KAJIAN ETNOGRAFI “Kajian Religi Berdasarkan Perspektif Teori-Teori Sosial”

Dalam artikel kali ini, akan ditampilkan mengenai bagaimana kajian mengenai konsep religi, yang termuat dalam mata kuliah Kajian Etnografi.

Berbicara mengenai religi, tentunya telah banyak tokoh-tokoh terkemuka yang menyampaikan pendapat serta pemikirannya mengenai hal tersebut. Secara umum, para tokoh tersebut mendefinisikan religi sebagai suatu sistem kepercayaan mengenai hal-hal magic yang berkaitan dengan agama, dimana dalam sistem religi, terdapat beberapa bahasan mengenai bagaimana seseorang itu menjalankan kewajibannya terhadap Tuhannya berdasarkan agama yang telah dianutnya. Religi membahas mengenai seberapa jauh tingkat pengetahuan seseorang, serta membahas mengenai seberapa dalam penghayatan seseorang terkait dengan hal agama yang diyakini serta dianut olehnya. Religi merupakan dorongan naluri seseorang untuk meyakini serta melaksanakan agama yang telah diyakini dan dianutnya, dalam hal ini, religi diwujudkan sebagai bentuk taat kepada agama yang dianutnya, meliputi keyakinan kepada tuhan, peribadatan, norma-norma yang mengatur manusia dengan Tuhan.

          Wulf mengungkapkan bahwa religiusitas merupakan sesuatu yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam masyarakat (Fuad, 2002). Selain beberapa asumsi di atas, disini akan dijelaskan mengenai bagaimana konsep religi berdasarkan perspektif teori-teori sosial. Diantaranya yaitu,

  1. Religi Menurut Teori Evolusi

          Dalam menjelaskan tentang bagaimana teori evolusi memaknai atau memandang konsep mengenai religi, di sini terdapat salah satu tokoh evolusi ternama di masanya yang menjelaskan serta mengungkapkan asumsinya mengenai religi, Ia adalah Edward B Tylor (1832 – 1917). Salah satu buku karangan Tylor yaitu berjudul Primitive Culture: Language Art and Custom (1874).

          Dalam buku karangannya ini, Tylor juga mengajukan teorinya tentang asal mula religi, yang berbunyi “Asal mula religi adalah kesadaran akan adanya jiwa”. Pada tingkat tertua dari evolusi religi, manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk tersebut bertubuh halus, sehingga tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak bisa diperbuat oleh manusia. Religi itulah yang oleh Tyor disebut dengan istilah Animisme.

          Tylor melajutkan teorinya tentang religi dengan suatu uraian tentang evolusi religi. Pertama yaitu tentang Animisme, yang pada dasarnya merupakan keyakinan terhadap adanya roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia, merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi religi, manusia meyakini bahwa gerak alam yang hidup juga disebabkan adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa serta gejala alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan diangap sebagai makhluk-makhluk yang mempunyai suatu kepribadian degan kemauan dan pikiran, yang disebut dengan dewa-dewa alam.

         Pada tingkat ketiga dari evolusi religi yaitu, bersama dengan munculnya susunan kenegaraan dalammasyarakat manusia, muncul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan dunia makhluk manusia, maka terdapat pula susunan pangkat pada dewa, mulai dari raja dewa (dikenal dengan istilah trimurti), sampai pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya. Susunan para dewa ini lambat laun menimbulkan kesadaran manusia bahwa semua dewa itu pada dasarnya merupakan penjelmaan dari satu dewa saja, yaitu dewa yang tertinggi. Akibat dar keyakinan itulah berkembang keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan dan timbul dari religi-religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.

  1. Religi Menurut Teori Difusi

          Dalam melihat religi berdasarkan teori difusi, di sini akan dijelaskan bagaimana teori difusi memandang tentang religi. Lewat salah satu tokoh teori difusi, yaitu Koenjaraningrat, akan dipaparkan mengenai bagaimana teori difusi itu memandang akan religi.

             Dalam kamus antropologi, Koenjaraningrat memaparkan pemikirannya mengenai religi. Ia berasumsi bahwa religi merupakan sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu ummat beragama dan upacara-upacara beserta pemuka-pemuka agama yang melaksanakannya. Dalam sistem religi, didalamnya mengatur tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dan juga dengan dunia gaib, hubungan manusia dengan manusia, serta bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang dijiwai oleh suasana yang dirasakan sebagai suasana kekerabatan oleh orang-orang yang menganutnya.

