Hubungan Vertikal Antara Santri Dan Kiai Sebagai Bentuk Struktur Sosial
Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
Oleh:
Imam Fauzi ([email protected])
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Negeri Semarang (UNNES)
A. Latar belakang
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara klasikal (sistem bandongan dan sorogan), dimana seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut. Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa pondok pesantren memiliki program pendidikan yang disusun sendiri (mandiri) di mana program ini mengandung proses pendidikan formal, non formal maupun informal yang berlangsung sepanjang hari dalam satu pengkondisian di asrama. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa pondok pesantren secara institusi atau kelembagaan dikembangkan untuk mengefektifkan dampaknya, pondok pesantren bukan saja sebagai tempat belajar melainkan merupakan proses hidup itu sendiri, pembentukan watak dan pengembangan sumber daya.
Santri diidentifikasi dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur pada ritual-ritual pokok agama Islam, seperti shalat lima kali sehari, shalat jum’at, berpuasa, dan melakukan amalan sehari-hari sebagai sarana untuk menata hati dan memurnikan iman. Hubungan antara pondok pesantren sebagai tempat belajar, pembentukan watak, ataupun sebagai praktik keagamaan yang di akumulasikan dalam lembaga pendidikan pondok pesantren, tidak terlepas dari potret struktur sosial yang ada, khususnya antarsantri dengan kiai atau guru. Santri di posisikan sebagai kawula atau sing nggayuh ilmu, sementara guru terlebih kiai merupakan sumber barokah yang berasal dari Tuhan lewat keridloan yang di berikan guru kepada santri. Proses pendidikan yang ada di pondok pesantren menempatkan guru sebagai sumber pengetahuan dan pencerahan ilmu, karena proses pembelajaran yang di lakukan sendirian atau tidak di dampingi oleh guru di anggap sebagai proses belajar sepihak yang dapat menuai salah tafsir atau bahkan kesesatan. Pemahaman guru disini sangat di perlukan untuk membuka cakrawala pengetahuan murid (santri).
Hal tersebut menimbulkan adanya struktur sosial antarsantri dan guru atau kiai yang berdampak pada tingkah laku atau unggah ungguh dari murid terhadap guru. Mulai dari cara berbicara yang di lakukan santri kepada kiai, santri menundukan kepala atau tidak berani memandang wajah kiai berlama-lama, hingga cara bersalaman dan mencium tangan kiai yang harus ndepe-ndepe atau ta’dzimul ustadz (mengagungkan guru). Berjalan mendekat perlahan-lahan, menggunakan lutut dengan tetap membungkukan badan dan menundukan kepala merupakan cara terbaik untuk menunjukkan etika atau sopan santun layaknya murid terhadap guru.
Bentuk interaksi santri terhadap kiai merupakan struktur sosial dimana struktur sosial adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu. Kelas sosial disini yaitu kelas sosial antara santri dan kiai, santri atau murid merupakan kelas sosial yang berada di bawah kiai atau guru. Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan atau penghasilannya relatif sama, tetapi lebih merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relatif sama. Santri memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari yaitu mempelajari kitab-kitab salaf (sering disebut dengan istilah kitab kuning), Al-Qur’an, hafalan, atau gotong royong dalam pembangunan pondok atau menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan pondok (ro’an).
Mengagungkan guru pada konteks ini, bukan berarti menganggap guru sebagai yang agung, melainkan guru merupakan sarana (sulamun: tangga) yang akan menuntun santri atau murid kepada pemahaman tauhid, fikih, ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang muaranya pada perbaikan akhlak. Pemahaman mengenai ilmu-ilmu tersebut harus secara syumul dan kaffah (menyeluruh dan sempurna), bukan pemahaman secara parsial atau setengah-setengah. Santri takut tidak akan di ridloi keinginannya oleh guru atau tidak mendapat barokah/berkah apabila tidak menjaga tindak-tanduknya. Seorang santri harus mematuhi apa-apa yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling terhadap guru, memblakangi guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri yang demikian tidak akan di restui kenginan atau harapannya, bahkan akan mendapat bendu atau laknat karena tidak hormat pada guru.
Namun, ada kalanya struktur sosial juga mengalami perubahan, karena status, kedudukan, atau posisi individu atau kelompok dalam struktur sosial tidak bersifat statis atau tetap, melainkan dapat mengalami perubahan atau perpindahan. Santri yang sudah lama di pondok atau sudah lama nyantri, dan memiliki kemampuan yang setara dengan ustadz dapat berpindah status menjadi seorang guru. Perpindahan posisi dalam struktur sosial yang dialami oleh santri tersebut dalam struktur sosial disebut sebagai mobilitas sosial.
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba menganalisis fenomena struktur sosial yang ada di pondok pesantren dengan cara mengamati kehidupan sosial antara santri dan kiai di salah satu pondok pesantren yang ada di lingkungan sekitar Universitas Negeri Semarang. Dan penulis mengangkat judul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren”. Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis secara langsung dan menggunakan referensi pustaka yang ilmiah dan dapat di pertanggungjawabkan.
B. Tujuan
Mengetahui Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
2. Memahami Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
3. Memberi wawasan kepada masyarakat awam mengenai Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
4. Sebagai referensi dalam melaksanakan observasi atau penelitian di masa mendatang berkaitan dengan fenomena atau hal yang sama.
C. Esensi dari paper berjudul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren”
Alasan mengapa paper berjudul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren” di tulis adalah:
1. Struktur sosial merupakan salah satu konsep paling esensial dalam ilmu Sosiologi. Struktur sosial berkaitan dengan posisi-posisi individu atau kelompok dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial (status) dan peranan sosial (role).
2. Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok, kelas sosial, nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial. Konfigurasi yang terjadi pada kehidupan sosial santri tidak terlepas dari sumber pengetahuan tertinggi dalam Islam, yakni Al-Qur’an sehingga konfigurasi tersebut tetap di sosialisasikan melalui pengajaran dan kebudayaan yang ada di pondok pesantren.
3. Bentuk interaksi dan komunikasi antara santri dan kiai yang unik dimana sangat menjunjung tinggi nilai dan norma sosial sebagai ciri utama dan tonggak kepribadian masyarakat Jawa.
D. Pembahasan
Struktur sosial muncul karena adanya dua unsur yaitu individu, dalam hal ini individu adalah sebagai pembentuk masyarakat sekaligus pembentuk struktur sosial. Jika tidak ada individu-individu maka tidak mungkin ada masyarakat. Dan yang kedua adalah interaksi. Interaksi antarindividu dalam masyarakat akan membentuk struktur sosial, tanpa adanya interaksi maka struktur sosial tidak mungkin terbentuk. Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis struktur sosial, yaitu Parameter Graduated atau berjenjang, meliputi antara lain kekuasaan, keturunan/kasta, tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dan Paramater Nominal atau tidak berjenjang, meliputi antara lain sukubangsa, ras, golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan seterusnya. Pondok pesantren dapat di ukur menggunakan kedua parameter di atas, yaitu jika menyangkut tingkat pendidikan ilmu agama, usia, dan kedudukan maka digunakan parameter graduated atau berjenjang, sementara jika terkait dengan keanekaragaman asal dan budaya santri, jenis kelamin dan sebagainya digunakan parameter nominal atau tidak berjenjang.
Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. (Departemen Agama RI, hlm 1)
Pondok pesantren yang melakukan pembelajaran dengan sistem klasikal yaitu mengkaji kitab-kitab salaf dapat di katakan sebagai Pondok Salaf. Salaf artinya “lama”, “dahulu”, atau “tradisional”. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab.
Ada dua jenis santri yakni Santri Mukim dan Santri Kalong. Santri mukim
Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan Santri Kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan, sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Untuk itu hubungan santri dan kiai benar-benar terjaga, baik dari cara berkomunikasi, berinteraksi hingga kontak sosial yang dilakukan dengan sangat halus dengan tidak meninggalkan unsur-unsur kesopanan yang ada.
Unsur pokok lain yang paling membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam seperti Adabul Murid, Ta’lim Muta’alaim, Sulamun Najah, Nashoihuddiniyah, Fathul Qorib, Da’watut Tammah Qiroatul’uyun, Durusul fiqhiyah, Tashrif, Jurumiyah, ‘Imrithi, Alfiah, Mantig, Balaghoh, Bustanul Arifin dan masih banyak lagi. Santri meyakini jika ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, terlebih dahulu harus mendapatkan barokah atau restu dari kiai atau guru. Apabila santri sampai suul adab (durhaka) kepada guru maka tidak akan mendapatkan apapun ketika dia menjadi seorang santri (nyantri), bahkan akan mendapat laknat dari Alloh SWT.
Sampai saat ini, pola kehidupan sosial antarsantri dan kiai terhubung secara vertikal, artinya santri mengagungkan guru karena ilmu, wibawa, dan restu yang diharapkan para santri, bukan karena kekuasaan atau wewenang, maka unggah-ungguh dan tindak-tanduk santri benar-benar di jaga agar tidak menyakiti hati sang guru, dan guru meridloi upaya santri dalam menuntut ilmu. Sehingga apa yang menjadi tujuan dan harapan santri ketika menempuh pendidikan di pondok pesantren tercapai dengan disertai restu, keikhlasan, dan doa kepada santri dalam menyongsong kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
E. Simpulan
1. Bentuk interaksi santri terhadap kiyai merupakan struktur sosial dimana struktur sosial adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu.
2. Seorang santri harus mematuhi apa-apa yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling terhadap guru, memblakangi guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri yang demikian tidak akan di restui kenginan atau harapannya, bahkan akan mendapat bendu atau laknat karena tidak hormat pada guru, sehingga harus menjaga unggah-ungguh terhadap guru.
F. Referensi
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Nasution. M.A. Sosiologi Pendidikan. 2004. Jakarta:Bumi Aksara.
Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
www.google.com.Struktur Sosial Oleh Indrawadi, S.Si, MAP(21-04-’15 pkl 09.00)
Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.
Komentar Terbaru