Sosialisasi dan Pengasuhan Anak-Anak Desa Ngadas, Suku Tengger, Jawa Timur

2803911_20120319030451
Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).

Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

Desa ngadas mempunyai jumlah penduduk sekitar 630 jiwa. Ada sekitar 347 penduduk perempuan dan sisanya penduduk laki-laki. Desa ngadas sendiri berada 1700 meter dari permukaan laut. Di dalam interaksi masyarakat, Suku tengger menggunakan bahasa jawa kuno. Mereka sering menggunakan bahasa ngoko antar sesama usia dan krama untuk orang yang lebih tua. Sosialisasi menjadi hal yang sangat penting terutama dalam menjaga eksistensi kebudayaan di dalam suku tengger agar tetap terjaga kelestariannya.

Dalam sosialisasi anak pada desa ngadas mereka menggunakan pola sosialisasi partisipatif. Artinya yaitu bahwa orang tua mempunyai andil yang sama dengan anak dalam proses pengembangan perilaku anak sendiri. Sering dijumpai dalam masyarakat tengger, orang tua mengajak anaknya untuk ikut dalam aktivitas keseharian orang tua seperti meladang ataupun berkebun. Kebebasan anak-anak desa ngadas untuk berkreasi , berinovasi dan berekspresi sangat besar. Kegiatan-kegiatan orang dewasa seperti berdagang dan berladang sudah bisa dilakukan oleh anak-anak kecil desa ngadas. Mereka berdagang di pagi hari kemudian pulang berdagang di siang hari. Sekolah-sekolah di desa ngadas menyediakan jam masuk di siang hari. Hal tersebut dikarenakan banyak sekali anak-anak yang ikut orang tua mereka berdagang di malam hari ataupun pagi hari.Pola pengasuhan di suku tengger menyebabkan anak-anak suku tengger mandiri. Mereka mempunyai jiwa wirausaha yang tumbuh seiring proses kedewasaan mereka. Anak-anak di suku tengger mampu memanfaatkan sektor pariwisata daerah mereka yang mendukung untuk menunjang kehidupan ekonomi desa ngadas.

Cuaca gunung bromo yang ekstreem menyebabkan adanya kebutuhan akan kehangatan. Maka banyak dijumpai orang-orang yang menjual jasa penyewaan jaket. Mereka biasa menyewakan jaket sekitar 10 ribu rupiah dalam sekali pakai. Disana banyaksekali anak-anak yang ikut serta orang tua mereka untuk menyewakan jaket. Anak-anak tersebut memegang beberapa jaket di kedua tangan mereka seraya menawarkan jaket tersebut ke beberapa pengunjung. Selain itu, Ada pula anak-anak yang menjajakan barang dagangan sebagai mata pencaharian. Beberapa barang-barang yang dijajakan anak-anak suku tengger yaitu kaos tangan, kupluk, syal, kaos kaki dan masih banyak lagi yang lain.

Sosialisasi kedua yang juga digunakan dalam pola pengasuhan anak-anak suku tengger yaitu represif. Mereka melakukan tindakan yang tegas terhadap adanya penyimpangan. Segala hal yang menyangkut penyimpangan dikembalikan kepada hukum adat yang berlaku. Oleh karena itu, banyak orang yang melakukan penyimpangan meresa malu untuk melakukan penyimpangan kembali. Begitu juga dengan anak-anak, masyarakat tengger mempunyai alat kontrol yang cukup kuat untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Di dalam masyarakat tengger ada suatu istilah yang disebut petek’an. Petek itu dari kata menekan atau mengurut. Ketua adat mengundang seorang dukun yang akan mengurut perut para gadis untuk mengetahui adanya suatu kehamilan di dalam perut mereka. Manfaat dari petek’an sendiri cukup ampuh untuk menjaga kemurnian anak-anak gadis mereka dari penyimpangan. Petek’an adalah upaya pencegahan kehamilan yang dilakukan masyarakat tengger untuk mengetahui apakah anak gadis mereka hamil ataukah tidak. Biasanya petek’an dilakukan untuk mengetahui siapakah para gadis perawan yang hamil diluar nikah. Jadi, ada suatu upaya menyuruh semua para gadis-gadis yang masih perawan untuk melakukan petek’an. Bila ada gadis yang tidak datang untuk melakukan petek’an maka akan ada dukun bayi yang didatangkan oleh warga ke rumah gadis yang tidak datang tersebut. Hal tersebut dilakukan karena adnya suatu kekhawatiran adanya upaya dari pihak gadis untuk menyembunyikan kebenaran jikalau anak tersebut melakukan penyimpangan dan hamil diluar nikah. Adanya petek’an dilakukan untuk pembersihan desa dari hal-hal yang tidak patut atau hal-hal yang dilarang agama ataupun hukum adat.

Anak-anak suku tengger ikut andil dalam beberapa upacara-upacara keagamaan. Mereka menggunakan baju adat berwarna hitam. Anak-anak tersebut melakukan peribadatan ke sebuah tempat suci untuk beribadah yang bernama sanggar.Mereka saling menghampiri satu sama lain sebelum keberangkatan untuk sembahyang. Solidaritas antar anak-anak sangat terjaga. Mereka anak-anak dari berbagai usia yang berbeda-beda mulai dari SD,SMP hingga SMA berkumpul.Anak-anak tersebut berdoa dengan dipimpin oleh dukun yang membacakan mantera-mantera. Selain itu ada pula pak tinggi yang ikut sembahyang disana. Anak-anak tersebut meletakkan sesajen di sebuah tempat yang bernama danyang. Mereka anak-anak yang memakai baju hitam tersebut mempunyai kesadaran sendiri bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ibadah. Alhasil dengan adanya hubungan kekerabatan dan rasa solidaritas sesama agama maka tercipta kelestarian budaya yang selalu mereka junjung tinggi.

Sebagian besar masyarakat suku tengger yang bermata pencaharian sebagai petani.Anak anak suku tengger memiliki kesadaran bahwa kedua orang tua mereka bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka sehingga mereka tidak menuntut lebih dari orang tua mereka. Mereka cenderung lebih prihatin dan nerimo dengan apa yang mereka miliki. Mereka mempunyai kesadaran untuk membantu orangtua mereka. Agama di suku tengger sendiri beragam. Mayoritas yang terbesar adalah islam dan kristen. rasa toleransi antar umat beragama di kalangan anak-anak tetap dijunjung tinggi. Anak-anak desa ngadas bermain dengan teman sebaya mereka tanpa mempermasalahkan adnya perbedaan agama. Di desa ngadas sendiri arus globalisasi sudah mulai mempengaruhi kehidupan anak-anak.

Mengenai permainan anak-anak di tengger sudah beraneka ragam. Mereka biasa main sepak bola, layang-layang, petak umpet, bahkan untuk olahraga voli SD ngadas sudah memperoleh juara hingga tingkat provinsi. Sarana dan prasarana yang terbatas tidak menghambat anak-anak disana untuk maju. Selain itu, ada pula motor dan plastation yang kini sudah sering dimainkan anak-anak suku tengger. Sudah ada komunitas-komunitas seperti komunitas motor dan jeep didirikan oleh masyarakat sendiri.

2 comments

  1. bagus, tp kalau bisa tulisannya diratakan kanan kiri biar rapi…

  2. Postingan bagus dan menarik. Lanjutkan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: