URGENSI CHARACTER BUILDING Upaya Dini Mengatasi Dekadensi Moral Generasi Muda

Akhir-akhir ini kita merasa prihatin, melihat tayangan televisi dan berita di media massa bahwa semakin banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh generasi-generasi muda atau para remaja. Beberapa contoh yang bisa diambil adalah meningkatnya  angka kriminalitas, tawuran antar pelajar, miras, narkoba, free sex remaja, dan masih banyak kasus lainnya.

Kondisi ini semakin memperkuat asumsi bahwa dewasa ini telah terjadi dekadensi moral generasi muda yang luar biasa, yang dalam istilah Alqur’an disebut sebagai generasi dzurriyatan dhi’afan  yaitu suatu generasi yang lemah iman, ekonomi, fisik, mental, serta menjadi beban hidup orang lain.

Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa dekadensi moral ini tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, namun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk anak-anak dan para pelajar.

Faktor-faktor penyebab Dekadensi Moral

Dalam pengamatan penulis, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dekadensi moral ini, antara lain; Pertama,  lemahnya perhatian orang tua terhadap perkembangan kebutuhan fisik dan psikis anak. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya ketidakharmonisan keluarga (broken home), orang tua sibuk kerja, sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan anaknya, dan lemahnya kontrol dari orang tua misalnya kurangnya pendampingan pada saat menonton TV, main game, internet, dan aktivitas harian lainnya.

Kedua, pengaruh media massa dan lingkungan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat, yang tidak disertai kontrol budaya yang beradab turut menjerumuskan generasi muda pada hal-hal yang negatif. Banyak informasi dan tayangan-tayangan yang negatif mudah diakses oleh generasi muda yang sebenarnya tidak pantas untuk usia mereka. Praktik pornografi, pornoaksi yang sudah terang-terangan hingga di tempat umum, merebaknya tempat-tempat maksiat berkedok  karaoke, cafe, serta munculnya fenomena baru game porno tiga dimensi, dimana dalam game tersebut anak-anak secara fulgar bisa malihat adegan mesum yang dimainkan oleh tokoh-tokoh tiga dimensi, dan perilku asusila lainnya semakin memperparah moral generasi muda.

Ketiga, pengaruh negatif dari arus globalisasi. Pengaruh budaya cinta materi secara berlebihan (materialistik), hidup boros (konsumeristik), sikap senang dengan kenikmatan hidup sesaat (hedonistik),  dan pemisahan kehidupan duniawi dari nilai-nilai agama (sekularistik), telah menggejala di masyarakat muslim tidak hanya di daerah perkotaan tapi telah menjalar sampai ke desa-desa. Nafsu-nafsu duniawi tersebut juga memiliki andil kuat terhadap munculnya berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadi krisis moral secara meluas yang jauh dari nilai-nilai dan tradisi budaya luhur yang santun dan beradab.

Keempat, dangkalnya pengetahuan agama dan hilangnya tokoh panutan. Semakin acuh tak acuhnya tanggung jawab orangtua, lingkungan masyarakat, pemangku adat, para pejabat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru seringkali dilecehkan. Tontonan telah menjadi tuntunan, sementara yang seharusnya menjadi tuntunan justru menjadi tontonan yang disepelekan.

Kelima, Krisis Uswatun Hasanah. Salah satu hal yang penting dilakukan oleh semua pihak dalam membangun generasi khoira ummah adalah adanya uswatun hasanah atau keteladanan.  Dewasa ini kita mengalami krisis keteladanan, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, masyarakat, maupun pejabat dan pemimpin-peminpin bangsa.

Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa. Nilai-nilai budi pekerti yang telah diajarkan dan ditanamkan dengan susah payah oleh dunia pendidikan, dengan serta merta dibantahkan oleh perilaku-perilaku masyarakat dan pemimpin negeri yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah.

Krisis uswatun hasanah yang dialami bangsa Indonesia, menjadi sumbu pemicu bagi pertahanan moralitas bangsa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu peradaban bangsa.
Kesuritauladanan yang baik (uswatun hasanah) terhadap generasi muda sangat penting dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis, dunia pendidikan, hingga para pemimpin bangsa harus proaktif andil bagian dalam hal ini.
Pentingnya Character Building
Pendidikan di Indonesia banyak dikritik belum mampu membangun karakter (caracter building) peserta didik menjadi pribadi yang unggul dan berbudi pekerti luhur (akhlaqul karimah). Pendidikan masih sekedar melakukan proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) yang kering dari nilai-nilai budi pekerti dan belum banyak mengarah pada tranforfasi nilai-nilai budi pekerti (transfer of value).
Ironisnya, kondisi ini juga telah menjalar pada lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai basis pendidikan agama. Dewasa ini kita masih sering menjumpai perilaku dan karakteristik peserta didik yang kurang menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Agama Islam itu sendiri, disebabkan oleh lemahnya implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Idealnya, pendidikan bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama di dalam kurikulumnya saja, tetapi yang lebih penting adalah mengimplementasikan perwujudan dari nilai-nilai keagamaan didalam totalitas kehidupan peserta didik di dalam maupun di luar sekolah/madrasah melalui berbagai pembiasaan perilaku terpuji.
Pada dasarnya metode Pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode pendidikan memungkinkan dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam.
Oleh karena itu masyarakat juga memiliki tanggung jawab secara sosial terhadap masa depan generasi muda kita. Diantara upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini baik melalui pendidikan formal di madrasah, pondok pesantren maupun pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan Alqur’an, Madrasah Diniyah, Majlis Ta’lim, dan sebagainya, serta membangun tradisi keteladanan (uswatun hasanah) dalam setiap aktivitas keseharian.
Hal yang tidak kalah penting juga dilakukan oleh para orang tua adalah senantiasa memberikan perhatian yang penuh pada setiap aktivitas anak-anaknya, termasuk selektif dalam memilihkan informasi dan teknologi, senantiasa mengontrol buah hatinya untuk tidak salah dalam memilih komunitas (teman bergaul), turut menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan jasmani dan rohani remaja ke arah yang lebih baik, memberikan informasi yang konstruktif, membimbingnya dan memberikan pemahaman keagamaan sesuai dengan pertumbuhan kejiwaan sejak dini, sehingga tercipta generasi remaja mengetahui tanggungjawabnya sebagai abdi (hamba) dan juga sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk membangun masyarakat yang berperadaban tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, guru, kyai, ulama saja, tetapi ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, GP. Ansor, Fatayat, IPNU-IPPNU juga memiliki peran yang sangat strategis dalam melakukan kontrol sosial dan pembinaan generasi muslim, melalui berbagai aktivitas sosial keagamaan turut berperan dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang khoiro ummah.
Generasi Khoira Ummah masa depan yang diharapkan di era globalisasi ini adalah generasi  yang lahir dengan budaya luhur (tamaddun), dijiwai oleh nilai-nilai tauhid yang kokoh, kreatif dan dinamik, memiliki wawasan ilmu yang tinggi, berbudi pekerti luhur. Dengan kata lain adalah generasi ulama yang intelek dan intelektual yang ‘alim.
Betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa, kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya tidak bermoral, maka akan menghancurkan peradaban suatu bangsa. Demikian juga sebaliknya, apabila generasi mudanya maju, berkualitas, berakhlaqul karimah, maka akan tercipta bangsa yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafuur.
Sumber : Majalah SPEKTRA Edisi Pertama
[Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I]

Edukasi Bahaya Merokok, Padang Panjang Sasar Anak & Remaja

Edukasi Bahaya Merokok, Padang Panjang Sasar Anak & Remaja
MEMBUAT anak mengerti bahaya merokok tidaklah mudah. Apalagi, bagi Padang Panjang, Sumatera Barat, yang ingin menjadikan Kota Tertib Rokok.

Wakil Wali Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Mawardi, mengatakan bahwa mengajari bahaya rokok kepada anak bukanlah hal mudah. Terlebih di beberapa kota yang memiliki hawa dingin seperti Padang Panjang, rokok sering digunakan sebagai penghangat tubuh.

Menangani kondisi tersebut, Pemkot Padang Panjang memiliki siasat tersendiri dalam menekan angka perokok pada anak dan remaja. Upaya itu dilakukan melalui penyuluhan berbasis edukasi dan sains yang menarik mengenai bahaya merokok.

“Seperti, misalnya, kami edukasi anak SD dengan memerlihatkan bahwa cacing yang dimasukkan ke asap rokok di sebuah gelas, bisa mati dengan cepat.  Sementara, untuk para remaja, atau anak SMP dan SMA kami memberikan contoh ikan yang mati dalam tujuh menit setelah diberi rokok dalam sebuah wadah,” kata Hariyanto, Ketua Forum Kota Sehat, Padang Panjang, saat kunjungan media di kantor Balai Kota, Padang Panjang, Sumatera Barat, baru-baru ini.

Upaya inipun menghasilkan penurunan jumlah perokok di Kota Padang Panjang. Hariyanto menerangkan bahwa pada 2009 jumlah orang sakit yang datang ke puskesmas mencapai 937 orang. Setelah tahun 2010 hingga 2011, hanya ada 463 orang. Yang menarik, imbuh dia, pernah ada Komandan Brimob mengaku berhenti merokok karena anaknya.

“Adanya edusains (edukasi dan sains-red) ini, anak-anak jadinya mengerti. Dan, lucunya, mereka jadi suka mengusir orangtua yang suka merokok dalam rumah, kayak Komandan Brimob yang cerita ke kami. Anaknya itu sekolah di PAUD sekitar sini, melihat ayahnya merokok dia bilang, ‘Ayah, enggak baik merokok. Kata ibu guru bisa sakit. Kalau merokok di luar, jangan di dalam rumah’. Mungkin karena tidak tega dan malu pada anaknya, Komandan itu akhirnya menyatakan berhenti merokok,” urainya.

Adapun edukasi berupa edusains diberikan setiap bulannya dengan cara dan waktu yang berbeda. Untuk siswa TK dan Paud dua kali sebulan, dan SLTP serta SLTA sebulan sekali.

[https://lifestyle.okezone.com]

Perisakan Akal

Perisakan Akal

Dimuat di Koran Tempo, 3 Mei 2015

Saat menginginkan atau mendapatkan mainan baru, anak kecil kerap segera melupakan mainan lamanya sekaligus menggumuni atau menyukainya mainan barunya dengan berlebihan. Kadang tidak cukup dengan melupakan yang lama, tetapi kadang disertai memburuk-burukkan yang lama. Tampaknya, perilaku seperti ini tertanam pada beberapa orang sampai dewasa, tanpa disadarinya.

Demikian pula pada dunia gagasan. Sesaat mendapatkan suatu gagasan baru dan melihat kebaikannya, orang kerap begitu menggumuninya sekaligus menjelek-jelekkan yang lama.

Dikotomis

One wayPerilakunya seperti bandul ayunan, yang selalu berada di posisi ektrem mutlak. Jika tidak menggumuni sesuatu, ya menjelek-jelekkannya sampai terkesan mem-bully atau merisak yang lama. Berpikirnya dikotomis, jika tidak +1 ya -1. Tak ada antaranya, atau malah tak ada kemauan melihat keunggulan dan kekurangan keduanya.

Perilaku bak bandul ayunan ini juga dapat dirasakan saat muncul gagasan “Pendidikan Karakter” atau Kurikulum 2013 di dunia pendidikan nasional. Saat itu, kata “kognitif” jadi bulan-bulanan. Jika ada tawuran pelajar atau kecurangan, dibilang itu karena persekolahan kita menekankan unsur “kognitif” atau akal. Kambing hitam keadaan yang tak baik sudah divonis, yaitu pendidikan yang menekankan akal.

Padahal jika disimak kenyataan yang ada, pendidikan kita justru jauh dari berhasil membelajarkan akal. Fakta bahwa siswa kita berada di peringkat kedua dari bawah dalam kemampuan kognitif ini misalnya dapat ditemukan dalam Laporan PISA sejak satu dekade lampau sampai sekarang. Dari situ dapat dikatakan justru pendidikan kita belum berhasil membelajarkan akal. Sebaliknya bukankah fakta di atas itu justru menyiratkan bahwa permasalahan sosial seperti tawuran pelajar justru mungkin dikarenakan persekolahan kita gagal membelajarkan akal?

Akal tentulah dibutuhkan untuk mengembangkan karakter masing-masing kita. Sulit membelajarkan dampak buruk korupsi atau intoleransi, misalnya, jika akal tidak berkembang dengan berimbang. Pendidikan karakter sejatinya bukan berarti bahwa akal tak dibutuhkan lagi.

EQ1Saat masyarakat mulai berkenalan dengan gagasan EQ atau Kecerdasan Emosional serta kecerdasan lainnya, saat itu pula IQ yang sudah dikenal lama disepelekan, sampai malah dijelek-jelekkan. Kursus dan sekolah-sekolah saling berlomba membuat spanduk dengan berbagai jargon gagasan baru EQ, SQ, dan yang lain-lainnya. Kursus komersial pengembangan diri dengan iming-iming kecerdasasan “baru” ini menjamur. Gelombang menggumuni yang baru dan sekaligus menyinyiri yang lama ini tetap berlanjut sampai sekarang.

Demikian pula saat dirasa unsur “rasa” penting dalam pendidikan bahkan dalam budaya berilmu-pengetahuan, lalu berdatanganlah gelombang menggumuni “rasa” itu sekaligus gelombang merisak “akal”. Bahkan sampai ada yang mencap pendidikan “akal” ini salah, seharusnya “rasa”.

Maka berayunlah bandul ke ujung ekstrem baru. Dari satu ujung ekstrem Akal berayun secara mutlak ke ujung ekstrem lainnya, yakni Rasa. Menggumuni Rasa, merisak Akal. Yang berkembang jadinya cara berpikir secara dikotomis semata. Hitam-putih.

Padahal, bukankah hidup sama-sama membutuhkan keduanya, baik akal maupun rasa? Walau keduanya memang berbeda dan dapat dikaji secara terpisah, namun bukankah dalam menjalani kehidupan ini manusia menggunakan keduanya sekaligus dan tanpa dapat menyadarinya dengan mutlak? Manusia melibatkan keduanya secara bersamaan dalam memutuskan sesuatu. Hampir mustahil manusia menggunakan yang satu semata sekaligus mengabaikan secara mutlak yang lainnya di saat membuat pertimbangan pada masalah di kehidupan nyata.

Pendikotomian akal dan rasa ini selain mustahil dalam praktik kehidupan, juga tak perlu sekaligus menentang sejarah. Di Jaman Pencerahan, akal dan rasa dikembangkan oleh ilmuwan yang seniman dan seniman yang ilmuwan. Di jaman itu tak ada segregasi ilmu pengetahuan dan seni.

Rasa berakal

Bersains dan bermatematika kerap dicitrakan sebagai kegiatan yang mengandalkan akal dan mengabaikan rasa. Sebaliknya, berkesenian kerap dicitrakan sebagai kegiatan yang mengandalkan rasa dan mengabaikan akal.

Relativity, M.C. Escher, 1953

Padahal untuk bersains dan bermatematika justru dibutuhkan unsur rasa. Matematikawan seperti G.H. Hardy malah berkata bahwa ujian pertama teori matematika terletak pada keindahannya, bukan kebenarannya. Beliau melanjutkan lagi bahwa tak ada tempat untuk matematika yang jelek. Rasa mutlak dibutuhkan dalam bermatematika dan rasa merupakan unsur utama yang mendorong manusia berhasrat bermatematika.

Sedang di sisi lainnya, untuk berkesenian dibutuhkan akal yang sama sekali tidak sepele. Demikian pula bidang desain yang sarat menggunakan akal selain rasa.

Hasil karya seniman seperti Mondrian, Picasso, Leonardo Da Vinci, Escher, Beethoven, Bach, dsb menunjukkan bahwa akal terjalin menyatu erat dalam proses berkesenian. Itulah rasa yang melibatkan akal atau rasa berakal. ***

[https://www.bincangedukasi.com]

Bertanya, Kecakapan Abad 21

Bertanya, Kecakapan Abad 21

Pada suatu kesempatan, dalam sebuah penerbangan, pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Dr. Tony Wagner duduk di samping rekayasawan Clay Parker yang memimpin divisi kimia di sebuah perusahaan multinasional dan berbincang-bincang.

Dalam kesempatan itu, perbincangan sampai pada kecakapan untuk hidup di dunia modern ini. Dr. Wagner bertanya kecakapan utama apa yang Tuan Parker paling cari pada pelamar kerja yang baru lulus dari universitas. Tuan Parker menjawab, “Pertama dan yang utama, saya mencari lulusan yang mampu membuat pertanyaan bagus.” Ini mengejutkan Dr. Wagner, karena tadinya ia berpikir jawabannya akan berkisar kecakapan praktis dan terkait langsung dengan pengetahuan teknisnya, yakni kimia rekayasa.

Sepanjang sejarah, kecakapan bertanya selalu merupakan kunci pembangunan peradaban manusia. Khususnya, pengetahuan ilmiah, teknologi, bahkan seni dan filsafat dapat berkembang terus sampai detik ini karena keberaniannya bertanya dan sikap tak mudah puas dengan jawaban.

Namun, terlepas dari perannya dalam pengembangan keilmuan, merumuskan pertanyaan merupakan kecakapan pertama dan utama dari bernalar. Tidak saja itu, untuk menyelesaikan masalah tentu seseorang pertama harus mampu merumuskan pertanyaan atau permasalahannya.

Di dunia abad 21 dengan kehidupannya yang tiap detik lahir permasalahan baru sekaligus kompleks seperti sekarang, kemampuan menyelesaikan masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya menjadi semakin dibutuhkan manusia. Penyakit atau virus jenis baru yang belum pernah ada risetnya harus dihadapi kedokteran di masa sekarang. Permasalahan yang diakibatkan pemanasan global merupakan permasalahan yang benar-benar baru bagi manusia. Akibatnya kecakapan merumuskan pertanyaan guna menyelesaikan masalah kompleks menjadi semakin dibutuhkan, sepenting solusinya.

Kecakapan bernalar di era sekarang mutlak dibutuhkan bukan saja di dunia pendidikan, tetapi juga sebagai warga biasa. Dr. Wagner berkata bahwa kecakapan bernalar merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk berfungsi efektif dalam belajar, bekerja, dan bahkan dalam berbangsa.

Dari filsafat Yunani kuno sampai Teori Belajar modern, kecakapan bertanya berperan penting guna meningkatkan pemahaman, sekaligus kecakapan bernalar seseorang. Kedisiplinan bertanya sama pentingnya dengan bernalar.

Permasalahannya sekarang, apakah persekolahan hari ini sudah secara sistematis dan terencana membelajarkan kecakapan bertanya ini? Beberapa dari kita memang memperoleh kecakapan ini saat sekolah, tetapi mungkin itu diperolehnya secara kebetulan, bukan direncanakan sungguh-sungguh dalam sebuah sistem. Ini keberuntungan semata.

Dalam praktik di persekolahan umum hari ini, siswa lebih diutamakan segera menyerap informasi, ketimbang mempertanyakan dahulu. Jawab disuapkan sebelum pertanyaan dipikirkan dan diajukan. Terlebih, kenyataannya siswa lebih banyak dituntut untuk menjawab, atau malah memilih jawab yang diharapkan guru, ketimbang bertanya.

Kapan terakhir kita dengar siswa diminta menulis esai yang menuntut mereka menyusun penafsiran sebuah karya sastra atau buku berdasar hasil bernalarnya sendiri? Terlebih, seberapa sering kita orangtua mencoba mendengar anak menjelaskan pendapatnya pada suatu isu dan kita dengarkan tanpa kita hakimi?

Akibatnya, atmosfer kelas melahirkan komunitas takut berpikir, takut mengambil risiko. Saat di kelas, jika guru menyajikan masalah, murid kerap mendatangi guru dan bertanya, “Pakai rumus ini, Bu?” atau “Betul caranya seperti ini?” Malah kadang lebih parahnya murid ada yang memohon, “Tunjukkan cara menjawabnya, Pak.”

Ini semua karena kebenaran sekaligus kecepatan jawab lebih diutamakan ketimbang keasyikan berpetualang dalam bernalar. Di sistem pendidikan kita yang dikuasai tradisi belajar-mengajar demi ujian, bukan gairah, murid sering bertanya, “Ada rumus cepatnya, pak?” Bukankah keadaan ini semua pertanda jelas bahwa atmosfer di kelas kebanyakan masih belum subur bagi calon pemikir masa depan. Lebih jauh, iklim kelas seperti ini jelas menempatkan guru sebagai sumber kebenaran dan mahkamah paling agung yang berkuasa menentukan benar tidaknya suatu pendapat. Murid belum merasa menjadi subjek yang berwenang menyatakan benar tidaknya suatu gagasan.

Padahal dalam studi lanjutnya nanti, kecakapan anak bertanya akan menjadi penentu kesuksesannya. Api motivasi belajar dari dalam diri justru utamanya dipantik serta terjaga nyalanya karena kita berani bertanya. Pada karirnya nanti, kecakapan bertanya akan menjadi unsur mengelola diri dan manajemen. Sedangkan pada perannya sebagai warga negara, kecakapan bertanya dan bernalar akan menjadi modal utama untuk berperan efektif dalam bernegara. Kemudian, pada perannya sebagai manusia, kecakapan bertanya dan bernalar ini akan membantu dirinya untuk peduli dan mampu terlibat dalam melestarikan planet Bumi ini.

Namun sayangnya tak ada jalan pintas untuk persekolahan mampu membelajarkan kecakapan ini. Guru yang cakap mengelola kelas sebagai komunitas pemikir bebas merupakan kuncinya. Dan untuk sebuah negara berkekuatan bala guru cakap bertanya itu perlu upaya penyiapan serius. Tak ada jalan pintas untuk ini. Kurikulum, buku, dan aturan pemerintah semata tak akan mampu meningkatkan kecakapan anak kita bertanya.

Pelatihan guru yang selama ini berjalan yang kerap menggunakan pendekatan ceramah satu-arah tentulah jalan yang mustahil untuk membangkitkan kecakapan guru bertanya. Bagaimana mungkin membelajarkan kecakapan bertanya, jika pendekatannya adalah ceramah, pengumbaran jawaban, instruksi, dan guru sekedar diminta mendengar dalam pelatihan? Peluang guru berlatih bertanya dan langsung melalui substansi keilmuan mutlak dibutuhkan. Tentulah, Guru Sejarah harus berlatih mengelola kelasnya bak komunitas pecinta sejarah.

Masa depan kekuatan ekonomi negara, kekokohan Sang Republik, dan kelestarian ekosistem planet Bumi tergantung pada seberapa cakap anak-anak kita bernalar. ***

[https://www.bincangedukasi.com]

Pendidikan Didaerah Pelosok

Image result for pendidikan pelosok
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Satu juta lebih anak rentang usia 7-15 tahun (SD dan SMP) setiap tahun putus sekolah. Terutama anak-anak di pelosok daerah terpencil.

Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orangtua.

Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.

Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi.

”Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas,” ujar Arevi Yestia, salah seorang siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8/7).

Menurut Arevi, orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil.

Sera, siswa SD dari Wamena, Papua, menambahkan, di SD tempatnya bersekolah hanya ada tiga guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6. “Semua guru mengajar di semua kelas,” ucapnya.

Wamendiknas Fasli Jalal mengakui sekitar 3-4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sementara kemampuan pemerintah terbatas.

Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi 4 juta anak yang lahir setiap tahunnya.

Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD sudah masuk atau telat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.

Sekolah SD dan SMP satu atap, kata Fasli, merupakan salah satu solusi agar anak di pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, ia juga berjanji akan menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.

Nantinya, Fasli berjanji akan mengkoordinasikan dengan dinas pendidikan daerah. Dia juga menyesalkan jika masih ada guru yang melakukan cara kekerasan dalam mengajar di kelas. ”Seharusnya guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dan sudah jelas transaksi apa pun, termasuk transaksi jual beli buku dan nilai itu dilarang,” tegasnya.

Pahlawan Pendidikan di Indonesia

Tak perlu diperdebatkan lagi, dua figur berikut ini adalah pelita pengubah bangsa. Menurut pandangan saya, pahlawan adalah orang yang membela tanah air dan berusaha membebaskan bangsa dari penjajahan. Dan guru adalah orang yang membagikan ilmu dan juga pengalaman pada kita. 

Sering kita dengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, guru memang pahlawan yang berusaha untuk membebaskan bangsa dari penjajahan yang bernama “kebodohan”. Jika kita mendengar kata “guru”, bayangan kita akan lari pada sesosok “Oemar Bakrie” yang dinyanyikan oleh penyanyi kawakan Iwan Fals yang mencoba mendeskripsikan guru. Guru sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya pembimbing. Dalam bahasa Jawa, guru adalah “digugu lan ditiru”, artinya didengarkan dan dicontoh. Guru merupakan panutan bagi anak didiknya atau bahkan lingkungan sekitarnya.

Menurut wikipedia, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu, dan dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan melatih anak didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Guru pertama kita adalah orangtua, dan guru, baik formal maupun informal, adalah representasi dari orangtua.

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Guru merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan, dan merupakan unsur terpenting dan terdepan dalam penentuan hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran. Guru berhubungan langsung dengan masa depan sebuah bangsa. Namun juga guru harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang masih mengandalkan sisi akademik, namun dari sisi moral kurang tersentuh.

Guru memiliki sifat-sifat dari seorang pahlawan, namun ada beberapa oknum tertentu yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan sifat pahlawan tersebut, sehingga dalam melakukan pengabdian hanya setengah hati. Namun itu juga tidak bisa disalahkan, karena sangat manusiawi jika guru mempunyai kebutuhan hidup.

Akan tetapi masih ada sosok pahlawan dalam hati sanubari guru yang dengan bermodalkan dedikasi dan semangat yang luar biasa mendidik dan mengajar siswa dengan gaji yang minim demi kemajuan bangsa. Mereka tidak mengharapkan gelar. Biarlah Ibu Pertiwi sebagai saksi bisu dan jasa mereka akan selalu terkenang dalam sanubari anak didiknya. Guru hendaknya tidak hanya mengajar sekaligus pembelajar, Guru adalah pekerja sosial yang bertugas mencerdaskan anak didiknya bukan mengutamakan komersil belaka.

Pahlawan jaman dulu berjuang melawan kemerdekaan saat ini Indonesia sudah merdeka sebagai generasi penerus bangsa kita tinggal meneruskan cita-cita pahlawan melalui pendidikan. Guru sebagai pejuang pendidikan, mereka berjuang melawan korupsi dan kolusi melalui tindakan, pengajaran, inovasi. Metode pengajaran yang hanya satu arah, diubah dengan metode dua arah, dimana terjadi interaksi antara guru dan murid. Dan tidak hanya mementingkan nilai akademik saja, namun juga pendidikan moral bermasyarakat.

Mari kita tengok sejenak perjalanan hidup dari salah satu pahlawan pendidikan yang napak tilasnya terekam hingga diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat anti kolonial.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik eens Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut :

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi : “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

Betapa mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang kemajuan suatu bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian ?

Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di zaman ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa. Jika bukan bangsa ini yang memberi apresiasi atau penghargaan yang selayaknya pada guru, lalu siapa lagi ? Ataukah kita harus berharap pada bangsa lain? Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada bangsa lain ?

Sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang amat mulia hanya dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, Padahal gurulah yang mengantarkan manusia-manusia Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ibaratnya pengorbanan dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan sekali pun.

Suhartono (Guru dalam Tinta Emas, 2006:ix} menjelaskan bahwa kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru kita tidak dapat seperti sekarang ini.

Begitu besar peran seorang guru dalam kehidupan kita. Namun, ketika kita sudah berhasil meraih impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa guru. Ketika murid-muridnya telah berhasil menjadi presiden, gubernur, pengusaha, atau apa pun, guru tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang berubah dari guru hanyalah usianya yang semakin menua.

Kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai pengabdian yang tanpa pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun gaji yang layak tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan (dibaca: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani), bukankah kata pahlawan mengandung makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di negeri ini? Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan.

Nasib guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul ‘Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan. Dalam lagu tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua. Meskipun gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil, namun Oemar Bakrie tetap semangat mengajar murid-muridnya.

Saat munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar Bakrie tetap saja sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnya pun tak kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instan, dan serba modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam gambaran Iwan Fals.

Seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar di SD dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari program wajib belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini pun melibatkan peran guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya jika pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di kalangan para guru dan dunia pendidikan pada umumnya menjadi secercah harapan bagi para guru. Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi itu sendiri menjadi begitu rumit karena banyak sekali komponen atau syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan lulus uji sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta. Tunjangan bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh dari pemerintah.

Kita semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan nasional adalah guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk. Keceriaan para guru menjadi keceriaan bangsa ini.

Sebenarnya siapa saja yang bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan itu ? Teringat akan beberapa sosok pahlawan nasional yang bergerak di bidang pendidikan dengan tujuan mulia yakni mencerdasakan anak bangsa. Sebut saja Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu pelopor pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa dan banyak mengangkat anak-anak bangsa khususnya yang dari kalangan pribumi. Sedangkan RA Kartini, atau Dewi Sartika juga srikandi di dunia pendidikan dengan mengangkat harkat dan martabat kaumnya meskipun menghadapi kendala yakni nilai-nilai yang berlaku di masa mereka yang sangat menentang hal tersebut.

Apakah semua guru itu adalah pahlawan pendidikan? Tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru itu benar-benar orang yang mendedikasikan diri untuk memajukan pendidikan bagi sekitarnya. Ada segelintir yang menjadikan profesi pendidik (dalam kata lain guru) sebagai pelarian sementara sebelum menemukan pekerjaan yang diidam-idamkannya. Jadi pendek kata bukan itu panggilan jiwanya, dan pastinya salah satu andilnya adalah kesejahteraan.

Menyoal kesejahteraan guru, memang hal ini menjadi masalah utama yang harus dihadapi. Di satu sisi guru di beberapa bagian negeri sudah menikmati berbagai fasilitas yang memadai seperti tunjangan, sertifikasi dan lainnya, sementara banyak guru lain yang harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga ada yang setelah mengajar menjadi juru parkir, pemulung atau mengajar privat dari pintu ke pintu karena penghasilannya yang tidak memadai. Dari sini kadang kesejahteraan berpengaruh pada kinerja serta kemaksimalan seorang pendidik dalam menghidupkan lentera ilmu dalam diri anak-anak didiknya, terlebih jika guru tersebut mengabdi di tempat-tempat terpencil yang jauh dari fasilitas perkotaan yang memadai dan dengan sarana prasarana ala kadarnya. Barangkali bila sang pendidik itu tidak mempunyai gairah kuat dalam dirinya sebagai lentera bagi masyarakatnya, bisa jadi dia akan pergi dan meninggalkan tempat mengajarnya dalam kegelapan. Namun bersyukur masih banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik di tempat-tempat yang jauh seperti di pedalaman, mereka melakukan segalanya melalui kendala dan keterbatasannya dengan satu misi, yakni mencerdaskan serta memberi sinar terang bagi daerah yang ditempatinya.

Program Indonesia Mengajar, dimana programnya menempatkan muda-mudi terpilih untuk mengajar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia, juga menjadi salah satu program untuk mencerdaskan anak-anak bangsa utamanya di kawasan terpencil. Para pengajar muda ini ditempatkan di berbagai sekolah diseluruh Indonesia untuk mengajar selama satu tahun, dan diutamakan kawasan yang sulit dijangkau fasilitas perkotaan, dan tentunya hanya dipilih yang benar-benar punya integritas tinggi tanpa pamrih untuk mengabdi pada daerah yang jadi pilihan. Walaupun mungkin masih belum seperti para guru yang rela menempuh jarak berkilo-kilo demi mencapai sekolahnya dengan rasa rela dan ridha untuk berbagi.

Profesi pendidik sekali lagi merupakan profesi yang sangat mulia, karena dari pendidiklah semua profesi dicetak. Mau jadi ekonom, agamawan, ilmuwan, astronom dan lain-lainnya semua itu takkan ada bila tidak ada yang mendidiknya dan itu merupakan proses getok tular yang terus menerus dan takkan berhenti.

Saya sadar kalau tidak semua pendidik itu bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan. Karena seperti yang telah saya tulis sebelumnya, tidak semua orang yang jadi pendidik itu benar-benar berjiwa pendidik, siap mendidik dan juga dididik. Sementara gelar pahlawan pendidikan itu bukanlah penggelaran dari diri pendidik itu sendiri, melainkan diberikan oleh orang sekitarnya, yang merasakan kiprah sosok ini dalam memajukan daerahnya. Bukan sekedar mendidik, tapi juga memberi kontribusi sekecil apapun itu bagi dunia pendidikan.

Meskipun mungkin dia bukanlah seperti Ki Hadjar Dewantara, RA Kartini atau bahkan selevel Dewi Sartika, masyarakat yang memberi penilaian. Semoga para guru diseluruh Indonesia dan dimanapun mereka berada bisa lebih meneladani sosok pahlawan pendidikan yang telah memberi warna bagi kemajuan pendidikan di negeri yang masih berkutat dengan segala permasalahan yang ada saat ini.

Pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Peningkatan harus dilakukan merata dan tidak condong ke beberapa daerah saja. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang dianak-tirikan oleh pemerintahan di pusat. Mereka merasa tidak mendapat perhatian yang layak, dan itu terlihat jelas dari pendidikan di daerah mereka yang masih jauh ketinggalan. Salah satu daerah yang mengeluh tersebut adalah Papua.

Kemakmuran seakan-akan jauh dari Bumi Cendrawasih. Kemiskinan berada di setiap penjuru desa. Fasilitas kesehatan masih sangat minim didapat di sana. Sarana prasarana umum tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah. Pendidikan yang tidak merata pun semakin melengkapi penderitaan masyarakat. Rakyat Papua sulit untuk melangkah maju membangun daerahnya karena rendahnya tingkat pendidikan. Kemerdekaan sepertinya masih menjadi mimpi bagi banyak orang disana. Mereka masih merasa hanya sebagai penumpang di tanah sendiri.

Beruntung, Papua masih memiliki beberapa orang pahlawan pendidikan yang berusaha untuk membangkitkan Sang Mutiara Hitam dari tidurnya. Beberapa mereka seperti Johannes Surya dan Daniel Alexander. Ketimbang memilih kenikmatan pelayanan di perkotaan, mereka lebih memilih untuk melangkahkan kaki mereka di jalanan rusak desa-desa di Papua. Tanpa memandang suku, ras, dan agama, mereka berusaha meningkatkan taraf kehidupan di daerah Papua. Dan menurut mereka, salah satu aspek kunci dari kemajuan Papua adalah kecerdasan dari rakyatnya. Oleh karena itu, kedua orang ini berfokus mengembangkan pendidikan di daerah tersebut.

Ketidakadilan masih bersembunyi di banyak pelosok daerah. Kemiskinan selalu menjadi momok yang harus dihadapi rakyat. Pendidikan terus menjadi mimpi yang sulit diraih oleh banyak anak-anak Indonesia. Papua dan daerah-daerah tertinggal lainnya masih membutuhkan para pahlawan pendidikan lainnya yang mau menjejakkan kakinya di tanah berlumpur pedesaan; berani meninggalkan kemapanan demi kemajuan daerah-daerah tertinggal.

Sebutan pahlawan biasanya hanya diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada orang lain. Seseorang yang berjuang, bahkan juga berkorban hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sekalipun sukses, mereka tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan. Tidak pernah ada pahlawan untuk dirinya sendiri. Pahlawan selalu dikaitkan dengan jasa yang diberikan kepada orang lain.

Ada berbagai jenis atau tingkat kepehlawanan. Orang-orang yang berjuang dan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya, maka mereka itu disebut sebagai pahlawan bangsa. Bagi mereka yang berjasa hingga diakui oleh kalangan luas dan bahkan oleh pemerintah, maka tatkala meninggal dimakamkan pada tempat tersendiri, yang kemudian tempat itu disebut sebagai taman makam pahlawan.

Cara tersebut dilakukan adalah sebagai tanda penghormatan kepada yang bersangkutan, dan sekaligus juga agar menjadi tauladan bagi berbagai generasi setelahnya. Prestasi, keberhasilan, kebesaran terkait dengan apa saja, selalu diperoleh dari perjuangan yang tidak sederhana. Perjuangan itu bahkan juga memerlukan pengorbanan. Tidak pernah ada keberhasilan yang diperoleh secara gratis atau tanpa usaha.

Bangsa Indonesia menjadi merdeka seperti sekarang ini adalah merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawannya. Mereka itu telah mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk meraih kemerdekaan, baik pengorbanan itu berupa harta, tenaga, dan bahkan jiwanya. Ribuan orang mati, atau cacat tubuh, oleh karena berjuang merebut kemerdekaan.

Namun pahlawan tidak selalu diartikan dalam lingkup besar sebagaimana dicontohkan di muka. Tetapi benar, bahwa sebutan pahlawan selalu dikaitkan dengan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan itu bisa dilakukan di dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, seni, agama, dan lain-lain. Para perjuang masing di-masing bidang dimaksud telah melahirkan berbagai jenis pahlawannya. Oleh karena itu muncul sebutan pahlawan pendidikan, pahlawan gerakan sosial, budaya, politik, dan lain-lain.

Ada juga sebutan pahlawan dalam pengertian terbatas, misalnya dalam lingkup keluarga. Seorang ibu dan ayah adalah menjadi pahlawan bagi para anak-anak dan cucunya. Mereka itu telah berjuang dan berkorban untuk mengantarkan mereka meraih keberhasilan hidup. Itulah sebabnya, sering kita mendengar ucapan seseorang dengan mengatakan bahwa, ibu atau ayahnya sendiri adalah pahlawannya. Penyebutan itu tentu dimaskudkan untuk memberikan penghargaan, bentuk rasa terima kasih, dan rasa syukur yang mendalam atas jasa yang telah diterimanya.

Betapa pentingnya dalam hidup ini agar seseorang berbuat dan bekerja, bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi seharusnya juga untuk orang lain, maka hingga ukuran terbaik bagi seseorang ternyata dilihat dari seberapa besar yang bersangkutan mampu memberi manfaat bagi orang lain. Selanjutnya, supaya bisa memberi manfaat, maka siapapun harus berjuang dan sekaligus berkorban.

Hidup, jangan sampai hanya menjadi orang yang diperjuangkan, tetapi sebaliknya, ialah harus menjadi pejuang. Disebutkan bahwa, tangan di atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Maka agar pesan dimaksud bisa ditunaikan, maka sebagai manusia seharusnya lebih berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, sosial, dan lain-lain. Perjuangan itu manakala dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka pelakunya akan tercatat sebagai pahlawan, yaitu posisi yang sangat ideal dalam kehidupan ini.

[https://ganjarsayogo.wordpress.com]

MENJADI PENDIDIK BUKAN HANYA MENGAJARKAN TAPI JUGA MENJADI PANUTAN

Pendidikan seperti telah kita ketahui bersama merupakan salah satu faktor penentu kemajuan sebuah Negara, apabila pendidikannya bagus maka kemungkinan bangsa tersebut maju juga besar, akan tetapi apabila pendidikannya kurang bagus maka bangsanya pun juga kemungkinan besar kurang maju. Dengan pendidikan yang bagus di harapkan penduduk suatu Negara memiliki kemampuan yang lebih dan memiliki moral yang lebih bermartabat serta memiliki sudut pandang yang lebih luas dalam menghadapi suatu masalah ataupun perbedaan yang terjadi dalam kehidupannya. Didalam dunia pendidikan sendiri banyak faktor yang mempengaruhi kemajuan Pendidikan itu sendiri seperti:
1.    Kurikulum pendidikan
2.    Sarana dan Prasarana pendidikan
3.    Biaya pendidikan
4.    Peran serta Pemerintah/ Kebijakan Pemerintah
5.    Kualitas Tenaga Pendidik

Dari segenap faktor diatas yang akan kita bahas kali ini adalah kualitas dari pendidik, kenapa kualitas pendidik ini sangat penting dalam dunia pendidikan, hal ini dikarenakan dari merekalah akan lahir generasi-generasi baru penerus bangsa. Dapat kita bayangkan apabila seorang pendidik tidak memiliki kompetensi dibidangnya bisa kita bayangkan generasi apa yang akan dilahirkannya. Berbicara tentang seorang pendidik bukan hanya berbicara tentang masalah kuantitas tapi juga berbicara tentang masalah kualitas, tidak hanya berbicara tentang gelar akademik yang diraihnya tapi juga kesesuainan antara gelar tersebut dengan kualitas yang ada dari gelar yang diraihnya.

Banyak pihak yang kurang sadar bahwa seorang pendidik haruslah orang yang benar-benar ahli dibidangnya, tidak hanya mempunyai gelar lantas langsung bisa mengajar pada suatu instansi ataupun lembaga. Seorang pendidik dituntut tidak hanya bisa mengajar atau menularkan ilmunya karena kalau hanya itu yang bisa dia lakukan lantas apa bedanya dengan seorang murid yang pintar yang mengajari temanya sesama murid yang tidak begitu bisa. Agar pendidik itu tidak sama dengan seorang murid tadi maka selain bisa mengajar, pendidik juga harus bisa menjadi panutan atau contoh yang baik untuk anak didiknya baik itu dari segi tingkah laku, tata karma atau pun cara bergaul dan yang terpenting selain hal diatas adalah pendidik harus bisa menumbuhkan semangat anak didiknya, memberi motivasi dan meyakinkan anak didiknya akan mimipi-mimpi yang ada dibenaknya akan terwujud dengan belajar sungguh-sungguh dan kerja keras.

Kalau kita mengutip sebuah pepatah “ Buah Jatuh Tidaklah Jauh dari Pohonnya” pepatah ini juga bisa berarti kualitas anak didik itu mencerminkan kualitas sang pendidik, apabila kualitas anak didik kurang bagus itu juga berarti kualitas sang pendidik juga kurang baik. Sebenarnya di negeri kita Indonesia ini tidak ada anak yang bodoh yang ada hanya anak didik yang tidak mendapatkan guru/pendidik yang terbaik, apabila anak tersebut dididik oleh pendidik yang terbaik baik dari segi kualitas dan kuantitas dan pendidik tersebut mampu meyakinkan akan mimpi-mimpinya dan memotifasinya pasti anak tersebut bisa menjadi anak yang hebat suatu saat kelak. Sebuah ilustrasi kecil yang mungkin bisa kita ambil contoh adalah seorang pemusik hebat pastilah dia berlatih dengan alat/instrument yang terbaik, tidaklah mungkin seorang pemusik hebat berlatih dengan alat yang rusak bahkan alat musik yang tidak lengkap. Dari contoh tersebut kita bisa belajar bahwa untuk mendapatkan atau menciptakan generasi yang cemerlang haruslah dari tangan-tangan terampil pendidik yang cemerlang pula.Tapi masih banyak pihak yang berfikir/berpendapat bahwa “Ada Kok Murid Hebat Yang Dilahirkan Dari Pendidik Yang Tidak Hebat” Memang benar hal itu tapi kalau kita bicara fakta berapa sih jumlahnya pastilah sangat sedikit dan itu hanya kebetulan semata. Dari sinilah semua pihak harusnya benar-benar menyadari bahwa seorang pendidik adalah tugas mulia, profesi yang sangat berat, penuh dedikasi dan loyalitas untuk negeri ini, bukan hanya sekedar mengajar dan mencari nafkah.

Untuk semua pendidik dan calon pendidik semoga sedikit tulisan ini mampu merubah paradigma selama ini bahwa pendidik hanya bertugas mengajar dan mengajar tanpa ada pertanggung jawaban yang lainnya, padahal dari tangan terampil kalianlah akan tercipta generasi-generasi berbakat baru di masa depan karena tidaklah mungkin” Kue Yang Bagus Dihasilkan Dari Cetakan Kue Yang Rusak”. Semoga pendidikan Indonesia semakin maju untuk Indonesia yang lebih baik lagi.

[https://menjadi-pendidik.blogspot.co.id/]

Perbedaan Antara Pendidikan Dan Pengajaran

Pengajaran dan pendidikan atau dalam bahasa arabnya taalim dan tarbiah adalah dua perkara penting di dalam membina manusia. Pengajaran dan pendidikan adalah dua perkara yang berbeda tetapi banyak orang yang tidak faham tentang kedua perkara ini.

Pengajaran khusus ditujukan pada akal. Oleh karena itu mudah dan straight forward. Sedangkan pendidikan adalah pembinaan insan yang tidak saja melibatkan perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu karena sesungguhnya yang dididik adalah hati dan nafsu. Oleh karena itu pendidikan lebih rumit dan susah. Kedua perkara ini harus kita fahami benar dalam membina insan. Keduanya diperlukan dalam pembinaan pribadi agar pandai berbakti pada Tuhan dan pada sesama manusia.

Pengajaran adalah proses belajar atau proses menuntut ilmu. Ada dosen, guru, ustadz yang mengajar atau menyampaikan ilmu kepada murid yang belajar. Hasilnya murid menjadi pandai, dan berilmu pengetahuan (‘alim). Pendidikan adalah proses mendidik yang melibatkan penerapan nilai-nilai. Di dalam pendidikan terdapat proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan pengamalan. Ilmu yang telah diperoleh terutama ilmu agama dicoba untuk difahami dan di hayati hingga tertanam dalam hati dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain pendidikan menyangkut tentang akhlak.

Pendidikan antara lain adalah memperkenalkan Tuhan kepada manusia. Membersihkan hati insan dari sifat-sifat keji (mazmumah) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Pendidikan juga adalah mengembalikan hati nurani manusia kepada keadaan fitrah yang suci dan bersih. Nafsu perlu dikendalikan supaya tidak cenderung kepada kejahatan dan maksiat tetapi cenderung kepada kebaikan dan ibadah.

Namun, kita tidak bisa mendidik saja tanpa memberi ilmu, dan begitu juga sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang pandai tetapi rusak akhlaknya atau jahat. Masyarakat akan maju di berbagai bidang dan kemewahan timbul dimana-mana tetapi akan timbul hasad dengki dimana-mana karena jiwa tiap insannya tidak hidup. Manusia menjadi individual, tidak berkasih sayang, dan kemanusiaan musnah. Manusia berubah identitas. Fisiknya saja manusia tetapi perangainya seperti setan dan hewan.

Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Mendidik tanpa ilmu menyebabkan insan mempunyai jiwa yang hidup tetapi tidak ada ilmu untuk dijadikan panduan.

Tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua orang mampu mendidik. Ada orang yang berilmu banyak tetapi tidak mampu mendidik tetapi ada juga orang yang berilmu sedikit tetapi dapat mendidik. Karena peranan pengajaran ilmu hanya sedikit saja sedangkan selebihnya adalah peranan pendidikan.

Manusia menjadi jahat bukan karena tidak tahu ilmu. Jumlah orang bodoh yang jahat hampir sama dengan jumlah orang pandai yang jahat juga. Bahkan orang pandai yang jahat lebih jahat dari pada orang bodoh yang jahat, karena orang yang pandai menggunakan kelebihan akal atau ilmunya untuk kejahatan. Manusia menjadi jahat adalah karena proses pendidikannya tidak tepat sehingga jiwanya tidak hidup.

Dalam mencari ilmu, seseorang bisa belajar dari beberapa guru karena hanya ilmu yang kita pelajari. Tetapi, dalam mendidik atau mencari pendidik, tidak bisa ada lebih dari seorang pendidik. Pendidik yang sesungguhnya adalah pemimpin, model, sekaligus contoh untuk diikuti. Kalau ada banyak pendidik maka ibarat seperti masakan yang dimasak oleh beberapa koki. Dia akan jadi rusak. “ Too many cooks spoil the brook”.

Kemudian dilihat dari segi ilmunya, tidak semua ilmu mempunyai nilai pendidikan. Ilmu agama khususnya ilmu fardlu ‘ain seperti ilmu mengenal Tuhan memang untuk mendidik. Sedangkan kebanyakan ilmu akademik seperti matematika, perdagangan, sejarah, ilmu alam dan lain-lain tidak dapat untuk mendidik dan sekedar untuk mengajar saja. Meskipun begitu, jika proses pendidikan berjalan dengan benar sehingga jiwa Tauhid hadir pada diri seseorang maka ilmu-ilmu akademik akan menambah keyakinannya dan akan menjadikannya semakin melihat betapa berkuasa dan Maha Hebatnya Tuhan.. Sebaliknya, bagi pelajar-pelajar yang kosong jiwanya dari mengenal Tuhan, ilmu-ilmu tersebut hanya akan melalaikan mereka karena mereka tidak mampu mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan Tuhan.

Dalam suatu proses membangun dan membina manusia, pengajaran dan pendidikan adalah perkara wajib. Namun pendidikanlah yang lebih diutamakan karena jika pendidikan tidak diutamakan maka akan terbangun masyarakat yang rusak dan merusakkan. Manusia akan menjadi musuh kepada manusia yang lain dan kepada Tuhannya.Didiklah manusia lebih dahulu sebelum mengajar mereka hingga pandai. Jadikan mereka berakhlak sebelum menjadikan mereka berilmu. Kenalkan Tuhan lebih dahulu sebelum mengenalkan alam semesta beserta ciptaanNya yang lain. Jadikan mereka sebagai hamba-hamba ALLAH lebih dahulu sebelum menjadikan mereka sebagai khalifahNya.

[https://www.kawansejati.org]

Akibat Salah Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi

Memilih jurusan di perguruan tinggi sering diwarnai alasan-alasan pragmatis. Mudah mendapat pekerjaan, uang, atau imej merupakan alasan-alasan yang dominan. Itu saya alami ketika mau kuliah. Saya memilih jurusan yang tidak sesuai dengan kepribadian saya.

Ketika masih di SMA, saya tidak memahami pentingnya relasi antara bakat dan pemilihan jurusan. Tidak ada informasi dari guru ataupun orang tua tentang pentingnya mengambil jurusan sesuai bakat. Yang terlintas dalam pikiran adalah bagaimana agar punya gelar dan bisa kerja. Bagi orang tua saya pun- itu sudah cukup.


“Jangan pilih jurusan kuliah
karena alasan uang.”


Tahun 1982, saya berangkat ke Jakarta dengan naik kapal laut Tampomas. Setelah tiba di Jakarta, besoknya saya langsung berangkat ke Bandung untuk mengikuti ujian PERINTIS I, sebutan untuk ujian saringan masuk ke perguruan tinggi kelompok I (USU, UI, IPB, ITB, UNPAD, UGM, UNBRAW, ITS) pada waktu itu.

Ditemani oleh kenalan yang sudah dua tahun di Bandung, saya mengisi formulir pendaftaran ujian PERINTIS I. Saya tidak ragu memilih Teknik Elektro sebagai pilihan pertama, tetapi tidak punya opsi untuk pilihan kedua. Setengah jam saya mempertimbangkan pilihan kedua, tetapi tidak ada opsi yang saya kenal dan menarik.

Kenalan saya memberi beberapa usulan. Ia menawarkan jurusan Teknik Mesin, Teknik Industri, Teknik Kimia, Teknik Pertambangan dan Geologi. Semuanya saya tolak. Saya menolak jurusan Teknik Mesin karena takut tidak lulus. Ranking jurusan Teknik Mesin hampir sama dengan jurusan Elektro pada waktu itu. Bila gagal di jurusan Teknik Elektro, kemungkinan besar akan gagal juga di jurusan Teknik Mesin.

Saya menolak Teknik Industri karena jurusan ini menawarkan mata kuliah ekonomi, topik yang tidak saya sukai di SMA. Jurusan Teknik Kimia juga saya tolak karena kapok dengan pelajaran Kimia Karbon di kelas III SMA. Jurusan Teknik Pertambangan dan Geologi saya tolak karena tidak pernah mendengar jurusan-jurusan ini.

Kenalan saya menawarkan usulan terakhir. “Bagaimana kalau jurusan Teknik Perminyakan?” “Jurusan ini tentang apa?” tanya saya. “Kalau lulus dari Teknik Perminyakan uangnya banyak.” sahutnya. Langsung saya katakan, “Ini saja.” Saya pun memilih jurusan Teknik Perminyakan sebagai pilihan kedua.

Beberapa waktu kemudian, hasil ujian PERINTIS I diumumkan. Ketika saya baca hasilnya di koran, nama saya tidak muncul di jurusan Teknik Elektro, tetapi muncul di jurusan Teknik Perminyakan ITB. Saya sangat senang.

Hanya dua bulan saya menikmati kuliah di Teknik Perminyakan. Setelah itu, minat kuliah sirna. Minat semakin memudar mendengar info bahwa untuk lulus dari jurusan ini butuh waktu minimal 8 tahun. Anehnya, dalam keadaan begitu, ada tawaran beasiswa dari PERTAMINA. Singkat kata, saya diterima, tapi harus di jurusan yang sama. Saya berpikir pendek. “Dari pada  8 tahun kuliah, lebih baik kuliah dengan waktu yang lebih singkat,” Begitu pikirku. Saya terpaksa kuliah di jurusan yang tidak say sukai sampai selesai studi di luar negeri.

Setelah lulus kuliah, saya diterima bekerja di Marathon Petroleum Indonesia Ltd. Saya ditugaskan di Departemen Engineering. Namun, hanya tiga tahun saya punya gairah kerja. Kinerja tidak begitu menonjol. Delapan tahun saya ‘mengembara di padang pasir’, mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat.


“Salah Pilih Karir Mandek.”


Pada tahun 1996, saya meminta agar dipindahkan ke bagian Sumber Daya Manusia (SDM), pekerjaan yang sudah saya pertimbangkan sejak mulai kerja. Menejemen menyetujui permohonan saya. Gairah kerja mulai muncul sekalipun tidak semulus yang saya harapkan. Sampai hari ini pemikiran mengerjakan pekerjaan sesuai bakat terus tertanam dalam pikiran saya.

Renungan:

  • Bila Anda ingin kuliah, pilihlah jurusan yang sesuai dengan bakat Anda. Ini jadi bekal untuk memilih pekerjaan sesuai dengan bakat. Hindari memilih jurusan karena alasan uang atau mudah-mendapat-kerja.
  • Bila Anda telah mengambil jurusan yang salah, pertimbangkanlah untuk mengganti jurusan.
  • Bila sudah bekerja dan kinerja tidak begitu menonjol, pertimbangkanlah untuk mengganti pekerjaan. Ambillah langkah-langkah untuk memilih pekerjaan sesuai bakat Anda.

[https://www.putra-putri-indonesia.com]

Cek Kepribadian Anda Berdasarkan PIlihan Jurusan Kuliah

Sudah lulus kuliah dan punya gelar sarjanakah kamu? :p

 

Sudah lulus kuliah dan punya gelar sarjanakah kamu? :p
Sudah lulus kuliah dan punya gelar sarjanakah kamu? :p

Liputan6.com, Jakarta Anda kuliah jurusan apa? Ingatlah, memilih jurusan saat kuliah itu merupakan salah satu keputusan hidup yang penting. Keputusan ini akan memengaruhi pendidikan, karir, dan jalan hidup di masa depan.

Untuk memilihnya, Anda perlu memikirkan banyak hal. Pilihan itu sendiri mencerminkan jenis pekerjaan yang nantinya Anda nikmati, jenis pekerjaan yang Anda ingin lakukan, dan cara Anda melihat diri Anda.

Ternyata, antara pilihan jurusan dan kepribadian orang itu saling berhubungan. Berikut beberapa ciri-ciri kepribadian berdasarkan pilihan jurusan seperti dikutip Bustle, Minggu (13/9/2015):

Jurusan Pendidikan

Anda peduli dengan membantu orang untuk belajar, Anda suka membantu siswa memecahkan konsep yang sulit, dan Anda juga senang mendekorasi papan buletin.

Anda cenderung ceria, membuat beberapa orang berasumsi Anda lemah, tapi mereka segera belajar bahwa Anda memiliki kemampuan yang baik sebagai guru di masa depan.

urusan Teknik

Jurusan teknik analitis dan kreatif, bersemangat membongkar, melihat bagaimana mereka bekerja, dan kemudian membangunnya kembali.

Jurusan Bisnis

Mereka yang memilih jurusan bisnis umumnya orang yang outgoing, cerdas secara sosial yang tidak bersedia duduk-duduk dan menunggu dunia datang kepada mereka. Jika Anda mengambil jurusan bisnis , Anda membuat koneksi dengan orang-orang yang berguna di dunia nyata.

Jurusan Ilmu Politik

Anda bangga dengan diri Anda karena mengetahui apa yang terjadi di dunia sekarang, dan Anda pikir itu penting bagi orang seusia Anda. Anda mencoba untuk melihat masalah dari semua sudut dan menemukan solusi, dan ide di waktu yang tepat bisa membuka perdebatan isu-isu kebijakan selama berjam-jam.

Jurusan Bahasa Inggris

Anda yang mengambil jurusan Bahasa Inggris sedikit introvert – Anda bisa banyak bersosialisasi, tetapi Anda senang menghabiskan waktu untuk duduk di sudut yang nyaman dan membaca novel yang amat panjang.

Anda menganalisis segalanya, mungkin terkadang terlalu banyak – bagian favorit Anda dari nonton ke bioskop yakni membahas jalan ceritanya setelah film usai.

Jurusan Fisika

Tak semua ilmuwan canggung secara sosial atau antisosial. Jurusan fisika orang yang cerdas, penasaran suka memecahkan teka-teki dan mencari tahu bagaimana alam semesta terbentuk.

Jurusan Seni atau Teater

Sebagai mahasiswa jurusan seni atau teater, Anda sebetulnya lelah dengan dengan asumsi jurusan Anda tidak akan bisa diaplikasikan dalam dunia kerja. Anda bekerja keras untuk menyempurnakan kemampuan Anda dan mengekspresikan diri dengan banyak berkreasi dan keterampilan. Anda spontan, berani mengambil risiko, dan selalu bisa menemukan sisi teatrikal dalam situasi sehari-hari.

Jurusan Mode atau Desain Interior

Anda menghargai keindahan dan ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah. Anda kreatif dan praktis serta menikmati belajar dalam memecahkan masalah nyata dengan ruang dan pakaian sambil masih memastikan sisi keindahan dan keasliannya.

Jurusan Matematika

Anda adalah seseorang yang mencintai teka-teki, dan Anda menemukan sifat hitam-putih Matematika menenangkan dalam kekacauan dunia.

Jurusan Sejarah

Anda tidak hanya ingin mengetahui konten suatu hal – Anda selalu ingin tahu bagaimana mereka menjadi seperti itu. Anda seseorang yang mencintai cerita tentang dunia nyata dan belajar tentang budaya yang berbeda dari Anda sendiri.

Anda memiliki imajinasi aktif yang memungkinkan Anda setidaknya untuk melihat dunia melalui mata orang di masa lalu.

Jurusan Kedokteran

Anda adalah orang yang terencana. Anda seseorang yang menetapkan tujuan jangka panjang dan bekerja keras mencapainya. Anda menikmati ilmu pengetahuan, tapi juga tertarik pada orang.

Jurusan Bahasa Asing

Anda menyadari bahwa ada dunia besar di luar sana, dan Anda ingin menjelajahinya. Anda ingin tahu, berpetualang, dan suka belajar tentang orang-orang baru.

Psikologi

Untuk Anda, tidak ada yang lebih menarik daripada alam pikiran manusia. Anda ingin menganalisis orang di sekitar serta diri sendiri. Anda sensitif dan berempati terhadap orang lain.  Anda selalu menganggap ada yang lebih banyak yang terjadi dibanding yang dilihat. (Melly F)

[https://health.liputan6.com]