oleh: risahpunyakreasi
Udara dingin masih setia menemani, gunung-gunung yang mengelilingi lembah baliem masi tertutup awan. Burung-burung berkicau seolah mengatakan kegembiraan. Hari ini adalah babak baru bagi murid-muridku di SD YPPGI Hitigima, distrik Asotipo. Karena hari ini adalah hari pertama di semester II. Saatnya lebih giat belajar dan lebih rajin datang ke sekolah agar bisa terbebas dari predikat “Tahan kelas” dan bisa duduk dibangku kelas IV.
Pagi itu dipelajaran Bahasa Indonesia aku ajak anak-anak bermain Lompat kata. Beberapa anak berdiri di depan kelas, sedangkan aku akan membacakan satu kalimat. Setiap kata yang di awali huruf kapital di dalam kalimat itu, anak-anak harus lompat. Misalanya ada nama orang, nama kota dan nama hari di dalam kalimat yang aku bacakan, maka anak-anak harus lompat tiga kali. Barangsiapa yang tidak menyimak, maka akan tertinggal dan di anggap kalah.
Awalnya semua berjalan lancar, diawali dengan lima orang anak laki-laki yang aku ajak bermain, kemudian dilanjutkan dengan lima anak perempuan dan seterusnya. Namun ketika aku coba anak laki-laki dan perempuan berhadapan, mereka saling tabrak dan keadaan kelas mulai kacau, ada yang naik-naik kursi, bergendang di meja, dan loncat-loncat tidak jelas seperti pocong. Mereka sudah tidak mengikuti instruksi lagi, beberapa kali aku harus berteriak, hanya diam beberapa detik kemudian ribut lagi dan keadaan kelas sangat kacau.
Aku menggebrak meja guru dan mulai marah. Murid-muridku terkejut dan mulai diam. Aku memelototi mereka satu persatu dan mulai menasehati. Tapi beberapa anak laki-laki justru berkata “Ejeh” sambil menaikkan sebelah bahunya pertanda penolakan. Betapa sakitnya hatiku melihat penolakan mereka. Beberapa siswaku yang sudah lumanyan pintar dan bisa membaca itu mulai membangkang. Padahal tidak pernah sekalipun aku mengajarkan mereka seperti itu, aku selalu tanamkan sikap menghargai guru, namun ternyata belum bisa diterima dengan baik diingatan anak didikku.
“Ya sudah, kalau tidak mau belajar Ibu Guru tidak akan paksa. Kalau kalian tidak mau jadi anak pintar Ibu Guru tidak akan paksa, Ibu Guru mau pulang saja ke Riau karena kalian semua nakal dan susah di atur. Ibu Guru malas kasi pintar anak-anak nakal seperti kalian.” Kataku kepada anak-ana di depan pintu. Mereka semua terdiam dan mulai saling menyalahkan. Aku keluar dari kelas dengan muka masam diiringi berbagai macam tatapan muridku.
Sampai dirumah dinas yang hanya berjarak 100 meter dari kelas, aku terduduk diam. Bingung harus bagaimana. Ku buka sepatu dan jaket SM3T yang ku kenakan tadi, berniat masak mie instan karena ternyata marah itu menguras energi dan membuat perut berontak ingin makan. Baru saja aku menghidupkan kopor,tiba-tiba pintu depan di ketuk. Aku membuka pintu dan disana murid-uridku dikelas III berbondong-bondong datang kerumahku. Mereka semua tertunduk, saling dorong untuk berkata lebih dulu kepadaku.
“Mau apa.” Kataku masih dengan muka masam. Aku masih kesal dengan sikap mereka di kelas tadi.
“Ini Ibu Guru, kitorang mau minta maaf.” Ucap Tien Asso yang akhirnya memberanikan diri berkata duluan.
“Iyo Ibu Guru, tadi Melkias dorang yang ribut itu, kami tidak Ibu Guru.” Sambung Saul Asso dengan muka sungguh-sungguh. Yang lain juga ikut bersahut-sahutan membela diri.
“Ibu Guru kami mau belajar,”
“Ibu Guru hukum sudah anak laki-laki dorang yang bikin ribut itu.” Tambah si Hawila Elopere membela kaum perempuan, Bersoni, Yanes, dan beberapa laki-laki langsung protes. Mereka mulai ribut dan saling menyalahkan.
“Eh… sudah…. sudah…. Sekarang kalian masuk dulu.” Ajakku mengajak mereka rapat kecil-kecilan diruang tamu rumahku. Mereka duduk di lantai sedangkan aku duduk di kursi yang Cuma satu-satunya ada di ruang tamu.
“Sekarang Ibu Guru mau tanya, siapa yang mau jadi anak pintar?” tanyaku kepada mata-mata polos yang menatapku.
“saya Ibu Guru.. saya.. saya.. saya juga….” Terdengar anak-anak bersahutan menjawab pertanyaanku.
“Siapa yang mau jadi Bupati? Siapa yang mau terbang naik pesawat keliling Indonesia?” aku bertanya lagi. Mereka dengan antusias menjawab dan mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.
“Nah, kalau mau pintar dan sukses harus bagaimana?” tanyaku lagi.
“beeelaaajaarrr…” sahut anak-anak.
“Makanyaa….”
“Ibu Guru jangan pulang ke Riau.” Tiba-tiba si Jelti berkata sambil menunduk memotong pembicaraanku. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca, ia sedang berusaha menahan tangisnya. Aku terdiam dan duduk menghampirinya. Seketika itu juga air mata yang dari tadi ditahannya tumpah. Aku turut berkaca-kaca melihatnya. Si Tien yang melihat adegan itu tiba-tiba memelukku dari belakang. Isak tangisnya terdengar di telingaku. Reflek tanganku memeluk Jelti yang dari tadi menangis tertunduk. Hawila, Bersoni, Yanes dan beberapa anak yang tadi berdebat saling menyalahkan mendekat padaku berusaha ikut memelukku. Kami berpelukan bagai orang anak-anak yang kehilangan ibunya.
Tak lagi ku pedulikan bau mereka yang entah berapa hari tidak mandi, tak lagi aku peduli pada rambut keriting mereka yang dihiasi rumput ilalang dan entah sudah berapa lama tidak keramas, tak kupedulikan air mata dan ingus mereka yang tumpah mengenai jilbab dan bajuku, aku ingin merangkul mereka semua dalam pelukku. Ingin bertahan sejenak merasakan kenyamana luar biasa di peluk erat oleh Tien, gadisku yang biasanya lincah dan tidak mau diam dikelas. Aku ingin bertahan di pelukan mereka yang membutuhkanku, aku ingin bertahan di suasana dimana aku merasa di butuhkan murid-muridku yang polos ini. Sungguh aku tak ingin pergi dari suasana ini. Beberapa saat yang terdengar hanya isak tangis guru dan murid bersatu dalam haru.
“Ibu Guru tidak akan pulang sebelum kalian semua membaca dan jadi anak pintar.” Janjiku sambil menatap mata mereka satu persatu.
“Ah tipu, Ibu Guru sebentar lagi pulang, to?” kata Yanes.
“Iyo memang, tapi kalau kalian sudah naik kelas IV dan sudah bisa membaca semua, baru Ibu Guru pulang. Makanya harus rajin turun sekolah setiap hari, perhatikan Ibu Guru sedang mengajar. Bisa to?”
“Bisa Ibu Guru.” Jawab beberapa anak yang sudah mulai berhenti menangis.
“loh… loh… ada apa ini. Kenapa menangis semua?” kata Hotma yang tiba-tiba muncul. Hotma adalah partnerku yang berasal dari dari Universtas Mulawarman. Ia kebagian tugas mengajar di kelas IV.
“Pantasan kelas III Kosong. Itu si Aperet sendirian di kelas. Kenapa lagi, kenapa semua menangis ini? Ada duka kah?” Tanya Hotma bertubi-tubi.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, anak kelas II datang padaku memberikan secarik kertas yang di lipat.
“Ibu Guru, ini surat ada surat.” Kata Siliwan Asso si pengantar surat.
Aku langsung membuka lipatan kertas itu. Terpampanglah tulisan acak-acakan dan besar ala Aperet. Satu kertas penuh dengan tulisanya.
Surat untuk Ibu Guru
Nama : Aperet Wetipo
Kelas : III
Ibu Guru saya minta maaf. Saya tidak akan nakal lagi. Ibu Guru jangan pulang ke Riau. Saya mau belajar dengan Ibu Guru. Ibu Guru jangan marah lagi.
Isi surat singkat dengan tulisan acak-acakan dan beberapa ejaan yang salah itu membuatku bertambah haru. Aku kembali memakai sepatu dan jaket SM3T ku. Aku ajak anak-anak kembali ke kelas.
“Hey Ibu Guru.. ini kompor hidup mau bikin apa?” Tanya Hotma yang kebingungan dirumah.
“Kasi mati sudah, Sa mau mengabdi dulu e.” teriakku dari halaman rumah dengan semangat membara.
Di kelas aku melihat Aperet yang duduk sendirian di bangkunya. Ia menyembunyikan mukanya dalam lipatan tangan. Aku langsung mendekat dan memeluknya dari samping.
“Ibu Guru tidak marah lagi kok, Ibu Guru sayang sama kalian semua.” Bujukku sambil mengelus rambut keritingnya. Aku berniat beranjak dari kursi Aperet dan mulai membuka pelajaran selanjutnya. Tapi malah terdengar suara isak tangis dari kepala yang dibenamkan itu.
“Eh…. Kok malah nangis, Ibu Guru tidak marah lagi kok. Ayo kita belajar matematika.” Kataku membujuk murid laki-laki yang pintar dalam matematika ini. Tiada ku sangka preman kelas III yang biasanya paling jagoan ini ternyata berhati lembut. Agak lucu dan ingin tertawa sebenarnya. Tingkah mereka ini membuatku benar-benar seperti sedang naik roaller coaster. Kadang membuatku geram, kadang membuatku marah dan kadang membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Tidak berapa lama lagi kami guru-guru SM-3T akan pulang ke kampung halaman masing-masing, melanjutkan kuliah dan meninggalkan anak-anak didikku. Bagaimana nasib mereka ketika aku tinggalkan nanti, apakah mereka akan menapati janji untuk tetap datang ke sekolah meskipun tidak ada Guru. Akan tetap belajar meskipun tidak ada yang membimbing. Aku juga bertanya-tanya dalam hati, bagaimana perasaan mereka ketika aku benar-benar pergi dan tak kembali lagi. Bagaimana aku harus menghilangkan sedihku berpisah dengan murid-murid yang aku sayangi ini. Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya.