RSS

Gecok kikil, makanan menantang lainnya

PENERUS: Siti Sundari (77) di depan warung gecoknya di Desa Tlogo, Tuntang, Kabupaten Semarang. Dia penerus usaha mendiang ibunya, Suratni pencipta resep gecok.SM/Rukardi

Kalau Solo punya tengkleng, maka Tuntang punya gecok. Dibanding tengkleng yang lebih populer, gecok hanya bisa dijumpai di sekitar Tuntang dan Salatiga. Kendati demikian bukan berarti dari segi rasa, gecok berada satu level di bawahnya.Cita rasa gecok bahkan lebih berani. Varian olahan daging kambing itu kaya bumbu dan berasa ekstrapedas. Tentu saja, sebab, selain merica, gecok juga menggunakan campuran cabe jawa. Mungkin itulah mengapa ia hanya bisa ditemui di kawasan Tuntang dan Salatiga yang berhawa dingin. Menyantap sepiring gecok dapat menghangatkan dan menyegarkan tubuh.

Gecok berbahan dasar daging kambing. Agar lunak, daging kambing direbus terlebih dahulu selama kurang lebih 30 menit. Setelah dipotong kecil-kecil, daging kembali direbus dan dicampur tumisan bumbu, yakni jahe, laos, salam, serai, mrica, dan cabe. Untuk mengentalkan kuah, digunakan blendo, yakni ampas minyak kelapa. Makanan itu biasa disajikan dengan sepiring nasi hangat.

Saat ini ada puluhan warung yang menjajakan gecok di sekitar Tuntang dan Salatiga. Sebagian menyajikan gecok dengan variasi tertentu, seperti menambahkan kulit kepala sapi. Di antara warung-warung itu, warung Gecok Tlogo Ibu Siti Sundari di Desa Tlogo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang tetap mempertahankan resep asli.

Bukan tanpa alasan, sebab Siti Sundari (77) adalah putri mendiang Ny Suratni, orang yang diklaim pencipta resep gecok pada tahun 1940-an. Menurut Siti, gecok sengaja dibuat sebagai obat capek. Bumbu pedas dari merica dan cabe jawa di dalamnya akan merangsang keluarnya keringat. Akibatnya, setelah makan gecok, tubuh akan terasa lebih segar.

Suatu ketika, makanan itu dijajakan Suratni di rumahnya, Desa Watuagung, Tuntang, dan ternyata banyak yang menggemari. Sepeninggal Suratni, usaha warung gecok diteruskan putri ketiganya Siti Sutirah. Tahun 1953 pengelolaan dipasrahkan adiknya Siti Sundari.

Sekitar tahun 1966, Siti Sundari memindahkan warung gecoknya dari Watuagung ke Desa Tlogo. Tempat itu dipilih karena dekat pemberhentian kereta api jalur Kedungjati-Ambarawa. Selain penumpang kereta, pelanggan gecok juga para blantik yang hendak menjual binatang ternak ke Pasar Hewan Ambarawa.

”Zaman dulu, sapi atau kerbau yang akan dijual digiring menuju pasar. Nah Para blantik dari Bringin dan sekitarnya itu selalu mampir untuk sarapan di sini. Mereka bilang, setelah makan gecok, badan jadi seger,” tutur Siti Sundari.

Sejak saat itu, lanjut dia, orang mulai ikut-ikutan menjual gecok. Bagi, Siti Sundari, fenomena itu dianggap biasa. Sebagai keturunan pencipta resep dia tak mempersoalkan orang lain yang turut menjual gecok. Bahkan terhadap pemilik warung yang memakai merek Gecok Tlogo sekali pun. ”Kalau mau jual gecok silakan saja, wong mereka juga mencari rejeki. Saya tidak pernah kepikiran untuk mematenkan resep warisan itu.”

Warung Gecok Tlogo Bu Siti Sundari amat sederhana dan berada jauh dari pusat kota. Kendati demikian, warung itu tak pernah sepi pembeli. Sebagian pelanggan berasal dari luar daerah, seperti Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Ambarawa. Sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab Semarang menjadi langganannya. Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Ali Mufiz menyempatkan menyantap gecok tlogo saat melakukan kunjungan dinas di Tuntang.

Satu porsi gecok Bu Siti Sundari dihargai Rp 7.000. Selain dijual di warung, gecoknya banyak dipesan untuk acara-acara resmi. Kini warung Gecok Tlogo telah diserahkan pengelolaannya kepada putrinya Susana Andari (44). Seorang anaknya yang lain Dwi Sugiarto juga membuka warung gecok di Desa Ngajaran Tuntang.( rukardi/Cn08 )

sumber:

https://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0707/04/dar2.htm


Your Comment






Skip to toolbar