          Teori difusi, yang dalam hal ini diwakil oleh Koentjaraningrat sebagai salah satu tokoh yang ada di dalamnya, menjelaskan bahwa teori difusi memandang religi sebagai suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat konsep atau aturan-aturan yang harus ditaati dan juga harus dilakukan oleh orang-orang yang mempercayai akan adanya beberapa konsep tersebut dalam kehidupan mereka.

  1. Religi Menurut Teori Fungsionalis

          Pembahasan selanjutnya yaitu bagaimana teori fungsionalis memandang akan adanya religi dalam kehidupan masyarakat. Pandangan fungsional mengenai religi dapat kita jumpai dalam suatu premis mendasar, yang menyatakan bahwa religi merupakan suatu pandangan atau keyakinan yang terbentuk karena manusia ingin menciptakan atau mengkonstruksikan makna dan identitas dari agama atau religi tersebut.

          Pemahaman yang lebih sempit dari agama atau religi yaitu dari ilmuan Amerika, Milton Yinger (1970) yang mengungkapkan bahwa agama atau religi merupakan suatu sistem kepercayaan dan prakyik yang dilakukan oleh sekelompok manusia dalam pergaulan sehari-hari dengan berbagai pemasalahan utama kehidupan. Teori fungsionalis memandang bahwa, religi atau kepercayaan apapun yang menimbulkan efek konstruktif dalam masyarakat lebih berfungsi secara sosial dari pada sebuah agama atau kepercayaan yang kompleks serta sibuk dengan memenuhi nubuatnya sendiri untuk kepentingan kelompok-kelompok tetentu. Teori fungsionalisme juga memandang bahwa religi merupakan sebuah lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi, namun tidak mengungkit hakekat apapun yang ada di luar atau referensi transedental.

  1. Religi Menurut Teori Struktural Fungsionalis

          Teori struktural fungsional dibangun oleh Talcott Parsons serta dipengaruhi oleh para Sosiolog Eropa, yang menyebabkan teori struktural fungsional ini bersifat empiris positivistik dan ideal. Pandagannya tentang tindakan manusia bersifat voluntaristik, yang artinya tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan dengan mengindahkan nilai, ide, dan norma yang disepakati.

          Berbicara mengenai bagaimana konsep religi menurut teori struktural fungsional, Talcott Parsons memandang bahwa, religi merupakan suatu bentuk komitmen terhadap perilaku. Religi tidak hanya berkembang dengan ide saja, namun merupakan suatu sistem berperilaku yang mendasar. Religi berfungsi mengintegrasikan perilaku masyarakat, baik perilaku lahirnya maupun simbolik. Struktural fungsional memandang bahwa religi menuntut terbentuknya moral sosial yang langsung berasal dari Tuhan. Religi tidak hanya sebuah kepercayaan, namun juga berupa perilaku atau amalan.

         Talcott Parsons juga melihat religi sebagai sesuatu yang melekat pada sistem dan struktur sosial dan penafsiran masing-masing individu, atau yang dikenal dengan istilah religius. Religius itu berakar dari kesadaran individu dan juga kesadaran kolektif. Pendekatan Parsons lebih dekat pada pendekatan yang digunakan Weber, yaitu dengan melakukan pemahaman atau interpretasi atas tindakan sosial individu, karena inti dari tindakan sosial dari Parsons adalah adanya tujuan dan sebagai alat individu untuk bertindak dalam sebuah situasi sosial agama setempat.

  1. Contoh Fenomena Religi dalam Masyarakat

          Dalam hal ini, kita akan sama-sama melihat bagaimana fenomena religi yang ada di masyarakat Irian Jaya, tepatnya yaitu di Kecamatan Waropen Bawah, Kabupaten Yapen Waropen. Dalam hal religi dan kepercayaan, masyarakat Waropen masih belum bisa melupakan kebiasaan lama mereka yaitu Animisme, meskipun sudah ada agama yang masuk ke sana, yaitu agama Protestan. Masyarakat Waropen mempercayai adanya roh ‘rosea’ (bayangan) orang yang sudah meninggal, yang dipercayai mempunyai berbagai bentuk, diantaranya sebagai kalong (binatang hitam yang bisa terbang). Ada juga masyarakat Waropen yang beranggapan bahwa roh-roh tersebut dibayangkan sebagai burung atau binatang lainnya, yang bisa terbang tanpa suara di malam hari dan mendiami tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, seperti gua-gua, pohon besar, sungai, dan tempat keramat lainnya.

