Tanggal 31 Maret 2014 saya bersama teman-teman Jurusan Pendidikan Sosiologi dam Antropologi melakukan Kajian Lapangan Masyarakat dan Kebudayan Suku Tengger di Desa Ngadas Bromo.Saya berangkat dari Semarang sekitar pukul 13.00 WIB dan sampai di Bromo tepatnya di Terminal Suka Pura pukul 01.00 WIB lalu melanjutkan perjalanan wisata ke Pananjakan dan Lautan Pasir.
Setelah berwisata, saya melanjutkan perjalanan menuju Homestay. Sekitar pukul 10.00 WIB saya tiba di Homestay, saya menempati Homestay 8 bersama Bona, Apri, Betha, Aulia, Ana, Renny dan Rani. Saya langsung menuju homestay dan istirahat sejenak. Dan saya disambut oleh ibu yang memiliki rumah tersebut serta diberi hidangan. Ibunya tinggal dirumah itu sendiri karena suaminya bekerja di Surabaya dan hanya memiliki satu anak yang sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Ibu pemilik rumah tersebut bekerja sebagai petani. Setelah saya selesai menata koper dan ransel saya, saya menuju ke tempat makan yaitu terletak di depan Aula Desa Ngadas dan Homestay yang saya tempati merupakan homestay yang terdekat dengan Aula Desa.
Setelah makan pagi, sekitar pukul 11.00 WIB, saya mengikuti acara penyambutan saya dan teman-teman Mahasiswa Sosiologi dan Antropologi yang dilaksanakan di Aula Desa dan disambut hangat oleh Kepala Desa Ngadas Bapak Sumartomo dan Ketua Adat Desa Ngadas atau yang sering disebut Dukun untuk masyarakat Desa Ngadas, yaitu Bapak Kamituo dan Pak Mulyono.
Pak Sumartomo sebagai kepala Desa Ngadas memberikan sambutan dan sedikit memberikan pengetahuan kepada saya dan teman-teman SosAnt tentang Desa Ngadas.
Penduduk Desa Ngadas berjumlah 685 jiwa, yaitu 347 laki-laki dan 338 perempuan. Penduduk Desa Ngadas mayoritas bekerja pada sektor Pertanian dan mayoritas beragama Hindu, akan tetapi ada juga yang beragama Islam. Kedua agama tersebut hidup rukun dan saling berdampingan.
Dan Pak Kamituo sebagai Ketua Adat Desa Ngadas atau Dukun juga memberikan sambutan serta memberi pengetahuan kepada saya dan teman-teman.
Menurut beliau sebagai Dukun didesa Ngadas, masyarakat Tengger bukan merupakan masyarakat yang melarikan diri dari Majapahit karena masyarakat Tengger sudah ada sejak zaman Majapahit dan membaur bersama masyarakat Majapahit. Agama Hindu di Suku Tengger bukan merupakan Hindu-Tengger, melainkan Hindu Dharma sama seperti pada Masyarakat Bali. Hindu di Suku Tengger sama dengan di Bali, akan tetapi Hindu Di Suku Tengger tidak mengenal kasta seperti di Bali dan masyarakat Hindu di Suku Tengger jika meninggal dunia tidak dibakar atau istilahnya Ngaben melainkan dikubur dengan kain morri. Sesaji yang ditaruh dipohon atau dipatung-patung yang ada di Bali dengan di Suku Tengger berbeda. Jika di Bali menggunakan kain dengan motif kotak-kotak, sedangkan di Suku Tengger menggunakan kain berwarna kuning. Ritual-ritual pada masyarakat Suku Tengger tidak dibukukan karena merupakan ritual khusus atau ritual pribadi bagi masyarakatnya.
Masyarakat Suku Tengger kaya akan kepercayaan dan upacara adat, yaitu:
Upacara Karo merupakan hari raya terbesar masyarakat Suku Tengger dan bertujuan untuk mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal usul manusia, untuk kembali pada kesucian .
Upacara Kapat merupakan upacara yang jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
Upacara Kawulu, jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
Upacara Kasanga, jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
Upacara Kasada, diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Masyarakat Tengger mendaki Gunung Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke dalam kawah.
Upacara Unan-Unan, diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuannya adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
Zaman dahulu ketika masyarakat Suku Tengger belum mengenal tehnologi, budaya gotong-royong dan kekeluargaan masih sangat mengental. Contohnya, ketika belum mengenal traktor, masyarakat dalam bertani masih saling membantu jika sedang bekerja di ladang. Akan tetapi, setelah mengenal dan menggunakan traktor sistem gotong-royongpun mulai luntur. Sistem gotong-royong yang tidak luntur adalah ketika salah satu dari masyarakat sedang mengadakan Hajatan, secara tidak langsung masyarakat akan membantu khususnya tetangga dan keluarga. Gotong-royong acara Hajatan dalam masyarakat Desa Ngadas disebut Sinoman, sama halnya dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat hidup rukun dan saling berdampingan, jadi tidak ada konflik dalam masyarakat baik dengan agama Islam. Karena antar agama Islam dan Hindu saling menghormati, ketika hari besar Hindu, masyarakat beragama Islam akan berkunjung kerumah masyarakat yang sedang merayakan hari besar agamanya untuk memberi ucapan selamat dan begitu juga sebaliknya, jika hari raya Islam maka masyarakat beragama Hindu akan mengunjungi rumah masyarakat yang sedang merayakan hari besar agamanya.
Setelah mengikuti sambutan Kepala Desa dan Ketua Adat, saya menuju ketempat makan untuk makan siang, setelah makan siang saya menuju homestay untuk sholat dan istirahat. Sekitar pukul 15.00 WIB saya melakukan observasi I bersama kelompok saya. Kebetulan saya mendapat tempat berobservasi di Desa Wonokerto tepatnya dirumah Ibu Yulita yang bekerja sebagai petani jamur dan petani sayur serta bekerja sebagai GTT atau Guru Bantu di Desa Cemoro Lawang yang sedang melanjutkan studinya di Universitas Swasta di Probolinggo.
Setelah melakukan observasi I, saya melanjutkan perjalanan menuju homestay untuk sholat dan makan malam. Setelah makan malam, saya menuju Aula Desa Ngadas untuk berdiskusi dengan kelompok mengenai observasi yang saya lakukan. Sekitar pukul 20.00 WIB, saya mengikuti acara diskusi kelompok, dari kelompok 1 sampai kelompok 13 dengan Tema yang berbeda dan fokus pembicaraan yang berbeda pula. Setelah semuanya selesai yaitu pukul 00.30 WIB saya kembali menuju homestay untuk tidur.
Hari kedua, saya bangun pukul 05.20 WIB lalu menunaikan ibadah kepada Allah SWT dilanjut siap-siap untuk sarapan pagi. Pukul 08.00 WIB saya melanjutkan observasi, kebetulan saya ditempatkan di Desa Ngadas. Saya bertemu dengan Mba Wiwid dan Mba Eni, mereka adalah penjaga warung yang ada didekat jalan raya desa Ngadas. mereka adalah penduduk asli desa Ngadas. Mba Eni masih sangat muda, ia belum menikah dan lulusan SMP. Penduduk desa Ngadas mayoritas lulusan SD dan SMP, karena keterbatasan biaya untuk sekolah dan mereka memilih untuk membantu orang tua mereka mencari uang, seperti yang dilakukan Mba Eni.
Lalu, saya melanjutkan perjalanan untuk mencari informan. Saya bertemu dengan Bapak Mariono, beliau merupakan petani sayuran. Beliau menanam kentang, wortel, kubis, bawang dll. Petani sayuran dalam satu tahun bisa 3 kali panen. Akan tetapi, penghasilan sebagai petani tidak menentu. Contoh saja harga kentang jika melambung bisa mencapai 5.000 perkg atau kubis jika tidak laku hanya 1.000 perkg. Sayur-mayur sudah ada yang mengepul untuk dikirim ke Probolinggo dan Surabaya bahkan sampai Semarang.
Akan tetapi, jika musim kemarau seperti sekarang ini, para petani tidak dapat menghasilkan sayur-mayur dan seseringkali gagal panen. Oleh karena itu, jika musim kemarau tiba maka para petani memilih untuk beralih profesi sebagai kuli tani atau pergi ke Surabaya menjadi kuli bangunan.
Pekerjaan di Suku Tengger bukan hanya petani saja, melainkan bidang pariwisatapun juga ada seperti supir jeep, penarik kuda dan gaet lokal.
Setelah melakukan observasi lanjutan, saya menuju ke Aula Desa Ngadas untuk acara pelepasan bersama Kepala Desa dan Ketua Adat. Setelah acara selesai saya melanjutkan perjalanan menuju terminal Suka Pura.
2 komentar pada “Fieldnote: Suku bangsa Tengger”
Kakak dilengkapin fotonya kakak dong yang di bromo.
Kakak dilengkapin fotonya kakak dong yang di bromo.
semangat pres