SOSIOLOGI POLITIK “Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa”

Hai sahabat cakrawalars

Selamat datang di halaman kami. Kali ini kami akan menyuguhkan materi yang sangat menarik untuk anda, kalian-kalian para pencari pengetahuan. Masih tentang Sosiologi Politik,kali ini akan kami sampaikan materi tentang Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa.

Berikut materinya…

Secara kultural, masyarakat Jawa selalu digambarkan sebagai masyarakat yang halus dan penuh tata krama. Kedua sifat tersebut dapat terlihat dari tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa yang senantiasa konsisten dilakukannya, seperti tari-tarian adat serta penggunaan bahasa dalam keseharian hidup mereka. Meskipun demikian, sebenarnya dalam kronologi sejarah masa lalu Jawa merupakan sebuah suku yang bertabiat keras dan mempunyai naluri penakluk di medan perang yang sangat tinggi ketika masa kerajaan.

Dalam pembahasan awal artikel ini, dijelaskan mengenai bagaimana masyarakat jawa yang mempunyai kepribadian yang halus serta menjunjung nlai-nilai kesopanan yang tinggi yang dikorelasikan dengan adanya dua kraton jawa, yakni Kraton Yogyakarta dan Kraton Solo. Dengan adanya dua kerajaan ini, setidaknya mampu menjadi suatu nisbat bahwa orang jawa sangatlah arif dalam bertindak dan juga bertutur kata. Mereka dengan kearifan budi dan tutur katanya tersebut menjadikan budaya dan adat-istiadat mereka dipandang sebagai suatu budaya yang luwes, suatu budaya yang begitu santunnya dimata masyarakat luas, namun demikian tidak serta merta bahwa dengan adanya dua kerajaan tersebut mampu menjadi sebuah stigma bahwa sannya masyarakat atau  udaya jawa ini merupakan suatu budaya yang halus, suatu budaya yang menurut artikel ini adalah sangat lemah gemulai. Tidak serta merta demikian.

Dalam pembahasan selanjutnya, artikel ini menjelaskan mengenai bagaimana kronologi sejarah yang terjadi di masa lalu, sehingga memunculkan sebuah pradigma masyarakatbahwa, kebudayaan Jawa merupakan sebuah kebudayaan yang amat luwes dan santunnya. Dalam artikel ini disebutkan bahwa, “masyarakat Jawa adalah suatu etnis masyarakat keras dan menjadi bangsa penakhluk”. Hal ini dapat dibuktikan dengan kita flashback ke sejarah kehidupan masyarakat jawa pada masa lalu, tepatnya yaitu ketika masa kerajaaan. Dalam masa ini banyak kerajaan-kerajaan Jawa yang berdarah dingin, banyak kerajaan yang  mempunyai ambisi yang sangat kuat untuk menakhlukkan kerajaan-kerajaan lain, dan setelah mereka menakhlukkan kerajaan tersebut, maka kerajaan takhlukan itu menjadi bagian dari kerajaannnya. Termasuk diantaranya yaitu kerajaan Singasari yang menaklukkan Sumatera, kerajaan Majapahit yang menakhlukkan banyak kerajaan sehingga enjadikannya sebagai suatu kerajaan dengan daerah yang sangat luas.

Baru setelah Kerajaan Mataram berhasil menakhlukkan seluruh Pulau Jawa, kecuali Banten dan Batavia (H.J. de Graaf) dimana dengan penakhlukkan ini lambat laut menjadikan suatu pergeseran budaya. Dari Budaya Jawa yang keras tersebut menjadi Budaya Mataram yang halus, luwes, dan penuh tata krama.

Setelah menjelaskan kronologi sejarah tersebut, selanjutnya dijelaskan pula mengenai konsep budaya menurut perspektif beberapa ahli, diantaranya yaitu James P. Spreadly, yang menyatakan bahwa budaya merupakan sistem gagasan atau sistem pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman sikap dan pedoman perilaku masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Clifford C. Geertz, kebudaya’an merupakan jalinan makna dimana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya kebudayaan akan menuntun tingkah lakunya.

Budaya memiliki peran atau fungsi sebagai penuntun, pengarah, atau pemaksa bagi masyarakat. Budaya kekerasan dalam hal ini adalah sistem gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yang kemudian mejadi pedoman dan penuntun bagi masyarakat dalam melakukan tindak kekerasan. Inspirasi kekerasan bisa saja bersumber pada nilai-nilai dan budaya etika jawa, misalkan saja sanjungan terhadap para panglima perang atau para kesatria, yang diwujudkan dalam pertunjukan wayang dengan cerita peperangan ataupun kepahlawanan. Jiwa kepahlawanan, pertumpahan darah, adu kesaktian, dan pengorbanan nyawa seakan menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dalam budaya Jawa.

  1. Kekerasan dan Peperangan Pada Masa Kerajaan Jawa

            Kekerasan dan peperangan pada masa kerajaan Jawa tidak lepas dari campur tangan Belanda pada masa kolonialisme. Penguasa Belanda menjadikan kerajaan di Jawa sebagai boneka untuk mendapatkan kekuasaan di Jawa. Dahulu ketika hadir kekuatan kapitalisme yang dibawa oleh VOC ke Jawa menimbulkan banyak terjadi gejolak antara belanda dan masyarakat Jawa, Mataram terbagi menjadi dua dan terjadi peperangan diponegoro. Kehadiran kolonial Hindia Belanda ini merusak system kekuasaan yang ada di jawa yang sebelumnya berada di tangan kerajaan menjadi kekuasaan kolonial hindia belanda. Dalam masa ini kekerasan dalam bentuk perang fisik yang dilakukan masyarakat jawa adalah untuk mempertahankan dirinya.

  1. Kekerasan Pada Masa Reformasi 1998

            Ketika masa revormasi saat banyak terjadi amuk massa di berbagai daerah di Indonesia, masyarakat Jogja justru menyuarakan gerakan revormasi tersebut dengan damai tanpa keributan yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono X. Dalam masa ini, kedudukan Sultan Hamengkubuwono sebagai pemimpin masyarakat Jawa secara kultural berhasil digunakan oleh Sultan Hamengkubuwono untuk mencegah kekerasan dan amok masa yang terjadi di Yogyakarta pada gerakan reformasi 1998 di Yogyakarta. Hal itu dilakukan Sultan Hamengkubuwono dengan cara menyatukan gerakan massa dalam menuntut reformasi dengan acara pisowanan ageng (20 Mei 1998) di Kraton Yogyakarta dan di pimpin langsung oleh Sultan Hamengkubuwono.

Dalam pisowanan ageng ini banyak tindakan yang bermakna jika dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Menurut pandangan James T. Siegel alus dan kasar adalah salah satu kategori hierarki dalam masyarakat jawa. Watak alus lebih tinggi dari kasar. Hirarki ini dapat dilihat dari ngkapan Jawa “Dupak bujang, semu mantri, esem bupati” Watak alus adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, tapa brata, usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Alus identik dengan para satria, bangsawan, dan priyayi, sedangkan kasar identik dengan wong cilik, dan wong sabrang (orang asing).

Dari peristiwa dan kejadian tersebut dapat dilihat bahwa bagi masyarakat Jawa perilaku kekerasan sebagai suatu yang bersifat negative sehingga perlu dihindari. Nilai-nilai masyarakat Jawa yang mampu meredam kekerasan adalah hormat, rukun, dan isin. Hormat, mempercayai bahwa hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Rukun, hubungan sosial berlangsung secara harmonis tdak berseteru, dan isin (malu) jika melakukan hal yang tidak semestinya. Dilain sisi dalam masyarakat jawa sendiri kekerasan dapat diwariskan dari nilai-nilai dan etika Jawa misalnya pemujaan terhadap pahlawan perang yang tersosialisasikan melalui pertunjukan wayang. Meskipun demikian, hingga sekarang masyarakat jawa masih mempercayai bahwa watak halus lebih baik daripada kasar yang terwujud pula dalam jargon Jawa “Suro diro jayadiningrat, lebur dening pangastuti”.

  1. Budaya Alus & Budaya Kasar

            Budaya alus dan budaya kasar dalam masyarakat Jawa di simbolkan oleh perilaku tokoh wayang Cakil dan Arjuna dalam tarian bambang cakil. Cakil mewakili symbol sifat kasar yang diidentikkan dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang. Sifat halus diwakili oleh sifat Arjuna yang melambangkan watak yang dimiliki satria, bangsawan, dan priyayi. Sifat halus  menempati derajat tertinggi dalam budaya Jawa dan menjadi tolok ukur apakah seorang menjadi bagian dari orang Jawa atau tidak. Budaya alus digunakan oleh Keraton dalam membingkai gerakan reformasi massa sehingga gerakan reformasi massa di Yogyakarta berjalan dengan damai tanpa kekerasan.

Budaya Jawa yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis, dan aristokratis mencerminkan pergeseran kebudayaan Jawa pada masa lalu sebagai suku bangsa yang keras dan penakluk kerajaan lain di nusantara. Budaya kekerasan dalam masyarakat Jawa terinspirasi dari pemujaan para ksatria yang disosialisasikan dalam pertunjukan wayang kulit ataupun pertunjukan wayang wong dengan cerita Barata Yudha. Nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa menurut Franz Magnis Suseno terintegrasi ke dalam tiga prinsip yaitu hormat, rukun, dan isin. Ketiga prinsip nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa tersebut menjadi pedoman dan model perilaku masyarakat Jawa yang adiluhung dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

  1. Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati

            Analogi Jawa dupak bujang, semu mantri, dan esem bupati merupakan ungkapan untuk berkomunikasi atau memerintah orang lain dari seorang Jawa berdasarkan kedudukannya secara hierarki sosial. Untuk memerintah orang lain atau berkomunikasi, maka seorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan fisik dengan ungkapan dupak bujang (harus mengunakan tendangan kaki). Yang lebih tinggi adalah yang dilakukan oleh seorang mantri atau priyayi menengan yang dikenal dengan Semu Mantri. Yang lebih tinggi yaitu komunikasi oleh seorang bupati, yang disebut dengan istilah Esem Bupati.

  1. Menjinakkan Kekerasan

            Pisowanan ageng 20 Mei 1998 digunakan Keraton sebagai cara untuk mengalihkan gerakan massa yang berpotensi berbuat kekerasan dengan menyediakan gunungan garebeg dari Sultan untuk dimakan bersama, sehingga timbullah keadaan yang solid dan tanpa sekat dalam gerakan massa menuntut reformasi.

SIMPULAN

             Budaya Jawa memiliki dua sisi budaya yaitu budaya alus dan budaya kasar. Namun bagi orang Jawa, budaya aluslah yang di junjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya alus juga menjadi tolok ukur bagi seseorang apakah dia sudah menjadi bagian dari orang Jawa atau tidak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: