Bentuk Ketahanan, Asimilasi, dan Inovasi Budaya

Tradisi Kupatan Kendeng dimeriahkan oleh Band Marjinal

doa-bersama

Oleh Tommy Apriando, Yogyakarta

Pukul 13.20. Matahari terik menyengat. Kondisi ini tak menyurutkan niat ratusan warga ikut “Kupatan Gunung Kendeng.” Ia tradisi Lebaran saling bermaaf-maafan dan mensyukuri alam yang terjaga. Warga Desa Mbitingan, Timbrangan dan Tegaldowo jadi penggagas acara yang digelar Rabu-Kamis, (21-22/7/15) di beberapa lokasi di Rembang.

Sumber air Sumur Gede, Desa Tegaldowo jadi lokasi utama perayaan. Panggung persis di kanan sumber air berukuran 3×3 meter. Dekorasi dari bambu dan hasil pertanian seperti jagung, labu, pisang, dan lain-lain buatan warga.

Joko Prianto, warga Desa Tegaldowo mengatakan, ini untuk mensyukuri karunia Tuhan berupa sumber air dan hasil bumi sekaligus mengingatkan semua bisa dinikmati jika menjaga gunung dan alam.

“Merusak gunung, apalagi menambang akan merusak alam. Bentuk tidak mensyukuri karunia tuhan,” kata Print, sapaan akrab Joko.

Pada Rabu, katanya, ada “Temon Banyu Beras,” mencuci beras dan memasukkan ke ketupat.  Lalu arak-arakan tujuh ibu-ibu membawa jun (gentong air kecil) menuju sumber air. Sembari berjalan mereka menembangkan lagu. Di belakang, rombongan perempuan berkebaya dan berkain panjang mengikuti.

Di sumber air, beras dicuci dan dibawa ke tenda perjuangan di tapak pabrik semen lalu diisi beras. “Lalu didoakan dengan memohon  kelestarian sumber air dan hasil bumi dari gunung.”

Kamis, ketupat sudah masak. Laki-laki membuat tiga dekorasi gunung dari bambu untuk ketupat. Tinggi berkisar 1,5 meter. Ratusan petani dan masyarakat dari berbagai daerah berkumpul di depan panggung. Ada dari Jakarta, Solo, Pati, Semarang, Yogyakarta dan daerah lain. Acara dimulai pentas kesenian dan doa bersama tiga gunungan ketupat yang diletakkan di depan panggung.

Fajar Merah, putra Wiji Thukul dari Solo dan grup band Marjinal Jakarta ikut memeriahkan. Fajar membawakan empat lagu. Bersama Pata Bara, dia menyempatkan membuat lagu khusus sebagai dukungan perjuangan warga Rembang mempertahankan sumber air. Lagunya berjudul “ Tanah Air Kita.”

“Ini tanah air kita semua. Disini kita di bumi saudara-saudari. Masa iya tanah tidak punya dan air harus beli. Tanah semestinya untuk ditanami, bukan melulu untuk dibangun pabrik-pabrik. Bagaimana hari esok kaum tani.” Fajar menyanyikan lagu itu.

Dia mengatakan, bumi dan isi harus dijaga. Perjuangan ibu-ibu menjaga lahan pertanian dan pegunungan kendeng merupakan upaya luar biasa. Tanpa kekerasan.

Giliran Marjinal membakar semangat. Petani dan anak muda bertepuk tangan dan bernyanyi bersama. Mike, vokalis Marginal mengatakan, investasi jahat di Rembang karena perilaku korup pemimpin daerah masih ada. Dia bercerita, di beberapa negara seperti Tiongkok dan negara Asia lai serta Eropa, pelahan meninggalkan pertambangan kapur. Indonesia malah jadi incaran mereka. Tentu, katanya, korupsi menjadi pintu masuk investasi kotor ini.

“Perjuangan tulus ibu-ibu Rembang membuat Marjinal belajar banyak menghargai dan bersyukur hasil dan kaum tani. Terhadap ibu yang melahirkan dan merawat kita dan menjaga alam.”

marjinal

Gambar : Penampilan Band Marjinal dalam Tradisi Kupatan

Sebagai band dan anak punk, katanya, esensi hidup mereka sebagai punk adalah menjaga tradisi dan alam, bukan sebaliknya. Marjinal menyanyikan lagu khusus berjudul “Kartini Rembang Pasti Menang” berkolaborasi dengan ibu-ibu yang memainkan lesung.

Menurut Mike, manusia dan alam tidak bisa dipisahkan. “Alam jangan dihancurkan dan pertambangan semen harus ditolak.”

Setelah itu, tabliq akbar. Gus Ubaidillah Ahmad akrab disapa Gus Ubed dan Mas Gufron memimpin shalawat dan doa. Tetasan air mata ketika shalawat dan doa dilantunkan. Gus Ubed mengatakan, mengikuti kasus Rembang.  Dia selalu berdoa semoga ketulusan warga menjaga alam terus kuat dan Kendeng selamat dari pertambangan.

Duk sreng duk sreng Suara genderang beduk dan simbal berbaur mengiringi Naga Merah berakrobat, pada hari kedua. Warga antusias menyaksikan pawai Kupatan Gunung Kendeng di pinggiran jalan Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.

Bagian belakang ratusan perempuan bercaping membawa bakul berisi ketupat. Mereka membagi-bagikan ketupat dan selebaran kertas berisi informasi dampak pertambangan semen. Para polisi penjaga pun kebagian. Gunungan ketupat berisi ribuan ketupat masak dengan bendera Merah Putih diarak keliling desa. Diikuti Barongan dan warga termasuk personil Marjinal.

“Mohon maaf lahir batin. Mari menjaga Gunung Kendeng,” kata Sukinah kepada warga, sembari memberikan kertas dan berapa ketupat.

Sumarno, warga Tegaldowo bercerita mengatakan, sampai kapanpun warga akan mempertahankan lahan pertanian dan menolak pertambangan di Rembang.

Dia mengatakan, warga sadar pertambangan berisiko bencana ekologi seperti banjir dan kekeringan. Belum lagi, berkurangannya lumbung padi dan polusi udara akibat pertikel debu yang berdampak pada kesehatan.

Lalu, ada ritual lamporan untuk mengusir wabah penyakit atau hama. Kali ini, hama ini pertambangan semen. “Doa ritual kami agar Pegunungan Kendeng terbebas penyakit atau pertambangan.”

Warga berjalan dari kuburan Desa Tegaldowo menuju lokasi tambang PT. Semen Indonesia, sembari membawa obor sebagai penerangan sekitar satu kilometer di perbukitan.

Sebelum lamporan selesai, Sukinah, membawa hasil bumi berupa ketupat dan memberikan kepada gunung. Ini prosesi meminta maaf atas kelakuan warga  yang ikut mendukung perusakan karst di Kendeng. “Semoga Gunung Kendeng dan warga selamat dan pertambangan semen tidak berdiri.”

diambil di website https://www.simpulsemarang.org/ diakses pada tanggal 10 Desember pukul 12.10

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: