Manusia dan Kebudayaan

MB

Sebelum ditemukannya buku The Origin of Species banyak yang berpendapat bahwa orang atau masyarakat yang paling sempurna di dunia adalah orang berkulit putih yang tidak lain adalah bangsa Eropa. Kemudian pada abad 16 munculah zaman Rennaissance atau zaman pencerahan dimana terjadi kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan mengutamakan rasionalitas yang kemudian memunculkan banyak kajian dalm bidang-bidang ilmu pengetahuan utamanya dalam bidang anatomi tubuh guna mengkaji keaneragaman ciri-ciri fisik manusia. Pada zaman ini memandang bahwa masyarakat dan kebudayaan lebih bersifat kesatuan dengan bagian-bagian tiap unsurnya saling menyatu dan berkaitan satu sama lain sebagai system yang bulat serta terikat.

Kebudayaan yang berbeda-beda membuat banyak kalangan pada waktu itu bertanya-tanya. Kebudayaan manakah yang paling sempurna diantara budaya lainnya. Maka muncul yang namanya relativisme budaya yang dikemukakan oleh C.L Secondat, Baron de la Brede de Montesquieu dalam buku L’Espirit des Lois (1748). Hal tersebut muncul karena menurut kedua tokoh itu, masing-masing kebudayaan memiliki sejarah, pengaruh lingkungan, struktur intern. Sehingga masing-masing kebudayaan memiliki adat dan kehidupan yang berbeda-beda dan tidak bisa dinilai dari satu sudut pandang, karena kebudayaan memiliki sifat dan karakteristik yang unik.

Kebudayaan pada dasarnya tidak stagnan melainkan mereka tumbuh dan berevolusi layaknya tubuh manusia. Dengan perjalanan waktu yang lama dan dengan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia, yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan kemudian yang ada bisa dimungkinkan hilangnya budaya lama akibat adanya penemuan baru, difusi, dan akulturasi. Manusia dan kebudayaan pada dasarnya adalah satu kesatuan yang erat ibarat tangkai dan batang pohon. Sifat kebudayaan yang selalu berubah berdasarkan zaman peradaban yang ada pada masyarakat yang menganut kebudayaan itu membuat kebudayaan itu mudah menerima hal-hal yang baru. Meskipun manusianya telah berganti kebudayaan itu secara tidak disadari akan serta merta diwariskan kepada keturunannya guna keberlangsungan kebudayaan sebagai bagian dari kehiduoan manusia.

  • Konsep Kebudayaan

Dalam kebudayaan, di dalamnya tidak akan pernah terlepas dari struktur dan interaksi sosial. Karena masyarakat yang ada di dalamnya pastilah ada yang namanya suatu sistem atau struktur dan interaksi antar individu maupun dengan kelompok masyarakat di luar kebudayaan yang dianutnya. Struktur sosial sendiri lebih bersifat statis karena memang itu menyangkut adat, aturan, atau pattern, dan berbagai hal yang mengatur dalam suatu sistem kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Interaksi sosial lebih bersifat dinamis, dikarenakan masyarakat menganut kebudayaan mudah menerima kebudayaan akibat dari adanya persebaran kebudayaan dengan adanya invention, difusi, dan akulturasi. Menurut Pattern of Culture dari Ruth Benedic (1934) dalam melihat kebudayaan tidak hanya melihat himpunan dari masing-masing unsur-unsur kebudayaan melainkan harus melihat secara keseluruhan suatu kebudayaan tersebut karena memang keseluruhan dari jaringan itulah roh-roh, emosi yang hidup dalam suatu kebudayaan dan memberikan suatu jiwa dan watak dalam suatu kebudayaan itu.

Budaya yang pada dasarnya merupakan suatu sistem pemikiran yang mencakup sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan oleh masyarakat penganutnya melalui suatu proses belajar. Maka dari itu kebudayaan (C.Geertz) adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perseorangan. Dalam memahami suatu kebudayaan hendaknya kita lebih menekankan kepada pemahaman makna dari pada tingkah laku manusia. Sistem pemaknaan disini mempunyai dua sisi yaitu aspek kognitif dan aspek evaluatif. Aspek kognitif lebih menitikberatkan kepada aspek pengetahuan dimana aspek kognitif akan menentukan orientasi sekelompok orang terhadap tempat tinggalnya. Sedangkan aspek evaluatif lebih kepada aspek kuantitatif dimana akan diperolah suatu pengetahuan dan kepercayaan yang akan ditransformasikan menjadi nilai-nilai, yang pada suatu peride tertentu akan menjadi suatu sistem nilai. Sistem nilai ini akan menentukan sikap yang akan diambil atau diputuskan oleh yang menganut sistem nilai ini tentang kelanjutan kehidupan kedepan mereka. Pada dasarnya kebudayaan tidak akan pernah dari yang namanya perubahan, perubahan itu pastinya erat kaitannya dengan tingkah laku, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya. Dengan ketiga faktor itulah cerminan kualitas kehidupan sosial dapat kita lihat beserta masyarakat para pendukungnya.

  • Ekologi dan Homeostatis

Kebudayaan sebagai sistem budaya adalah sekumpulan-sekumpulan ide, gagasan, dan artefak yang membentuk tingkah laku seseorang kelompok dalam suatu ekosistem tertentu. Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian manusia terhadap lingkungannya juga mengacu kepada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan suatu organisme pada suatu organisme pada suatu lingkungan dan perubahan yang ditimbulkan lingkungan dari suatu organisme tersebut. Dengan kata lain, kebudayaan dan proses adaptasi yang dilakukan oleh manusia dalam suatu masyarakat menjadi satu kesatuan, dimana keduanya memang tidak akan bisa terpisahkan jika berbicara tentang masalah lingkungan dimana manusia tinggal. Proses adaptasi juga menghasilkan keseimbangan dinamis, dimana masyarakat sebagai salah satu bentuk organisme dengan dengan kebudayaannya dengan seperangkat sistem gagasan mereka mampu menyesuaikan diri dengan menjadi bagian dari salah satu ekosistem. Hal ini berkaitan dengan konteks budaya masyarakat yang dipandang sebagai salah satu hasil dari proses evolusionistik.

Jika kita menerapkan pendekatan khas mahzab human ecologyyang memandang bahwa seluruh masyarakat manusia sebagai fenomena biotik seperti yang lain, kemudian menerapkan konsep ekologi secara langsung dan menyeluruh. Bisa dikatakan jika sebelum adanya masyarakat manusia sudah tercipta suatu ekosistem yang telah tercipta sebelum peradaban manusia. Namun sebenarnya ketika masyarakat manusia masuk kedalam suatu ekosistem yang telah terbentuk dengan mengacu kepada mahzab human ecology tetap akan tercipta suatu keseimbangan sistem atau homeostatis. Karena pada dasarnya masyarakat manusia dengan kebudayaannya tidak akan pernah terlepas dengan ekosistem lingkungan disekitar tempat tinggal mereka. Maka dari itu hubungan mereka bisa dikatakan sebagai hubungan timbal balik, sebagai contoh, masyarakat di daerah Papua biasa menggunakan babi sebagai ritual upacara mereka, maka dari itu agar populasi babi terus terjaga mereka menjaga hutan dari berbagai tindak kejahatan terhadap ekosistem yang ada di dalam hutan tersebut. Selain itu ketika manusia masyarakat masuk sebagai satu organisme ekosistem, terciptalah satu rantai makanan baru dalam ekosistem lingkungan tersebut yang memungkinkan terciptanya ekosistem kehidupan baru dalam tempat tinggal manusia masyarakat tersebut.

  • Ekologi Budaya

Kebudayaan dan lingkungan adalah dua aspek yang menciptakan homeostatis dalam ekosistem alam, khususnya dalam pelestarian lingkungan. Istilah yang digunakan untuk mengkaji ekologi budaya yaitu culture ecology(Julian H.Steward : 1995) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi tertentu. Adaptasi ekologis menjadi sangat sensitif terhadap inti dari suatu budaya yaitu unsur-unsur yang membentuk dan menentukan arah akan dibawa kemana kebudayaan dalam kehidupan masyarakat itu. Inti dari sebuah kebudayaan yang berupa unsur pembentuk sekaligus arah kehidupan kebudayaan masyarakat manusia menjadi sangat logis ketika diterapkan guna mengkaji analisis ekologi yang berhubungan dengan kebudayaan. Karena memang hal ini akan membawa kita kepada kostelasi atau sifat yang berkaitan dengan unsur-unsur penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan ekonomi pada masyarakat. Ada pula pola-pola sosial, politik dan agama erat kaitannya dengan kehidupan dan ekonomik. Namun yang menjadi pusat dari kajian ekologi budaya adalah pada pemanfaatan lingkungan bagi kelangsungan kehidupan kebudayaan berhubungan secara fungsional dengan tingkat dan macam hubungannya antara pola-pola kebudayaan dan hubungannya dengan organisme lingkungan hidup tampak sangat jelas dan penting.

  • Determinisme Lingkungan dan Posibilisme

Kebudayaan, perilaku manusia, dan lingkungan memberikan peran penting yang membuat terciptanya suatu kebudayaan. Dengan ketiga hal itu, kebudayaan menjadi sangat unik dan bervariasi, utamanya lingkungan yang mempunyai andil besar dalam pembentukan suatu kebudayaan. Namun pendapat ini ditolak oleh kaum possibilism karena pada hakikatnya perilaku suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak itu merupakan suatu hasil adaptasi lingkungan manusia terhadap lingkungannya. Karena pada dasarnya faktor geografis tidak mungkin membentuk suatu kebudayaan tapi lebih kepada timbulnya suatu pola perilaku tertentu dalam masyarakat. Kebudayaan memang dibentuk dengan berbagai macam hal dan faktor dari internal maupun eksternal dari masyarakat penganut suatu kebudayaan. Antropologis lebih memandang bagaimana kebudayaan itu dibentuk oleh kondisi lingkungan atau determinisme lingkungan. Karena dengan melihat hal tersebut akan muncul variasi-variasi dala kehidupan manusia yang memiliki suatu ciri khas dan keunikan sendiri yang membedakan antara kebudayaan satu dengan yang lain. Lebih dalam tentang kajian lingkungan dan kebudayaan, karya manusia dan proses alam tidak dapat dipisahkan karena memang kedua hal itu saling berkait yang saling memengaruhi dalam suatu sistem kebudayaan.

 

Tulisan ini dipublikasikan di Antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: