Menurut Vayda dan McCay (1975) di Indonesia terjadi overfishing. Banyak terjadi fenomena alam seperti :
– Degradasi fisik ekosistem pesisir utama
– Abrasi pantai
Tergerusnya hutan mangrove yang digunakan untuk kayu bakar, industri arang, kertas, pertambakan ikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat setempat. Kemudian muncul sistem kapitalis dengan masuknya industri ekspor kayu bakau dan udang. Dari hal ini akan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan, dan pihak yang dominan berpengaruh adalah nelayan penambang. Pada kenyataannya bahwa Sumber daya manusia kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan sumber daya alam yang ada.
PENDEKATAN AKSI DAN KONSEKUENSI DENGAN MODE PENJELASAN KONTEKSTUAL PROGRESIF: APLIKASI DAN PENGEMBANGANNYA
Pendekatan aksi dan konsekuensi dengan mode penjelasan kontekstual adalah pendekatan baru yang dikenalkan oleh Vayda dalam studinya mengenai perpindahan ladang dan penebangan kayu di Kalimantan Timur. Pendekatan ini merupakan perkembangan dari pendekatan berbahaya, yaitu pendekatan yang berasosiasi dengan asumsi tindakan rasional individu, sedangkan pendekatan aksi dan konsekuensi menekankan mode penjelasan kontekstual secara empirik.
Pendekatan aksi dan konsekuensi mengusulkan untuk menjadikan tindakan-tindakan manusia dan konsekuensi terduga atau tak terduga, menjadi objek penjelasan yang tepat untuk menjelaskan suatu metode. Adapun asumsi-asumsi dan prosedur dalam metode penjelasan ini yaitu: (1) menempatkan aksi dan konsekuensi dalam suatu penjelasan yang kontekstual berdasarkan fakta nyata di lapangan (2) faktor-faktor kontekstual mencakup konteks fisik, institusi sosial, dan budaya (3) mencari pengaruh secara kausal mengenai aksi-aksi dan konsekuensi (4) tidak berasumsi bahwa aksi yang membawa konsekuensi tersebut ada dalam unit-unit pada tingkat uang lebih tinggi.
VARIASI PERILAKU EKSPLOITASI SUMBERDAYA TAKA DAN KONSEKUENSI LINGKUNGAN DAN SUMBERDAYA DITIMBULKANNYA
Fungsi gugusan taka-taka ada dua yaitu, pertama melindungi secara ilmiah bagian pulau dari ancaman gelombang dan arus. Kedua menyediakan sumber alam untuk berbagai kegunaan bagi kehidupan manusia. Bagi masyarakat pulau Sembilan ( Burung-Loe, Liang-liang, Kambuno, Kodingare, Batanglampung, Kanalo 1, Kanalo 2, Katindoang, Larea-rea) fungsi sumberdaya taka diarahkan pada keperluan pembangunan permukiman dan kehidupan ekonomi perikanan. Keperluan pembangunan menggunakan teknik eksploitasi seragam (membongkar linggis dan mengangkutnya ke pantai), pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan teknik-teknik dan pola-pola perilaku eksploitasi yang beragam. Eksploitasi keduanya membawa konsekuensi bagi perubahan-perubahan kondisi lingkungan dan sumberdaya taka itu sendiri. Contoh materi yang dapat diambil untuk tulisan ini adalah kasus-kasus perilaku nelayan pencari teripang, nelayan bom, dan nelayan bius.
Dalam kehidupan pulau Sembilan, mencari teripang merupakan aktivitas yang dikenal sebagai pelaut dan penyelam ulung yang hanya dilakukan oleh sebagian daerah tertentu seperti Kambuno, Kodingare, Batanglampung, dan Kanalo 1. Dahulu, ketika populasi teripang masih berlimpah, nelayan hanya beroperasi dalam taka-taka disekitar Pulau Sembilan. Untuk merespon pemintaan pasar yang meningkat, pertengahan periode 1970-an mereka mengadopsi sarana selam modern berupa tabung gas yang diperkenalkan oleh pengusaha Cina dari Makassar. Hal ini memungkinkan nelayan yang beroperasi dalam kelompok besar untuk bekerja secara intensif dan memperoleh tangkapan secara berlipat ganda. Akibatnya, beberapa tahun kemudian populasi dari semua jenis teripang mengalami kemerosotan, kelompok nelayan teripang mencari daerah penangkapan baru terutama di bagian Timur Indonesia.
Penggunaan bom merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan Pulau Sembilan khususnya dari Kambuno dan Kodingare sampai dulu hingga sekarang dengan mengebom ikan-ikan. Ketika ikan-ikan ditemukan, disitulah bom dilemparkan oleh para nelayan, ledakan tersebut mempengaruhi terumbu karang yang ada di taka-taka yaitu tidak lain menghancurkan karang hingga seluas satu meter keliling. Bom dilakukan didasar yang dimaksudkan untuk menghindari bunyi agar tidak terdengar oleh pihak keamanan yang sedang berpatroli (penangkapan ilegal). Selain bom, nelayan juga melakukan bius terhadap ikan yang nantinya dijual dalam kondisi hidup di Hongkong dan Singapura. Teknis bius pertama kali dikenalkan oleh pelatih penangkapan ikan dari Hongkong. Perilaku nelayan yang merusak terumbu karang seperti ini dilaporkan oleh berbagai pihak seperti Pusat Studi Terumbu Karang Universitas Hasanuddin yang menunjukkan tiga ciri kerusakan berupa pecahan dan patahan (ruble), perubahan warna (bleaching), dan kematian (dead).
KONTEKS SOSIAL BUDAYA / INTERNAL DARI PERILAKU NELAYAN DAN KONSEKUENSINYA
Aktivitas ekonomi pada masyarakat nelayan pada berbagai tempat di daerah-daerah selalu mempunyai ciri yaitu keterkaitannya secara mutlak dengan institusi yang berada pada daerah tersebut, juga keterkaitannya dengan kelompok-kelompok sosial, organisasi serta orang-orang yang mempunyai pengaruh besar terhadap kepentingan nelayan itu sendiri semua hal tersebut yang menjadi konteks sosialnya.
Perilaku nelayan yang menggunakan berbagai sarana tangkap ikan yang di pedomi atau di pengaruhi oleh berbagai alasan gagasan dan seberapa luas pengetahuan nelayan tersebut. Nilai pragmatis, keyakinan apa yang dianut oleh nelayan juga mempengaruhi perilaku dalam penggunaan sarana tangkap yang akan di pakai oleh nelayan karena ketidaksesuaian dengan keyakinan pada akhirnya sarana tangkap yang akan dipakai pun akan berbeda dengan nelayan lainnya yang menjadi konteks budayanya.
Konteks sosial budayanya disini diartikan sebagai wadah yang digunakan nelayan sebagai sebuah alat yang menggerakkan, mengatur dan penentu semua perilaku nelayan. Contoh konteks sosial lokal yang dimainkan sebagai peranan utama dalam kegiatan ekonomi di Pulau Sembilan yaitu kelompok ponggawa-sawi dan keluarga-keluarga nelayan aktual (juragan sawi).
Perilaku nelayan dalam konteks social
Terdapat beberapa komponen sistem ekonomi perikanan laut nelayan yang diatur oleh lembaga penggawe-sawi. Dilihat dari prespektive kognitivisme aplikasi kelembagaan penggawe-sawi itu sendiri pada mulanya tumbuh kesepakatan antar individu yakni antara pemilik modal dan bakat-bakat pengelolaan dengan orang-orang yang hanya bias menyumbangkan tenaga.
Untuk memahami kelembagaan tersebut, diperlukan praktek-praktek eksploitasi sumberdaya laut tersosialisasikan dan terdakwahkan di dalamnya harus ditempatkan dalam konteks sejarah dan budaya sebagai penentu perilaku (keinginan,maksud dan tujuan) pedoman tingkah laku (gagasan,pengetahuan dan perilaku paling dasar dan esensial (pemenuhan kebutuhan hidup dan cita-cita)
Perilaku nelayan dalam konteks budayanya
Pola-pola perilaku nelayan Pulau Sembilan khususnya kelompok pencari teripang, nelayan bom, dan nelayan bius dalam mencari ikan yang menjadi komoditi utama nelayan di Pulau Sembilan. Dari tahun 1970 sampai tahun 2001/2002 saat itu kondisi sumber daya perikanan sangat melimpah karena belum intensifnya penangkapan, penggunaan teknologi tangkap tradisional, dan jaringan pasar yang belum sampai ekspor. Setelah lewat tahun tersebut sumber daya langsung di eksploitasi oleh nelayan Pulau Sembilan dengan penggunaan alat-alat yang semakin modern, sebagai berikut:
Penangkapan teripang dengan ladung (alat tusuk) teknik pungut langsung dengan tangan dan dikumpulkan dalam keranjang
Penangkapan ikan (pancing labuh) dan lobster (tangkap langsung dengan tangan)
teknik bius
teknik selam dengan ketahanan nafas masker tabung gas masker kompresor
penggunaan bahan-bahan peledak dari masa pendudukan Jepang pupuk urea
Semakin merosotnya hasil laut menyebabkan semakin merosotnya juga pendapatan masyarakat dan kerusakan taka-taka sebagai habitat siput mata tujuh. Kurangnya hasil yang di dapat dari laut, menyebabkan nelayan Pulau Sembilan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Bertahan pada usaha lama yang illegal dengan oknum-oknum dari aparat keamanan sebagai pelindung
2. Mencari hasil laut di lokasi yang dianggap keramat
3. Usaha perikanan budidaya laut
4. Beralih sama sekali ke usaha di luar perikanan
5. Mengembara ke tempat lain untuk menemukan daerah penangkapan lain
Aktivitas nelayan teripang, bom dan bius membentuk gagasan/budaya mereka sendiri. Pandangan tersebut menyebabkan diperlukannya kerja sama yang besar antara ponggawa dan sawi. Dimana ponggawa berperan mengelola modal yang sulit ditangani dan diakses oleh setiap orang dan sawi yang bertugas melakukan proses produksi di laut sehingga pekerjaan yang berat bisa diperingan dan rumit bisa disederhanakan.
KONTEKS EKSTERNAL DARI PERILAKU NELAYAN DAN KONSEKUENSINYA
Konteks internal dari pelaku nelayan yaitu Pulau sembilan adalah permintaan pasar dan pihak-pihak terlibat di dalamnya, adopsi teknologi tangkap, dan kebijakan pemerintah. Ketika komoditi lobster dan ikan hidup laku dipasar ekspor Hongkong dan Singapura mulailah sejarah budaya usaha ikan dan lobster yang merajai pasar komoditi hasil laut dengan cepat mempengaruhi terkurasnya populasi ikan target dalam dan sekitar taka-taka Pulau Sembilan. Selama tujuh tahun populasinya merosot drastis karena penangkapan yang intensif, keterlibatan nelayan secara besar-besaran akibat penggunaan bius dari bahan kimia beracun.
Konteks birokrasi ikut andil melalui pelaksanaan pemerintah dengan diadakannya aturan hukum dan implementasinya (peraturan pemerintah daerah TK I Sulawesi Selatan No.7 1987, tentang larangan pengambilan dan pengerusakan terumbu karang di sepanjang perairan pantai Sulawesi Selatan).
Sumber: Gunawan S.Sos M.Hum. 2015. Bahan Bacaan Mata Kuliah Antropologi Ekologi. Semarang : Jurusan Sosiologi & Antropologi Unnes
cantumkan sumber dong
Iya , terimakasih atas sarannya
akan segera saya beri sumber
backgroundnya masih sederhana, alangkah lebih baiknya diedit lagi agar blognya kelihatan lebih menarik 🙂
iya kak terimakasih sarannya, secepatnya akan segera diubah tampilannya
bagus le hahaha
Siap bossku
makasih sarannya