Kajian ini berusaha untuk menganalisis fenomena sosial budaya yang berpijak pada perspektif strukturalisme varian Levi-Strauss. Sebagai pencipta strukturalisme Levi-Strauss tidak pernah terjun langsung kelapangan untuk menganalisis suatu masyarakat . Hal tersebut bukan berarti struktur varian Levi-Strauss hanya dapat digunakan untuk menganalisis teks saja akan tetapi sebenarnya juga dapat untuk menganalisis fenomena sosial budaya. Dalam usaha memahami pemikiran Levi-Strauss, perlu diketahui bahwa dia banyak menggunakan analogi. Misalnya, penggunaan fonem (t) dan ( th) pada masyarakat Jawa, antara kata kutuk dan kuthuk memiliki perbedaan makna yang sanga besar. Menurut Levi-Strauss fonem berada pada ambang batas antara natural dan kultur.

Ritual protes dalam masyarakat jawa merupakan salah satu fenomena sosial budaya. Secara sederhana ritual protes adalah suatu proses aktivitas yang polanya sama yaitu biasanya dilakukan secara berulang-ulang. Dalam masyarakat Jawa dikenal ritual pepe yakni berjemur dialun-alun kraton agar mendapat perhatian Raja untuk bisa menghadap dan mengadu permasalahan tertentu, dan mbalelo.yakni semacam ruang interaksi pejabat kerajaan yang sudah tidak sudi datang menghadap Raja karena rasa benci dan kecewa kepada Raja. Hal tersebut karena secara tradisi Jawa rakyat dan Raja memiliki ruang yang berbeda sehingga perlu ruang khusus untuk bisa saling berinteraksi.

Jadi relasi stuktural dalam masyarakat Jawa adalah relasi oposisi biner. Berbeda dengan ritual protes yang terjadi pada 20 mei 1998 di Kraton Yoyakarta, yang dihadiri oleh puluhan ribu massa, mahasiswa, rektor besrta jajaran birokrasi dibawahnya yang mendukung kemunduran Soeharto. Hal tersebut menunjukan bahwa bukanlah rakyat dalam relasi antara penguasa dan rakyatmelainkan analogi dari sejarah masa lampau pada Kraton Yogyakarta.

Dari kedua ritual protes tersebut, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki kasamaan struktur meskipun proses ritual protes pada masyarakat Jawa itu sendiri telah mengalami tranformasi. Yaitu rakyat Yogyakarta dan Rektor menjadi Sultan Hamengkubuwono, dan Presiden Soeharto tetap menjadi sasaran ritual protes