PUISI, DEKLAMATOR, DAN JELMAANNYA #2
Selain cinta hal yang tak terdefinisi lainya adalah puisi. Puisi telah menjelma sosok yang susah diidentifikasi. Semua bisa dikatakan puisi, baik puisi yang ditulis di antologi puisi, koran maupun sekadar ocehan twitter. Kalau seperti ini, maka keberadaan puisi dapat di mana saja dan kapan saja. Produktivitas puisi yang dihasilkan para “penyair” ini telah menembus batas ruang dan batas apresiasi.
Namun, ketika puisi-puisi ini semakin populer, justru puisilah yang kehilangan nyawa. Puisi-puisi yang dilahirkan oleh para penyair sungguhan kalah seketika oleh para penyair twitter yang luar biasa produktivitasnya. Maka wajar saja ketika Joko Pinurbo menerbitkan “puitwit”, yaitu puisi-puisi yang tak lebih dari 140 karakter dan melalui media twitter. Puitwit tetap tak kehilangan dayanya walau hanya diungkap tak lebih dari 140 karakter. Mungkin ini sesuai dengan ciri khas puisi yaitu pemadatan makna dalam kata.
Di sisi lain, masyarakat semakin tak tertarik membaca puisi di koran, apalagi yang dibukukan. Jarang sekali antologi puisi yang bisa terbit ulang hingga puluhan kali, bahkan untuk menghabiskan stok terbitanya, para penyair mengobral puisi ke mana-mana. Ironi bukan? Ketika puisi di twitter populer justru puisi “asli” menjadi semakin tidak populer.
Oleh karena itu muncul sebuah anggapan bahawa puisi tak boleh terhenti pada naskah. Puisi harus menjelma ke bentuk lain. Puisi harus mengubah dirinya menjadi sosok yang menarik untuk dinikmati. Puisi harus mendatangi masyarakat, bukan masyarakatlah yang mendatangi puisi. Intinya bagaimana membuat puisi menjadi semenarik mungkin untuk dikemas menjadi sajian yang menarik tanpa mengotori hakikat puisi.
Oleh karena itu, munculah berbagai sajian puisi, seperti musikalisasi puisi, teatrikalisasi puisi, sinematisasi puisi. Hal ini dilakukan semata-mata agar puisi lebih menarik dinikamati tanpa mengotori hakikat puisi. Puisi yang biasanya terhenti pada naskah, harus segera menjelma dalam bentuk lain jika tidak ingin hilang di telan bumi. Namun, produktivitas musikalisai puisi, teatrikalisasi puisi dan sinematisasi puisi belum bisa mengimbangi dengan produktivitas jumlah puisi yang membludak.
Deklamator menjadi alternatif yang paling mudah untuk melampiaskan hasrat berpuisi. Tentu saja kemampuan berdeklamasi bukanlah kemampuan yang mudah. Puisi tidak sekadar dibacakan tetapi juga dikomunikasikan dengan cara yang sakral. Deklamator bisa mnyajikan jutaan puisi dengan caranya. Ini bisa mengimbangi produktivitas puisi yang berlebihan.
Ibarat pencipta lagu dan penyanyi, begitu pula penyair dan deklamator. Sebuah lagu dapat terkenal “lagunya” jika dibawakan oleh penyanyi yang tepat. Sebuah puisi dapat pula terkenal “puisinya” jika dibawakan oleh deklamator yang andal. Tentu saja keadaan ini harus disertai eksistensi panggung-panggung pertunjukan puisi yang harus sering dimunculkan.
Jadi, puisi yang semakin tidak diminati harus menjelma ke dalam bentuk sajian yang punya daya pukau luar biasa. Ini strategi termudah agar puisi dapat kembali diminati secara sakral. Sajian-sajian puisi haruslah tidak merusak hakikat puisi selama ini. Musikalisai puisi, teatrikalisasi puisi, sinematisasi puisi dll, dapat saja menjadi solusi, tapi tugas para deklamator inilah yang harus menjadikan puisi syahdu untuk dinikmati.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Tinggalkan Balasan