BAHASAN tentang cinta seolah tiada tepinya. Berbagai macam sudut pandang hadir ke permukaan untuk mendefinisikan secara pasti tentang arti cinta yang sesungguhnya.
Namun, pada umumnya cinta banyak dikupas pada aspek hubungan spesial antara pria dan wanita dewasa. Selebihnya, kurang mendapat perhatian memadai. Padahal, dalam kehidupan, bukan hanya remaja, anak kecil pun sudah akrab dengan kata cinta.
Anak-anak kita hari ini, disadari atau tidak telah terkontaminasi dengan pengertian dan praktik cinta yang salah, khususnya pada aspek hubungan lawan jenis. Bisa dibayangkan, anak belum TK saja sudah biasa mengatakan kata pacar.
Lebih dari sekedar kata, anak-anak balita ini juga memberi perhatian khusus kepada teman yang diakuinya sebagai pacar. Seorang ibu pernah bertutur, suatu saat anak putrinya terlihat cukup sibuk mempersiapkan sesuatu yang akan dibawa ke sekolah. Setelah diteliti, ternyata ada buah dan susu mineral yang lebih dari satu.
Keesokan harinya, sang ibu bertanya kepada anaknya. “Nak, kenapa kemarin bawa buah dan susu agak banyak?” Sang anak menjawab polos, “Itu kan untuk pacar aku di sekolah ma. Dia itu anaknya baik, suka ngasih susu juga ke aku. Teman-teman bilang dia itu pacarku,” jelasnya.
Berikan Pemahaman
Mungkin ada beragam pendapat terhadap kasus tersebut. Tetapi yang namanya anak, meskipun secara umur, akalnya belum mampu bekerja secara dewasa, tetapi memori dan perasaannya sudah mulai aktif. Kita tidak bisa bayangkan, jika suatu saat dia dewasa dan menikah, kemudian menganggap masa sekolah dengan pacarnya itu dianggap sebagai masa paling indah.
Jelas ini suat kekeliruan. Belum lagi, kalau kemudian ada kemungkinan yang mengarah hubungan masa kecil itu bersemi kala dewasa. Sementara satu di antaranya telah berumah tangga. Jelas ini bahaya. Mungkin, ini terlalu jauh, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa memori kebanyakan orang bersama pacar adalah memori yang sulit dilupakan.
Untuk itu, tugas orangtua di era modern ini tidak cukup pada soal anak berangkat sekolah atau tidak. Tetapi lebih jauh harus memantau pergaulan anak-anaknya, meskipun masih usia TK atau balita. Karena, pada masa tersebut, memori sudah aktif dan perasaan juga sudah bekerja.
Kasus lain cukup menggelikan, tetapi ini berdampak serius terhadap pemahaman anak. Suatu saat di senja hari, anak-anak bermain bersama teman sebayanya. Seorang bu melihat tanpa sengaja, putrinya berpelukan dan berciuman dengan anak tetangga yang laki-laki.
Usai makan malam, sang ibu bertanya. “Kenapa tadi mainnya kok pakai ciuman dan pelukan segala?” Anaknya dengan santai menjawab, “Itu kasih sayang ma. Aku sayang sama teman-temanku.”
Tentu ini satu peristiwa yang boleh jadi kasuistik. Tetapi, kalau dinalar secara sederhana saja, pemahaman dan praktik cinta yang salah ini memang merebak dimana-mana, terutama di televisi. Berbagai tayangan film, sinetron, termasuk iklan produk, bahkan kini juga masuk dalam dunia komedi, secara perlahan namun pasti semua itu merasuki otak anak.
Maka di sini, para orangtua mesti waspada. Pepatah mengatakan, kebakaran besar terjadi berawal dari percikan api yang kecil, namun tidak disadari dan dibiarkan. Lantas bagaimana kita memahamkan masalah cinta dan kasih kepada anak-anak.
Islam telah memberikan panduan jelas tentang hal ini. Pertama, orangtua mesti mengenalkan kepada anak-anaknya perihal jenis kelamin. Anak harus tau bahwa dirinya perempuan atau laki-laki. Setelah itu, masuk satu penjelasan bahwa seorang perempuan dilarang berciuman atau berpelukan dengan teman laki-laki.
Kedua, anak diarahkan untuk memahami apa itu cinta dan kasih sayang. Berciuman dan berpelukan itu memang tanda cinta dan kasih sayang. Tetapi itu hanya berlaku dalam keluarga, anak kepada ayah, atau ayah kepada ibu. Ciuman dan pelukan itu tidak berarti cinta dan kasih bagi anak-anak yang beda jenis kelamin.
Pengertian ini mungkin dianggap terlalu berlebihan atau lebay dalam bahasa gaulnya, tetapi ini harus masuk dalam sistim kesadaran anak-anak kita sendiri, sebagai kandidat Muslim penerus generasi umat.
Ketiga, selain membiasakan berjilbab bagi anak perempuan, setiap hari orangtua mesti memberikan atau menguji pemahaman anak perempuannya perihal jilbab. “Kenapa pakai jilbab,” misalnya suatu saat kepada anak yang sudah biasa berjilbab. Hal ini untuk mengetahui apakah anak sudah memahami atau sekedar terbiasa berjilbab saja.
Tanamkan Rasa Cinta Kepada Allah
Tugas terberat para orangtua adalah menanamkan rasa cinta kepada Allah pada diri anak-anaknya. Tetapi, ini bukan suatu misteri. Ada keteladanan yang diajarkan oleh Ibunda Siti Maryam.
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّراً فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 3: 35).
Secara eksplisit ini memang sebuah doa, tetapi secara implisit ini adalah satu tekad besar seorang ibu untuk menanamkan rasa cinta kepada Allah yang begitu kuat kepada anaknya. Peristiwa ini juga mengajarkan kita bahwa berkeinginan apa pun kita, lebih-lebih keinginan yang mulia, jangan sampai tidak diawali dengan doa.
Lantas, bagaimana teknis untuk menanamkan cinta kepada Allah pada diri seorang anak? Ada banyak pendapat mengenai hal ini. Namun, cinta itu bisa tumbuh tidak cukup hanya dengan pemaparan abstrak. Sangat baik jika para orangtua senantiasa menceritakan kisah keteladanan hidup para Nabi, khususnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Bagaimana para Nabi itu membangun diri, kedisiplinan, kesabaran dan kesungguhan dalam berjuang. Bahkan karena begitu semangatnya para Nabi itu sampai tidak meninggalkan sholat, sampai-sampai tengah malam pun bangun sholat dan seterusnya, hingga Allah akhirnya meridhai dan mencintai Nabi-Nabi itu dan menjadikan mereka sebagai semulia-mulia manusia.
Kemudian, andai kata anak meminta sesuatu dari orangtua, orangtua hendaknya tidak langsung menjawab, “Iya, kapan-kapan kita beli ya.” Tapi sampaikanlah kepada mereka, “Iya, boleh. Ayo kita perbanyak doa, dzikir dan syukur kepada Allah, sehingga Allah ridha dan cinta kepada kita dan memudahkan kita untuk mendapatkannya,” misalnya.
Jadi, sering-seringlah mengenalkan Allah melalui kisah teladan para Nabi. Kemudian, ajak anak-anak kita untuk terus mendekat kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi. Dengan demikian, insya Allah memori anak akan dipenuhi kata Allah, yang itu pasti akan sangat bermanfaat baginya di kala dewasa.*