Hai sahabat cakrawalars
Kita kembali bertemu lagi ya. Untuk kali ini saya akan berbagi ilmu dan pengetahuan kepa kalian. Sostingan kali ini merupakan salah satu kajian dari ilmu Antropologi Kesehatan. Dimana dalam postingan kali ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana strategi jalon BEM<
Seperti yang telah dibahas di atas, bahwa hampir di setiap desa mempunyai sistem pemilihan kepala desa yang berbeda-beda. Untuk studi kasus kali ini, kami tidak terjun langsung untuk melakukan suatu penelitian tentang bagaimana sistem pemilihan dan juga strategi politik para calon kepala desa di suatu daerah tertentu, namun kami menggunakan artikel dari Fitriyah. Dalam artikelnya tersebut, ia menjelaskan tentang hasil penelitiannya tentang cara kerja politik uang, studi kasus Pilkada dan Pilkades di Kabupaten Pati. Dalam artikel tersebut, dijelaskan bagaimana strategi para calon kepala desa dan juga kepala daerah dalam rangka mendapatan partisipasi dan perhatian masyarakat untuk memilihnya ketika Pilkada maupaun Pilkades berlangsung, yakni menggunakan politik uang.
Dalam artikel tersebut, para calon kepala desa di Kabupaten Pati menggunakan beberapa strategi politik dalam mendapatkan partisipasi dan juga dukungan dari masyarakat setempat, diantaranya yaitu menggunakan politk uang. Para calon kepala desa di sana rela membagikan sejumlah uangnya kepada masyarakat umum demi mendapatkan dukungan dan partisipasi dari orang-orang yang ia beri sejumlah uang tersebut. Dalam beberapa kesempatan, banyak sekali calon legislatif yang menggunakan politik uang dalam Pilkada maupun pilkades.
Di Kabupaten Pati, pilkada langsung baru diawali tahun 2005, namun cara memilih kepala desa secara langsung sudah lama dilakukan di desa. Pilkades ini pada setiap desa diselenggarakan berbeda mengikuti berakhirnya masa jabatan kepala desa yang bersangkutan. Setelah terbit UU Desa No. 6 Tahun 2014, pilkades dilakukan serentak. Pada masa transisi pilkades serentak ini diatur paling banyak digelar dalam tiga gelombang dalam jangka waktu 6 (enam) tahun, dimana tahun 2015 digelar pilkades gelombang pertama.
Pilkades serentak 2015 di Kabupaten Pati diikuti oleh 220 desa dari 21 kecamatan yang ada. Jumlah Calon yang turut serta dalam pilkades ini berjumlah 529 kandidat dengan rincian kandidat laki-laki berjumlah 446 orang dan kandidat perempuan sebanyak 83 orang. Ada 32 desa yang memiliki calon kepala desa pasangan suami istri, tersebar di 15 kecamatan yakni Kecamatan Kota, Batangan, Tlogowungu, Tambakromo, Trangkil, Cluwak, Pucakwangi, Gabus, Wedarijaksa, Margoyoso, Kayen, Tayu, Winong, Sukolilo dan Jaken. Pilkades juga diikuti oleh sejumlah PNS. sebanyak 19 PNS telah mengajukan izin ke Bupati untuk mendaftarkan diri sebagai calon kades. Dari 19 pegawai pemerintah tersebut, didominasi dari sekretaris desa dan juga guru Sedangkan PNS lain berasal dari sejumlah staf di berbagai instansi dan juga anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Pilkades serentak diselenggarakan pada Sabtu, 28 Maret 2015. Dari 219 desa yang menggelar pilkades ada 12 desa yang terpilih kepala desanya adalah perempuan. Satu dari dua desa yang menjadi lokasi penelitian termasuk yang menyelenggarakan pilkades serentak, sedangkan di desa yang satunya pilkades dilaksanakan tahun 2012. Di kedua desa penelitian pilkades digelar sesudah pilkada. Di kedua desa tersebut, politik uang terjadi baik dalam pilkada maupun pilkades.
Para calon dalam rangka memenangkan pilkada maupun pilkades membentuk tim sukses, anggota inti adalah kerabat dan teman. Struktur tim sukses berbentuk piramida dengan jaringan paling bawah berada di tingkat RT. Tim sukses memainkan peran penting dalam pilkada maupun pilkades, yakni menjadi penghubung antara calon dan pemilih, selain mengenalkan pasangan calon yang mereka dukung tim sukses, khususnya tingkat RT berperan mendistribusikan uang ke pemilih. Untuk melaksanakan politik uang dalam Pilkada maupun Pilkades, para calon menggunakan jasa tim sukses dalam membantu dan melaksanakan politik uang tersebut. tim sukses ini bertugas untuk membagikan sejumlah uang atau barang kepada masyarakat untuk diambil suaranya guna mendukung calon yang dibantunya tersebut.
Sebagai gambaran tentang cara kerja tim sukses bisa dilihat dari kasus di Desa Morodadi. Pilkades Desa Morodadi diikuti dua pasangan calon. Kedua calon membentuk tim sukses dan anggotanya adalah kerabat dan teman. Misalnya, tim sukses calon kepala desa terpilih Desa Morodadi diantaranya adalah “Atmo” dan “Bambang”, kedua orang ini adalah tangan kanan calon yang bersangkutan. Mereka berdua adalah orang yang berpengaruh di desanya karena koneksinya yang luas. “Atmo” dan “Bambang” berbagi tugas, “Atmo” yang membuat pemetaan data penduduk, sedangkan “Bambang” yang menyusun strategi dan mobilisasi massa. “Bambang” juga merangkap menjadi pemodal, ia meminjamkan uangnya kepada calon yang ia dukung sebesar 350 juta. Pembayaran pinjaman diduga akan di ganti melalui hasil tanah bengkok desa selama ia menjabat.
Untuk menyampaikan uang ke pemilih (politik uang), tim sukses inti membentuk jaringan desa-RT, setiap RT ada lebih dari satu anggota disebut koordinator lapangan (korlap). Jumlah orang yang direkrut sebagai korlap bervariasi antar calon, bergantung pada kemampuan keuangan calon yang bersangkutan. Di Desa Morodadi calon yang menang memberi tanggung jawab satu orang korlap memegang 3 rumah, sehingga hanya akan mengurus sekitar 12 orang pemilih jika diasumsikan setiap rumah ada 4 pemilih. Sedangkan calon yang kalah setiap korlap bertanggung jawab untuk 40-50 orang.
Bagi masyarakat, politik uang dalam pemilu sudah lumrah, setiap pemilu pemilih pasti mendapat amplop. Bahkan kebanyakan warga desa sudah menunggu amplop dari calon, mereka juga tidak segan untuk menceritakan berapa jumlah amplop yang sudah diterima kepada orang lain. Dari pihak calon, mereka merasa kurang afdol jika tidak ikut memberikan amplop. Besaran uang untuk pemilih dalam pilkades lebih besar dibandingkan dalam pilkada, per orang sebesar Rp 50.000- Rp150.000. Penyalurnya ke pemilih menggunakan cara yang sama, pemberian uang dilakukan melalui korlap. Uang diberikan ke calon pemilih bertahap mulai dari malam hari sebelum hari pencoblosan (lazim disebut serangan fajar) atau bagi yang terlewat, dengan cara dilakukan penyisiran oleh tim sukses ditemukan belum terima amplop, uang diberikan di pagi hari di hari pecoblosan.
Apa yang diuraikan di atas menunjukkan adanya strategi politik yang dilakukan oleh para calon legislatif (baik calon kepala daerah maupun calon kepala desa), yakni menggunakan politik uang. Dalam hal ini, para calon menggunakan uang sebagai cara untuk mendapatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat untuk memenangkan pemilu yang ada di kabupaten pati tersebut. Dalam artikel tersebut dapat kita lihat tentang bagaimana eksistensi politik uang dalam Pilkades di masa kini, dimana kita tahu bahwa dalam sistem perpolitikan, penggunaan uang dan sejenisnya dalam berpolitik tidak dibenarkan, namun dalam regional tertentu ternyata pengunaan uang dan sejenisnya dalam berpolitik masih sangat marak dan sering dilakukan oleh calon-calon legislatif untuk mendapatkan partisipasi dan dukungan masyarakat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Politik uang merupakan suatu pemberian uang atau barang, atau fasilitas tertentu, atau janji, atau sejenisnya kepada orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih, misalnya menjadi kepala daerah/ wakil kepala daerah. Ada banyak cara politik uang dilakukan oleh para aktor pilkada. Wahyudi Kumorotomo (2009) menyebutkan ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam Pilkada. Menurutnya, politik uang dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung, secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial, sumbangan dari para bakal calon kepada partai politik yang telah mendukungnya, atau “sumbangan wajib” yang disyaratkan oleh suatu partai politik kepada para kader partai politik atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota.
Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan, hadiah, spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya (Kumorotomo, 2009).
Daftar Pustaka:
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/10716/8503
Kumorotomo, Wahyudi (2009). “Intervensi Parpol, Politik Uang Dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”. Makalah. Surabaya: Konferensi Administrasi Negara. Online, diakses pada rabu, 1 November 2017.
Romli , Lili (ed) (2009). Evaluasi Pemilu Legislatif: Tinjauan Atas Proses Pemilu, Strategi kampanye, Perilaku memilih, dan Konstelasi Politik Hasil Pemilu. Jakarta: P2P-LIPI