak mau kalah dengan hewan. Hal ini adalah hakikat utama fabel, yaitu mengajari tanpa menggurui, menasihati tanpa merendahkan, dan menyadarkan tanpa melukai siapa pun.

Maka dari itu fabel dapat digunakan sebagai sarana penghela peradaban manusia yang efektif. Kombinasi antara cerita yang menarik dengan muatan yang terkandung di dalamnya akan melekat erat di hati siswa yang pernah membaca fabel.

Namun, harus ada sedikit modifikasi cerita fabel yang dibuat. Fabel yang selama ini beredar hanya menggambarkan hewan-hewan yang sulit ditemui keberadaanya. Misalnya, untuk melihat kancil harus ke hutan atau ke kebun binantang, untuk melihat kera pun juga seperti itu. Hal inilah yang membuat fabel mudah diingat tapi nilai yang terkandung sangat jarang digunakan. Frekuensi pemanggilan ingatan tentang nilai budaya sangat rendah karena masyarakat jarang melihat/mengalami peristiwa agar ingatan itu dipanggil.

Contohnya adalah jika kita pernah membaca kancil mencuri timun, pelajaran yang seseorang dapatkan adalah jangan mencuri timun. Namun, karena seseorang tidak sering mengingatnya, terkadang tetap melakukan tindakan pencurian. Jika kancil itu sering dilihat seseorang, semakin sering pula frekuensi mengingat seseorang bahwa mencuri itu tidak diperbolehkan. Jadi, fabel dapat dikatakan sebagai penghubung antara ingatan seseorang dengan pesan yang disampaikan.

Maka dari itu, dibutuhkan sebuah cara agar muatan dalam fabel tidak hanya diingat, tetapi juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara yang paling mudah untuk diterapkan dalam kurikulum 2013.

  1. Awali setiap pelajaran bahasa Indonesia dengan fabel

Awalilah pelajaran bahasa Indonesia dengan fabel yang berisi sesuai dengan kompetensi sosial dan spriritual kurikulum 2013. Dengan cara seperti ini, guru sudah separuh langkah mengajarkan kompetensi dasar spiritual dan sosial. Guru hanya perlu menguatkannya dalam langkah pembelajaran bahasa Indonesia.

Dengan cara seperti ini siswa akan terkondisi dengan baik. Siswa akan memasuki zona alfa. Zona alfa adalah sebuah kondisi ketika seseorang siap menerima materi yang akan diberikan. Cara yang bisa digunakan untuk memasuki zona alfa ini adalah dengan humor, musik, dan ice breaking. Fabel sudah dapat mewakili ketiganya. Guru bisa menyisipkan music, dan humor ketika menyampaikan fabel. Apalagi jika fabel tersebut disampaikan secara menarik dan amanat yang terkandung diterima dengan baik. Tentu dengan keadaan seperti ini siswa akan lebih mudah memahami materi.

Lalu bagaimana jika materi yang diajarkan itu adalah materi sastra yang lain? Misalnya puisi, pantun, drama. Bukankah hal tersebut sangat mudah dijawab bagi seorang guru yang kreatif. Cerita (dalam hal ini fabel) dapat disisipi semua hal yang diinginkan guru. Misalnya jika ingin mengajarkan pantun, guru dapat menyisipkan pantun di dalam fabelnya.

 

  1. Hewan yang digunakan dalam fabel haruslah hewan yang sering ditemui

Selama ini hewan-hewan yang dijadikan tokoh dalam fabel sebagian besar adalah hewan yang sulit ditemui, misalnya kancil, buaya, ular, dsb. Seseorang harus pergi ke kebun binatang atau hutan untuk melihat kancil, atau harus pergi ke rawa untuk melihat buaya. Hal ini dirasa wajar, tapi hal ini pula yang berefek menjadikan fabel hanyalah sebuah cerita tanpa makna berkesan.

Seharusnya fabel mencritakan kehidupan hewan yang ada di sekitar lingkungan hidup sehar-hari, misalnya semut, nyamuk, cicak, dan lain sebagainya. Syarat utamanya adalah hewan tersebut ditemui hampis setiap hari.

Dengan konsep seperti ini diharapkan seseorang yang pernah membaca fabel tentang hewan yang sreing ditemui, semakin sering pula ia mengingat amanat yang disampaikan dari fabel tersebut. Jika seseorang membaca cerita kancil jarang ada lasan untuk mengingat amanita cerita kancil karena dia tidak sering melihat kancil. Namun, jika dia membaca cerita nyamuk, akan sering pula alasan untuk mengingat amanat dari seekor nyamuk. Semakin banyak frekuensi pengingatan amanat fabel, akan membantu penanaman karakter yang diharapkan dari fabel yang pernah dibacanya.

Konsep inilah yang harus ada di setiap fabel modern. Hewan-hewan keseharianlah yang harus menjadi tokoh utama dalam fabel. Jembatan yang terbangun antara tokoh hewan dengan amanat cerita dapat meningkatkan kualitas ingatan pembentuk karakter pada seseorang yang membaca fabel.

 

  1. Latihlah siswa untuk mencipta fabelnya sendiri

Agar amanat itu semakin kuat terpatri dalam otak, salah satu alternatifnya adalah melatih siswa tidak hanya membaca fabel, tetapi juga menulis/membuat fabelnya sendiri. Dengan cara seperti ini, siswa akan lebih ingat muatan fabel yang dibuatnya. Dengan menuliskan fabel buatannya, siswa dibimbing untuk bisa mendidik dirinya sendiri dan orang lain.

Mencipta fabel, selain untuk kepentingan kualitas ingatan, juga sebagai sarana untuk melestarikan budaya menulis yang variatif. Selama ini produk sastra populer hanya puisi, cerpen, drama. Fabel belum mendapat tempat dengan porsi yang sama jika dibandingkan dengan karya sastra yang lain. Semakin populer fabel, semakin besar pula minat seseorang untuk membaca fabel.

Jika keadaan ini tercapai maka, manusia bangsa ini akan lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Karena fabel dapat digunakan sebagai refleksi, pengingat, dan pendidik yang baik. Mengajari tanpa menggurui, menasihati tanpa merendahkan, dan menyadarkan tanpa melukai. Inilah fabel. Berkenaan dengan pemanfaatan fabel sebagai sarana mengasah kepekaan spiritual dan sosial, perlu adanya tindakan dan penelitian yang terkait dengan hal ini.

 

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”