          Selain itu, masyarakat Waropen juga mempunyai kepercayaan adanya kekuatan gaib (masyarakat sana menyebutnya dengan istilah Aiwo), yang bertempat di pohon-pohon besar, salah satunya adalah pohon beringin. Aiwo tersebut dipercaya bergabung dengan roh-roh jahat yang akan membuat bencana. Secara umum, Aiwo digunakan untuk tujuan yang tidak benar, misalnya digunakan untuk membinasakan orang lain, namun Aiwo juga dapat digunakan untuk menolak penyakit yang membahayakan. Masyarakat Waropen juga mempercayai adanya Sema Suanggi, yang mempunyai kekuatan sakti untuk membunuh atau menghidupkan seseorang. Selain itu, masyarakat Waropen juga mempercayai kekuatan atau kesaktian wanita tua yang disebut Ghasawin, yang tugasnya adalah memimpin upacara adat dan mempunyai kekuatan gaib untuk mengobati orang sakit secara tradisional. Kepercayaan-kepercayaan tersebut hingga kini masih diyakini oleh masyarakat Waropen di Irian Jaya meskipun mereka sudah memeluk agama Kristen Protestan.

          Secara tradisional, masyarakat Waropen juga mempunyai ritual atau upacara-upacara adat. Misalnya yaitu Munaba dan Saira. Munaba merupakan bentuk upacara adat yang dilakukan untuk memelihara hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Sedangkan Saira merupakan upacara adat yang digunakan saat acara pemotongan rambut, penusukan hidung, dan pemasangan gelang kaki pada seorang anak. Berbagai kepercayaan serta kegiatan-kegiatan adat yang ada di Waropen Irian Jaya ini masih dipegang erat dan masih dilaksanakan oleh masyarakat sana hingga sekarang.

  1. Analisis Fenomena Religi

          Seperti yang telah kita bahas di atas, bahwa Religi merupakan suatu konsep yang di dalamnya membahas mengenai seberapa jauh tingkat pengetahuan seseorang, serta membahas mengenai seberapa dalam penghayatan seseorang terkait dengan hal agama yang diyakini serta dianut olehnya. Kami mengangkat salah satu bentuk religi yang ada di masyarakat, tepatnya yaitu di masyarakat Waropen Bawah, Kabupaten Yapen Waropen, Irian Jaya. Seperti yang ada pada pembahasan diatas, bahwa masyarakat Waropen masih memegang teguh sistem Animisme dalam kehidupan sehari-hari mereka, meskipun sudah ada agama yang masuk di wilayah tersebut.

          Dalam pembahasan mengenai bagaimana religi yang ada di masyarakat Waropen, telah mengambarkan bahwa teori yang tepat untuk melihat “konsep religi” yang ada di sana adalah teori evolusi. Salah satu tokoh evolusi agama (Tylor) mengungkapkan bahwa “asal mula religi adalah kesadaran akan adanya jiwa”. Pada tingkat tertua dari evolusi religi, manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk-mkhluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu, bertubuh halus sehingga tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau kurban. Religi itulah yang oleh Tyor disebut dengan istilah Animisme.

        Hal ini sesuai dengan konsep religi yang ada d masyarakat Waropen, dimana dalam masyarakat Waropen terdapat sistem Animisme, yang hingga saat ini masih senantiasa dijaga, serta dilestarikan keberadaaan dari Animisme tersebut. Dalam Animisme masyarakat Waropen, terdapat berbagai kepercayaan mengenai berbagai roh-roh halus yang mempunyai kekuatan supera natural yang mendiami tempat-tempat tertentu yang diangap keramat oleh masyarakat Waropen, Irian Jaya. Hal ini sejalan dengan bagaimana konsep religi dari teori evolusi religi, tepatnya yaitu dari salah satu tokoh evolusi religi tersebut (Edward B Tylor).

DAFTAR PUSTAKA 

  • Fuad Nashori dan Rachmy Diana Muchtaram. 2002. Mengembangkan Kreatifitas dalam Prespektif Psikologi Islami. Yogyakarta: Menara Kudus Jogjakarta.
  • https://books.google.co.id/books?id=EpcADgAAQBAJ&pg=PA7&lpg=P7dq=CERITA+RELIGI+DI+MASYARAKAT
  • https://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/pendidikan/Agama+dan+Masyarakat,+4.pdf
  • https://www.kompasiana.com/nurulwidad/sistem-religi-dan-kepercayaan/
  • https://www.latarbelakang.com/2016/08/pengertian-agama-konsep-religi-fungsi.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: