Hidup- Mati di Negeri Cincin Api

https://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2011/09/14/2211443p.JPG

Mengarungi Kaldera Toba nan menawan, tetapi memiliki riwayat mematikan. Mendaki Anak Krakatau yang tengah mengumpulkan daya sebagaimana leluhurnya yang menghancurkan. Menapak bebatuan rapuh di lereng Tambora yang mengubur peradaban tiga kerajaan. Hingga menyusuri jalur patahan raksasa Sumatera, perjalanan ini berujung pada sederet ironi tentang negeri yang dibelit Cincin Api.

Jutaan orang tinggal dalam jangkauan letusan gunung berapi, bahkan sebagian tinggal di dalam kaldera tanpa menyadarinya. Kota-kota tumbuh di jalur patahan, dibangun dari batu bata rapuh dan abai prinsip aman gempa. Tsunami yang mengancam hanya dibentengi tanggul cacat, bukit yang dikeruk, bakau yang menyusut, alat deteksi dini yang dicuri, dan masyarakat yang lupa.

Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni-Juli 2011 mengungkapkan minimnya pengetahuan dan kesiapsiagaan terhadap bencana itu. Hampir separuh dari 806 responden yang tinggal di zona bahaya tidak menyadari ancaman bencana yang sangat mungkin melanda daerah mereka.

Survei dilakukan di kota yang pernah dan terancam gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung, seperti Banda Aceh (Aceh), Yogyakarta (DI Yogyakarta), Sleman (DI Yogyakarta), Padang (Sumatera Barat), Palu (Sulawesi Tengah), Karangasem (Bali), dan Bengkulu (lihat halaman 24).

Padahal, gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004 menewaskan lebih dari 160.000 jiwa. Padahal, Yogyakarta diimpit petaka gempa dan letusan gunung berapi. Padahal, belum genap 50 tahun Karangasem dilanda letusan Gunung Agung yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa. Padahal, nyaris setiap tahun, Bengkulu, Padang, dan Palu digoyang gempa bumi.

Cincin Api

Nyaris tak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, selain Kalimantan, seperti yang tertera dalam peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Gempa, tsunami, dan juga letusan gunung berapi telah menjadi bagian dari sejarah Nusantara dan terekam dalam mitologi serta dongeng kuno.

Sejarawan Bernard HM Vlekke dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia, 1961, menulis, letusan gunung dan gempa bumi begitu sering terjadi di negeri ini. Salah satu pulau yang paling sering dilanda gempa adalah Sumatera, seperti dilaporkan William Marsden dalam bukunya, Sejarah Sumatera, 1783.

”Gempa bumi paling keras saya alami terjadi di Manna (Bengkulu), tahun 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang tewas,” demikian tulis Marsden.

Sebelumnya, ahli ilmu alam dari Jerman, GE Rumphius, mencatat dalam bukunya, Amboina, 1675, tentang tsunami yang melanda Ambon pada 1674. Inilah salah satu catatan tertua tentang tsunami yang melanda Nusantara, yang menewaskan anak dan istri Rumphius serta ribuan orang, pada waktu itu.

Tersusun dari ribuan pulau, Indonesia dilingkari jalur gempa paling aktif di dunia, Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire), sekaligus dibelit jalur gempa teraktif nomor dua di dunia, Sabuk Alpide (Alpide Belt). Kondisi ini diperparah dengan tumbukan tiga lempeng benua, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.

Cincin Api Pasifik merupakan jalur gunung berapi dan garis tumbukan lempeng yang membentang 40.000 kilometer mulai dari pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke Amerika Utara, melingkar ke Kanada, Semenanjung Kamtschatka, Jepang, membuat simpul di Indonesia, lalu ke Selandia Baru, dan kepulauan di Pasifik Selatan. Sebanyak 90 persen gempa di Bumi, dan 80 persen di antaranya gempa terkuat, terjadi di jalur ini.

Adapun Sabuk Alpide, yaitu pegunungan dari Timor ke Nusa Tenggara, Jawa, Sumatera, lalu terus ke Himalaya, Mediterania, hingga Atlantik, menjadi tempat bagi 17 persen gempa di Bumi ini.

Diimpit dua jalur geofisika yang ekstrem, Indonesia adalah rumah bagi sejumlah bencana alam terkuat yang pernah terjadi di Bumi. Gempa dan tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004, merupakan salah satunya.

Gunung berapi yang memiliki letusan terdahsyat di Bumi juga ada di negeri ini. Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang meletus pada April 1815 telah mengguncang dunia. Aerosol asam sulfat yang dilontarkan ke atmosfer menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa, mengakibatkan bencana kelaparan, memicu wabah penyakit, dan kematian berskala global.

Letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883 membangunkan dunia. Letusannya menciptakan tsunami hebat, dan Anak Krakatau yang tumbuh cepat dari dasar laut menjadi laboratorium alam paling lengkap yang mengajarkan suksesi ekologi bagi ilmuwan seluruh dunia.

Jauh sebelumnya, sekitar 74.000 tahun lalu, dunia mengenal letusan Gunung Toba di Sumatera Utara. Letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) ini telah mengubah sejarah Bumi dan isinya. Kegelapan total menyelimuti Bumi bertahun-tahun, menyebabkan nenek moyang manusia modern (homo sapiens) nyaris punah. Periode gelap ini dikenal sebagai bottleneck dalam sejarah evolusi manusia.

Nyatanya, di atas Bumi yang paling bergolak ini, masyarakat tumbuh dan berkembang selama ribuan tahun. Indonesia menjadi negara yang penduduknya terbanyak tinggal dalam jangkauan gunung berapi.

Sebanyak 127 gunung berapi aktif terjalin melingkari Nusantara. Dari jumlah itu, 30 di antaranya ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 120 juta orang kini hidup dalam bayang-bayang letusan gunung berapi. Kedekatan warga dan lokasi gunung berapi telah terbukti fatal karena lebih dari 150.000 jiwa tewas akibat letusan gunung berapi di seluruh Nusantara dalam kurun waktu 500 tahun terakhir.

Harmoni

Akan tetapi, gunung berapi bukan hanya berarti bencana dan kengerian semata. Gunung Merapi memberikan pelajaran. Sebanyak 32 warga Kinahrejo (Sleman), termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, yang menolak diungsikan ditemukan tewas setelah erupsi pada Selasa, 26 Oktober 2010.

Bagi Mbah Maridjan dan puluhan warga Kinahrejo yang percaya kepadanya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya mau enaknya, tetapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” kata Maridjan sesaat sebelum kematiannya.

Merapi bukan sekadar gunung berapi yang berbahaya karena tingkat keaktifannya. Memahami Merapi tidak cukup dengan menelisik wujud fisiknya, menghitung tremor yang diakibatkan, mewaspadai wedhus gembel dan aliran lahar saja. Namun, tak kalah penting adalah memahami masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitarnya. Ada kebudayaan dan kepercayaan yang tumbuh berimpit di sana.

Seperti Merapi, gunung berapi di Nusantara terletak di pusat kepercayaan mistis dan spiritual, menjerat jutaan orang dan memengaruhi kebudayaan mereka.

Apalagi, di balik kehancuran yang diakibatkannya, gunung berapi menyimpan berkah yang menghidupi. Debu akibat letusannya menyuburkan tanah, seperti hingga membuat Multatuli (1960) yang terpesona memopulerkan istilah ”…untaian zamrud yang berjajar sepanjang khatulistiwa”. Petani di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara bisa memanen padi hingga tiga kali setiap tahun, berkah yang tak bisa dilakukan di belahan Bumi lain.

Kini, masyarakat modern menemukan berkah lain dari gunung berapi, yaitu sumber energi tenaga panas bumi. Indonesia menjadi rumah bagi sebagian besar energi bersih ini di Bumi, yaitu sekitar 27,6 GWe dan yang dimanfaatkan baru 4 persen. Selain juga, kekayaan jenis dan sebaran mineral yang terendapkan dari proses geologi ekstrem ini.

Bagaimanapun kita telah menjadi bagian dari alam. Dengan demikian, hidup berdampingan dan selaras alam adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bencana ataupun nikmat dari alam adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama sehingga harus disikapi berbarengan.

Nenek moyang kita telah membangun strategi adaptasi terhadap alam, khususnya terkait dengan gempa. Semua rumah tradisional Indonesia dari Aceh hingga Papua dibangun aman gempa. Misalnya, rumah tradisional Nias yang dibangun dari tiang (enomo) dan balok menyilang (ndriwa) saling kait. Tiang tidak ditanam dalam tanah, tetapi ditumpukkan di atas batu sehingga bersifat dinamis menghadapi gaya geser gempa.

Di antara tiang utama terdapat kolom diagonal yang saling kait menyokong lantai rumah. Semua sambungan kayu menggunakan teknik pasak, mencipta balok kayu dinamis dan tidak patah ketika terjadi gempa. Sebagai bukti, digoyang beberapa kali gempa besar selama ratusan tahun, rumah adat Nias di Bawomatoluo, Hilisimaetano, Sihare’o Siwahili, dan Gomo masih tegak berdiri.

Prinsip arsitektur yang sama ditemukan di Batak, Karo, Toraja, Aceh, Minangkabau, Kampung Naga (Jawa Barat), dan joglo di Yogyakarta. Namun, strategi adaptasi nenek moyang selama ribuan tahun kini semakin ditinggalkan, tanpa upaya memperbaruinya dengan pengetahuan baru yang berpijak pada siasat bijak berdamping bencana.

Di Pulau Simeulue, Aceh, masyarakat tradisional mengembangkan budaya smong dalam menyiasati tsunami yang kerap melanda. ”Nga linon fesang smong”, demikian kepercayaan masyarakat setempat: ”setelah gempa akan datang ombak besar”.

Smong merupakan kata-kata ajaib yang menyelamatkan warga Simeulue saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Waktu itu, ”hanya” tujuh orang di Simeulue yang meninggal akibat tsunami dibandingkan dengan ribuan rumah yang tersapu gelombang ini. Warga di sana telah meninggalkan rumah sebelum tsunami tiba.

Smong, yang dalam bahasa lokal berarti ombak besar ke pantai, seperti kata-kata yang ajaib. Begitu mendengar kata smong, warga Simeulue akan berlari ke luar menuju satu titik: perbukitan. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan kolektif mereka terhadap bencana tsunami yang melanda pulau ini pada 1907, bahkan mungkin lebih lama lagi.

Di Pulau Mentawai, masyarakat setempat mengembangkan pola hidup menjauh dari laut yang kerap mengirim tsunami. Walaupun mereka tinggal di kepulauan, pusat orientasi budaya mereka adalah hutan di pedalaman pulau. Selama ribuan tahun, mereka seperti sengaja menjauh dari laut dan baru pindah ke daratan setelah para migran dan Orde Baru membangun kota baru di pesisir sejak tahun 1970-an.

Tata ruang dan pembangunan baru yang berorientasi pada pertumbuhan dan alasan politik praktis telah mengabaikan kearifan lama ataupun strategi teranyar untuk menghadapi bencana gempa, gunung berapi, dan tsunami.

Ekspedisi Cincin Api Kompas berupaya mengungkap kembali pengetahuan lokal, jejak yang terkubur, serta sejarah bencana gempa, tsunami, dan letusan gunung di Nusantara, selain untuk menelisik berbagai masalah dan temuan ilmiah teranyar terkait dengan penyebab dan penanganan bencana alam yang terus mendera. Pada akhirnya kami ingin mendefinisikan kembali tentang ke-Indonesia-an. Bahwa, negeri ini bukan hanya zamrud khatulistiwa yang dianugerahi tanah subur dan diberkahi, melainkan juga kepulauan yang retas sehingga mengharuskan kita menjadi bangsa yang selalu bersiaga terhadap bencana alam. (Ahmad Arif)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi Selasa, 14 Sep 2011, di halaman 1 dan 5 dengan judul “Ekspedisi Kompas: Hidup-Mati di Negeri Cincin Api”.

Source :https://tamborachallenge.com/2015/03/17/ekspedisi-kompas-hidup-mati-di-negeri-cincin-api/

Posted in Kebudayaan and tagged .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: