Social Sciences

we learn about you and we share it to you

Review Buku Bab 2 Manusia dan Kebudayaan

manusia dan kebudayaan

Manusia dan kebudayaan adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan jika kita berbicara dalam lingkup masyarakat. Seperti yang pernah dikatakan oleh Koentjaraningrat bahwa kebudayaan itu sendiri merupakan hasil cipta rasa dan karsa manusia. Jadi ketika dalam suatu masyarakat terdapat kebudayaan maka didalamnya juga ada manusia yang pernah tinggal. Masyarakat Eropa memiliki tiga dasar pandangan dalam melihat masyarakat dan kebudayaan makhluk manusia, yaitu :

  1. Menurut orang Eropa, manusia ini diciptakan beranekaragam, namun orang berkulit putih memiliki kebudayaan yang paling sempurna dan paling tinggi.
  2. Manusia diciptakan sekali saja dimana makhluk di dunia ini merupakan keturunan adam. Sebagian berpendapat bahwa perbedaan kebudayaan karena dosa abadi yang dimiliki adam. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa manusia da kebudayaan tidak mengalami degenerasi. Perbedaan kebudayaan diantara mereka lebih disebabkan karena tingkat kemajuan mereka yang berbeda.

Pada abad 16-18 di Eropa mengalami zaman Aufklaarung atau pencerahan dimana terjadi kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi. Filsafat social mengkaji berbagai bentuk masyarakat dan tingkah laku manusia yang dianalisis secara induktif. Pada masa ini juga muncul pandangan dari C.L de Secondat, Baron de la Brede de Montesquieu yang menyatakan bahwa keberagaman manusia disebabkan oleh sejarah mereka masing-masing dan juga pengaruh alam dan struktur sosialnya. Oleh karenanaya sesuatu unsure atau adat dalam suatu kebudayaan tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan harus dari system nilai yang ada di kebudayaan tersebut/relativisme kebudayaan. Perubahan kebudayaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penemuan baru, divusi, alkulturasi serta termasuk juga lingkungannya.

Manusia sekarang lebih mengandalkan kebudayaan yang dimilikinya secara biologis, yaitu dengan selalu beradaptasi dengan lingkungannya agar mampu bertahan hidup. Proses adaptasi telah melahirkan keseimbangan yang sifatnya dinamis karena sebagai suatu organism maka manusia harus hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Dengan kebudayaan yang dimilikinya maka manusia mempunyai suatu system gagasan yang digunakan untuk dapat bertahan hidup dilingkungan tertentu. Namun ketika ada perubahan secara ekologis, maka manusia akan menyesuaikan gagasannya.

Penerapan azas-azas analisis ekologis serta konsep-konsep yang dipergunakan untuk mengungkap azas-azas tersebut pada manusia, dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan human ecology. Pada dasarnya, metode yang paling sederhana dengan memandang bahwa masyarakatsebagai fenomena biotic, kemudian menerapkan konsep ekologi secara langsung dan menyeluruh. Steward mencatat bahwa pada berbagai suku bangsa berburu meramu, variasi komposisi jumlah anggota suatu kelompok sangat ditentukan oleh sumber alam yang ada disekitarnya dan siklusnya. Pendekatan ekologis berupaya menemukan hubungan kegiatan manusia dan proses alam dalam kerangka analisis ekosistem, dan menekankan saling ketergantungan sebagai komunitas alam. Jadi semisal ketika ahli ekologi memasuki sebidang sawah atau padang rumput maka yang dilihatnya itu bukan hanya apa yang ada disitu, tetapi juga apa saja hal yang sedang terjadi dalam komunitas itu. Terpeliharanya keseimbangan system merupakan kekuatan pengatur perimbangan alam, dimana jika ada satu unsure yang menghilang atau tidak ada dalam system maka secara otomatis system ini tidak dapat berlaku sebagaimana mestinya.

Menurut Steward(1955), cultural ecology adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan geografisnya. Menurutnya, perlu mengkaji keterkaitan antara telnologi dengan lingkungannya dengan menganalisis hubungan pola tata kelakuan dalam komunitas yang menggunakan teknologi tersebut sehingga warga yang melakukan aktivitas tersebut dapat bertahan hidup. Dalam analisis ini harus mampu menjelaskan pola tata kelakuan dan upaya lain yang digunakan untuk dapat bertahan hidup.

Menurutnya adaptasi ekologis merupakan bagian inti dari system budaya yang responsive karena proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis akan dapat mempengaruhi unsure dalam struktur social. Sehingga agar tetap produktif maka suatu perubahan kebiudayaan akibat faktor ekologis harus dilakukan upaya pengaturan kembali yang tidak lain pengaturan tersebut dapat mempengaruhi struktur social. Hubungan antara kebudayaan dengan alam juga dapat dijelaskan melalui aspek tertentu dalam kebudayaan dimana hubungan antara keduanya memberi gambaran adanya perbedaan kebudayaan suatu kelompok. Karena pendekatan ekologi budaya Steward tidak bisa berlaku bagi seluruh aspek kehidupan maka dia kemudian mengusulkan konsep tipe kebudayaan yang berkaitan dengan teknologi yang digunakan dan kaitannya dengan sifat suatu lingkungan.

Di masa lalu studi tentang kebudayaan selalu ditekankan akan adanya keterkaitan perilaku manusia dengan lingkungannya atau environmental determinism atau pdikenal dengan pendekatan geographical determinism atau ethnographic enviromentalism dimana kondisi lingkungan sangat berperan dalam membentuk kebudayaan suku bangsa. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pemikiran berbeda dari antropolog amerika. Kaum possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif atau secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Kaum possibilis berpendapat, suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai sebab utama perbedaan suatu kebudayaan, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi.

Kaum antropogeografis lebih mendasarkan pada pendekatan yang menekankan sejauh mana pengaruh dan cara-cara kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungannya atau determinisme lingkungan. Penganut antropogeografis berpendapat bahwa faktor geografis seringkali tampak dinamis bukan pasif dalam perkembangan kebudayaan manusia. Sedangkan Kaum possibilis beranggapan bahwa hampir semua praktek kebudayaan bersifat khas dan spesifik, secara logika tidak dapat dikaitkan dengan keadaan alam habitat geografis. Menurut sebagian besar penganut paham enivironmentalis, perbedaan perilaku sosial makhluk hidup baik fisik dan kejiwaan adalah karena hidup dalam suatu iklim yang berbeda. Selain itu, Ada beberapa kajian empirik yang mencoba menggambarkan bahwa suatu lingkungan dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Namun, berbagai paradigma environmental determinism ternyata lebih didukung oleh data empirik yang diperoleh selama observasi daripada dihasilkan melalui suatu hipotesis yang telah mengalami berulang kali uji coba kebenaran.

posted by Maharani Elma in Antropologi Umum and have Comments (5)

5 Responses to “Review Buku Bab 2 Manusia dan Kebudayaan”

  1. Dikasih judul, pengarang, penerbit & tahut penerbitan,

  2. Maharani Elma berkata:

    Oke mas dedi. Terimakasih masukannya hehe

  3. mungkin bisa ditambahi daftar pustaka kak

  4. ayuherni berkata:

    mungkin dirapiin lagi rata kanan kirinya boleh kakak 🙂

  5. Setuju sama masukan dari teman teman

Place your comment

Please fill your data and comment below.
Name
Email
Website
Your comment

Lewat ke baris perkakas