penjara-2

Tidak seperti biasanya, aku harus ke rumah tahanan (rutan) karena suatu keperluan. Pagi sekitar jam 9 aku sudah sampai bersama temanku. Ada beberapa polisi yang sedang bertugas di sudut meja. Terlihat santai walau jari jemari sibuk melulis sesuatu. Aku berjalan masuk ruangan dan terlihat didalam rutan ada beberapa penghuni yang nampak murung. Sudah jelas, mereka didalam pasti pernah terlibat sesuatu yang mengharuskan ada di tahanan tersebut. Aku dan temanku duduk sambil ngobrol ngalor ngidul bareng polisi.

Tak selang lama ada rombongan datang dan tampak mencari seseorang. Bapak dengan tubuh gempal, Ibu dengan postur agak kurus dan gadis berambut panjang terlihat menyapa di depan pintu. Mereka menanyakan suatu nama kepada polisi. Dan memastikan bahwa nama tersebut ada disini. Ditunjuklah ruang pojok dengan pintu besi hitam oleh polisi.  Mereka berjalan perlahan dengan raut muka penuh harap. Sampailah pada pertemuan orang tua dan anak dengan nuansa yang sangat berbeda. Mereka bertemu namun harus ada sekat pintu besi.

Nampak seorang Bapak yang mendadak susah berbicara. Mengeluarkan sapu tangan untuk manahan tetesan air mata yang susah dibendung. Ibu tersebut memeluk anak dengan tangisan yang menempel pada jeruji penjara. Mereka masih tidak percaya anak kesayangannya harus mendekam di tempat sempit itu. Sang anak tidak bisa berkata-kata ketika keluarga menjenguk. Nampak Ibu terus beristighfar memikirkan apa yang salah dari keluarganya sehingga harus menerima cobaan oleh Tuhan yang berat seperti ini.

“Koe kok tega nemen garo Bapak Ibu le…” (Kamu kok tega sekali sama bapak dan ibu nak… )
“Tega le, tega pokoke….” (tega nak, pokoknya tega..)
“Isin nemen ngarti garo tangga-tangga” (malu sekali dengan tetangga-tetangga)
“Disekolakna nemen-nemen bisane kelakuane kaya kiye…Poyane saka umah tah sekola…” (disekolahkan betul-betul kenapa perilakunya seperti ini, Izinnya dari rumah kan kamu sekolah)
“Koen gemiyen kan bocah sing nurut…bisane saiki dadi kaya kiye sih pribe….” (kamu dulu kan anak yang nurut, kenapa sekarang jadi seperti ini sih bagaimana..)
“Eling Bapane loh…angger ora dilampuaha ndorong gerobak ya ora bakal olih duit. Panas atis ya dilakoni mangkat, sing dadi anak malah ora bener..” (Ingat Bapak…kalau tidak dengan mendorong gerobak ya nggak bakal dapat uang. Panas dingin ya tetap berangkat, kamuyang jadi anak malah tidak benar)

Itu sederet ungkapan kekecewaan seorang Ibu terhadap anaknya yang aku dengar. Aku sendiri tidak bisa menahan air mata saat itu karena melihat dan mendengar langsung ketika seorang Ibu kecewa dengan anaknya dan berani mengungkapkan. Ah…memang betul bagaimanapun kita tidak bisa membalas belas kasih kedua orang tua. Menjaga nama baik dan tidak mengecewakan itu sangat penting.

Disamping Ibu yang sedang menangis hebat, ada gadis berambut panjang yang irit bicara. Ternyata itu adalah calon dari anak yang ada dalam jeruji. Kupikir ini betul-betul yang namanya Cinta. Tetap setia walau keadaan apapun. Tetap menjadi ikatan batin seseorang walau diterpa angin kencang. Tetap ada walau cobaan hebat menghadang. Bagaimanapun setiap manusia punya salah. Dan sebaik baik manusia yang mau mengakui kesalahannya dan tidak mengulanginya. Perlu pelajaran agar manusia berubah menjadi manusia sebagaimana mestinya.