31
Aug 18

Produk Baja Bebas dari Tarif Trump, Suka Cita Industri RI

Industri baja dan alumunium RI boleh jadi tengah bersuka cita. Produk baja tertentu asal RI dikecualikan dari tarif impor 25% yang diinisiasikan Presiden Donald Trump awal tahun ini.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan pengecualian diberikan per perusahaan (on company basis) dengan kuota tertentu, dan ditinjau setiap 1 tahun.

“Saat ini yang diberikan baru 1 company/ produsen Indonesia dan mendapatkan eksklusi untuk 2 specific products (ditandai dengan Kode HS). Dibatasi dengan kuota yaitu 235 ton dan akan dievaluasi setiap tahun. Untuk produk tersebut tahun 2017 ekspor kita hanya mencapai 82 ton”, jelas Pradnyawati.

Lebih lanjut, dia mengatakan bagi produsen baja dan aluminium RI yang mendapat pengecualian itu akan menikmati bea masuk 0% dari Negeri Paman Sam. Adapun salah satu produk yang dimaksud adalah baja paduan presisi (precision stainless steel).

Pradnyawati mengungkapkan, saat ini Kemendag juga masih mengharapkan disetujuinya 4 permintaan pengecualian tarif impor bagi produk stainless steel lainnya oleh pemerintah AS. “Untuk jenis ini, volume yang kita mintakan sebanyak 300.000 ton”, tambahnya.

Dia menjelaskan bahwa pemerintah RI, dalam hal ini Kemendag berupaya menunjukkan bahwa ekspor baja dan alumunium Indonesia ke AS adalah bagian dari rantai pasok global (global supply chain) untuk memproduksi barang-barang made in US.

“Kita selalu mengedepankan global supply chain. Produk kita pun tidak bersaing dengan produsen di sana karena bagi mereka untuk membuat yang precision dan volume kecil begitu tidak ekonomis”, jelasnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani mengatakan pengecualian ini menunjukkan sikap positif pemerintah AS terhadap struktur perdagangan bilateral kedua negara.

“Karena memang ekspor baja dan almmunium kita itu berbeda dengan yang diproduksi oleh industri domestik AS serta dibutuhkan pengusaha di sana”, ujar Shinta.

Shinta yang juga mengemban jabatan yang sama dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), berpendapat pengecualian ini memberikan kesempatan bagi RI untuk meningkatkan transaksi perdagangan dengan AS.

“Apalagi saat ini industri manufaktur kita mulai tumbuh. Permesinan, otomotif, dan elektronika kita memiliki potensi untuk tumbuh. Belum lagi kita juga bisa menjadi salah satu pintu untuk re-ekspor baja dan almunium dari negara-negara yang dikecualikan”, jelasnya.


30
Aug 18

Pengamat: Ada Kejanggalan dalam Kesepakatan RI-Freeport

Pakar hukum international Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai Head of Agreement yang diteken PT. Inalum (Persero) dan Freeport McMoran pada Kamis (12/7/2018) kemarin cukup ganjil. Apa sebabnya?

Dalam keterangan tertulis yang tersebar di kalangan pewarta, Hikmahanto pertama-tama menegaskan bahwa HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan selesainya transaksi jual beli participating interest dari Rio Tinto dan jual beli saham dari Freeport ke Indonesia.

“Masih ada sejumlah langkah agar saham PT. FI berada di tangan Indonesia melalui Inalum, langkah berikut adalah negoisasi untuk perjanjian teknis. Bukan tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan, suatu hal yang tentu tidak diharapkan”, kata Hikmahanto, Sabtu (14/7/2018).

Hikmahanto kemudian memaparkan bahwa ia tertarik dengan statement Head of Corporate Communications PT. Inalum (Persero) Rendi Witular yang mengatakan ada empat isu lain selain divestasi. Salah satunya adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi.

Di sini, menurut Hikmahanto, sangat janggal bila perjanjian semacam stabilisasi investasi masuk dalam HoA. “Janggal karena Inalum bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti”, kata Hikmahanto.

Tidak seharusnya, lanjut dia, besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Freeport semestinya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah. “Bila pemerintah melakukan hal ini berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan kontrak oleh entitas swasta. Bila ini terjadi Indonesia seolah kembali ke era VOC”.

Selain itu, perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 (a) Undang-Undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian. Perjanjian stabilisasi antara Freeport dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal janggal lain dalam HoA adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). “Janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport apabila tetap ingin melakukan ekspor maka KK mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang Freeport harus dimurnikan di Indonesia”.

Panjang lebar penjelasan Hikmahanto di atas membuat bertanya-tanya, jadi apa sebenarnya isi HoA antara Freeport dan Inalum kemarin? Benarkah termasuk memuat hal-hal krusial seperti pajak dan royalti?

Head of Corporate Communications PT. Inalum (Persero) Rendi Witular pun menjawab, bahwa tentu saja hal-hal penting yang bersinggungan dengan kedaulatan negara tidak diatur dalam HoA. “Klausula klausulanya tentu mengatur dengan kondisi-kondisi tertentu, selayaknya pada perjanjian manapun. Isi dari Head of Agreement (HoA) meliputi struktur transaksi divestasi dan nilai transaksi divestasi”, kata Rendi.

Jadi memang hanya hal teknis seputar divestasi yang dimuat di HoA. Untuk struktur divestasi yakni soal mekanisme pembelian hak partisipasi Rio Tinto dan penyelesaian pembelian saham agar bisa 51%. Sementara poin kedua tentang nilai, tentu saja sesuai dengan harga yang sudah tersebar ke publik yakni US$ 3,85 miliar.

Rendi menjelaskan bahwa disvestasi merupakan 1 dari 4 isu penanganan PT. Freeport Indonesia yang dikejar oleh pemerintah. Tiga isu lainnya yakni:

1. Perubahan KK ke IUPK dan Perpanjangan Operasi

2. Pembangunan Smelter

3. Stabilitas Investasi (tax&royalti)

Jadi, ketiga isu itu tidak masuk dalam HoA seperti yang dikhawatirkan oleh Hikmahanto. “Penyelesaian isu divestasi, khususnya terkait struktur transaksi dan nilai transaksi adalah milestone yang sangat signifikan dan kritikal dalam tahapan penyelesaian seluruh isu terkait PTFI”.

Inalum, kata Rendi, memang tidak akan melakukan pembelian sebelum semua dokumentasu dan perjanjian sudah clear and clean. Untuk itu perlu 1-2 bulan untuk membahas perincian-perincian perjanjian dengan bahak ukum yang tepat. “Sudah sejak awal, tim negosiator selalu menjunjung tinggi asas good governance, akuntabilitas dan transparansi”, tuturnya.


Skip to toolbar