Hasil Observasi Nelayan di Desa Mbulu Jepara

            Menurut bapak Suparman (60 Tahun) sebagai salah satu nelayan yang berada di Desa Mbulu Jepara, Desa Mbulu merupakan desa yang sebagian besar dihuni oleh para nelayan. Dengan letak permukinan yang berkelompok sejajar dengan pinggir pantai. Dimana mereka berkerja menangkap ikan dari jam 3 pagi sampai jam 4 sore menggunakan kapal kecil dan payang (jaring)  yang mereka miliki. Pemilikan kapal tersebut merupakan kapal sendiri yang dibeli dengan harga 15-25 juta dengan failitas seperti mesin dan jaring. Panjang dari kapal 2m dan lebarnya 2,70m. Kapal tersebut memerlukan solar sebanyak 10 liter yang digunakan untuk pergi dan pulang kembali. Dengan harga solar 1 liter sebesar  5.500rb. Dari kapal kecil tersebut biasanya mendapatkan hasil tangkapan sebanyak  3 kwintal. Itupun berdasarkan cerah tidaknya cuaca pada hari dimana mereka menangkap ikan. Hasil tangkapan seperti ikan kembung, ikan layur, ikan tenggiri, ikan tongkol. Namun hasil tangkapan yang biasanya diperoleh adalah ikan kembung. Dari hasil tangkapan ikan yang di peroleh kemudian dijual di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau kadang dijual di pasar Jepara. Selain penghasilan sebagai nelayan, sang istri bapak Suparman menjual sebagian hasil tangkapan yang didapatkan di pasar sebagai pekerjaan sambilan untuk menutupi biaya kehidupan sehari-hari. Penjualan ikan tersebut dijual dengan rincian harga ikan kembung 14.000rb/kg, ikan layur 40.000rb/kg. Dari penghasilan yang didapatkan sebagai nelayan dan menjual ikan dapat mencukupi biaya kehidupan sehari-hari biarpun beliau sampai mempunyai 6 orang anak.

            Sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang turun terun-temurun bagi bapak Suparman, keahlian yang dimiliki diperoleh beliau dari sang ayah, dan sang ayah memperoleh dari sang kakek. Dan sekarang anak pertamanya pun menjadi seorang nelayan. Bahkan anak-anak bapak Suparman yang lain terkadang juga ikut untuk mencari ikan dilaut. Biarpun bapak Suparman tidak bersekolah yang menyebabkaan dirinya tidak dapat membaca dan menulis (buta aksara), namun beliau berusaha agar ke-enam anaknya dapat bersekolah. Diharapkan dengan anak-anaknya bersekolah, mereka  dapat membaca dan menulis.

            Para warga desa disana sebagian percaya bahwa ada pantangan  ketika hari Jumat legi untuk dilarang melaut, karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seiring perjalanan waktu, pantangan tersebut diabaikan karena sebagai tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang menjadikan mereka tetap melaut. Dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan untuk dibawa pulang. Namun warga disana tetap melaksanakan tradisi yang secara turun-temurun sudah dilakukan seperti tradisi sedekah laut dan kupatan. Sedekah laut merupakan sebuah tradisi yang mempersembahkan hasil bumi yang telah dihasilkan oleh para warga sebagai rasa syukur kepada Hyang Widi yang telah melimpahkan segala rizqi kepada warga di Desa tersebut dan acara sedekah laut tersebut berjalan bersamaan dengan acara Kupatan (Lebaran Kupatan) yang berlangsung  7 hari sesudah hari Raya Idul Fitri dengan menyajikan lontong atau kupat, lepet, dan opor untuk dimakan bersama-sama dengan keluarga. Serta membuat kupat kecil yang akan dipasang di depan rumah sebagai wujud tolak bala agar sebuah keluarga terhindar dari marabahaya dan terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan.

            Di dalam Desa tersebut tidak adanya perkumpulan atau asosiasi dari para warga yang menjadi nelayan. agar mereka dapat bertukar pikiran ataupun berdiskusi untuk membahas masalah hal-hal mengenai profesi sebagai nelayan. Fungsi ketua Rukun Tetangga (RT) disana juga hanya sebatas mengurusi masalah kematian. Karena mereka disibukan dengan kegiatan menangkap ikan di laut. Biarpun begitu interaksi diantara mereka tetap berjalan dimana bila mereka tidak sedang melaut untuk menangkap ikan mereka saling bertegur sapa sehingga biarpun mereka sibuk tetapi silahturahmi tetap berjalan bagi setiap warga. Untuk Tanah rumah yang ditinggali oleh warga disana bukanlah tanah kepemilikan sendiri, melainkan tanah milik pemerintah yang diperbolehkan untuk ditinggali dengan sebuah syarat dimana syarat tersebut merupakan sebuah ajang bagi suatu kepentingan partai politik. Jelasnya, ketika tahun 2000an saat pemilu dilangsungkan, salah satu partai politik sebut saja partai Golkar menjanjikan bawah rumah yang dibangun di tanah tersebut tidak akan dibongkar apabila warga disana memilih partai mereka. Dan dari kemenangan dari partai Golkar maka mereka tetap diperbolehkan tinggal di tanah tersebut tanpa takut ancaman rumah di atas tanah pemerintah tersebut akan dibongkar. Sungguh sangat disayangkan akan adanya hal tersebut, dimana sebuah hak pilih ditentukan karena adanya tekanan dari salah satu partai politik. Namun para warga disana tidak dapat berbuat banyak, demi menjaga keberlangsungan hidup mereka rela untuk melepaskan hak pilihnya pada saat pemilu.

            Pelapisan sosial di Desa tersebut tidak begitu menonjol, namun tetap saja dapat dibedakan. Dimana pada lapisan sosial atas ditempati oleh mereka yang memiliki kapal-kapal besar untuk menangkap ikan di laut. Pada pelapisan sosial menengah ditempati oleh mereka yang memiliki kapal kecil (mini). Dan pada pelapisan sosial bawah ditempati oleh para pendatang yang berkerja sebagai buruh yang membantu kapal-kapal besar yang akan berlayar menangkap ikan. Para buruh ini tidak dikenakan tarif untuk menyewa kapal tersebut, namun mereka dengan pemilik kapal besar melakukan bagi hasil dari tangkapan yang mereka dapatkan selama melaut. Dengan ketentuan hasil hasil tangkapan dibagi sama rata. Dan ketika tidak mendapatkan hasil tangkapan diantara merekapun tidak ada bagi hasil.

SIMPULAN

Nelayan Desa Mbulu Jepara adalah salah satu contoh Desa Nelayan yang ada di kepulauan Indonesia. Mayoritas warga berprofesi sebagai nelayan. Profesi sebagai nelayan didapatkan secara turun temurun dari keluarga mereka. Menjadikan orientasi kehidupan orang tua nantinya akan ikuti oleh anak-anaknya.

 Dalam aktifitasnya sebagai nelayan, para warga nelayan sangat bergantung pada cerah tidaknya cuaca pada hari di waktu menangkap ikan. Bila keadaan cuacah cerah dan mendukung para nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan sampai 3 kwintal, begitu juga sebaliknya. Sehingga bila keadaan cuaca tidak mendukung para nelayan mengurungkan niatnya untuk menangkap ikan. Sebagian dari merekapun masih ada yanng mempercayai tentang sebuah pantangan dimana mereka dilarang untuk melaut pada hari Jumat Legi. Agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan selama mereka melaut. Namun seiring perkembangan jaman dan sebagai tuntutan kehidupan sehari-hari mereka mengabaikan pantangan tersebut demi terpenuhinya kebutuhan sehari-hari mereka. Dibalik itu semua warga disana masih tetap menanamkan dan menjalankan sebuah tradisi sedekah bumi dan kupatan yang dilakukan secara turun-temurun. Sebagai wujud syukur kepada Sang Hyang Widi.

Dan untuk pelapisan sosial di Desa tersebut tidak begitu menonjol, namun tetap saja dapat dibedakan. Di lapisan atas dimiliki oleh mereka yang memiliki kapal besar, dilapisan menengah oleh mereka yang memiiliki kapal kecil, serta lapisan bawah oleh para pendatang yang menjadi buruh yang membantu kapal besar melaut.

Lampiran

Pelabuhan Penyeberangan Jepara

Payang (jaring)

Kapal Nelayan

Pelabuhan tempat berkumpulnya kapal-kapal besar

2 comments

  1. mohon bisa disertakan dokumentasi gambarnya

    1. terimakasih sarannya

Leave a Reply to arif ponco putranto Cancel reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: