NURUL PUNYA

Buat Dunia Bahagia Karenamu, Mari Belajar Bersama

Gula Teh Sebagai Wujud Resiprositas Umum Di Desa Dukuhmalang Kecamatan Talang Kabupaten Tegal

gula teh

Gula teh sesuai dengan penyebutannya merupakan bingkisan yang berisi kebutuhan pokok masyarakat yang di dalam isian bingkisan komponen yang harus ada dalam bingkisan adalah gula dan teh. Mengapa harus gula dan the? Hal ini dikarenakan kebiasaan orang Tegal yang suka moci atau meminum the pada sore maupun pagi hari, termasuk juga di desa Dukuhmalang tempat tinggal penulis yang dijadikan sebagai objek pengamatan. Meminum teh tentunya akan terasa pahit jika tidak bersama gula, oleh karena itu gula dan the dimanapun tidak dapat terpisahkan, sehingga warga tidak susah-susah menyebutnya gula karo teh (gula dan the), melainkan hanya gula teh.

Komponen lain yang terdapat di dalam bingkisan biasanya adalah biskuit ataupun makanan ringan lainnya yang bisa dijadikan teman untuk bersantai dan dalam jumlah yang banyak. Atau bisa saja diisi dengan berbagai macam buah-buahan sesuai selera pemberi ataupun disesuaikan dengan makanan kesukaan yang orang diberi. Gula teh akan diberikan hanya ketika menjelang perayaan hari Raya Idul Fitri yaitu sekitar satu minggu sebelun hari-H.

Sebelum hari Raya biasanya suatu keluarga terutama oleh kaum wanita telah menyisihkan sejumlah uang untuk nantinya dibelikan segala macam keperluan gula teh. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena satu bingkisan saja paling sedikit menghabiskan dana sekitar Rp 25.000,00. Jika mempunyai tujuh kakak, maka akan membengkak menjadi Rp 175.000,00. Bagi keluarga yang kondisi ekonominya lemah, maka akan terasa berat jika harus mengeluarkan dana sebesar itu ditambah lagi zakat fitrah yang juga harus dibayarkan.

Untuk mengatasinya, warga desa telah membuat arisan gula, yang disetorkan dalam arisan dalam bentuk gula maupun uang yang didapat senilai dengan berapa kilogram tertentu gula sesuai kesepakatan. Kegiatan ini dapat meringankan beban keluarga ketika menjelang hari raya.

Kaitan Tradisi Pemberian Gula teh Kepada Saudara Dengan Konsep Resiprositas

Tradisi pemberian gula teh di Desa Dukuhmalang telah berlangsung sejak zaman dahulu dan dilakukan secara terus menerus dan turun temurun hingga pada generasi sekarang ini. Pemberian gula teh tersebut menurut penulis dapat dikelompokkan ke dalam contoh resiprositas umum.

Dalam resiprositas umum, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Di sini masing-masing pihak percaya bahwa mereka akan saling memberi, dan percaya bahwa barang atau jasa yang diberikan akan dibalas entah kapan waktunya (Sairin,dkk,2002 : 49). Resiprositas umum terjadi jika tidak ada penentuan untuk pengembalian barang yang telah diberi. Sama halnya dengan tradisi gula teh, dimana pada tradisi tersebut warga yang memberi gula teh kepada anggota keluarga lain dan tidak menginginkan akan dibalas dengan pemberian yang sama. Pemberian gula teh sifatnya tidak sebanding, melainkan pemberian hanya bersifat searah. Lalu, bagaimana dengan penentuan si pemberi dan si penerima?

Hal ini berkaitan dengan status dan peran yang mereka miliki. Dalam status yang disandang seseorang terdapat serangkaian hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anggota kesatuan sosial dalam berbagai interaksi sosial di ruang lingkup kesatuan sosial (Ibrahim,2002 :37).

Kewajiban untuk memberikan gula teh dibebankan kepada anggota keluarga yang paling muda atau lebih muda kepada anggota keluarga yang lebih tua. Artinya, pemberian gula teh sifatnya linier dan searah. Adik yang sudah berkeluarga memberikan gula teh kepada kakak-kakanya yang sudah berkeluarga pula sesuai dengan jumlahnya. Banyak maupun sedikit kakak yang dimiliki (baik kandung maupun tiri) tetap harus diberikan gula teh sebagai wujud penghormatan kepada yang lebih tua. Skemanya antara lain:

Sebagai contoh, ada tiga bersaudara

Anak ke 3        anak ke 2 dan ke 1

Anak ke 2        anak ke 1

*Ket: tanda         = memberikan gula teh kepada

 

Kakak dalam konteks ini bisa laki-laki ataupun perempuan yang sudah memiliki keluarga. Pemberian gula teh merupakan suatu bentuk kasih sayang, penghargaan dan penghormatan dari yang muda kepada yang lebih tua.

Sebagaimana orang Jawa memposisikan keluarga dari pihak Ayah dan pihak Ibu pada posisi yang sama, sehingga berpengaruh pada pemberian gula teh selain kepada para saudara yang lebih tua. Menurut keterangan narasumber, jika si pemberi mempunyai banyak rezeki, maka pemberian gula teh bukan hanya kepada kakak saja. gula teh bisa diberikan untuk adik dari pihak Ayah maupun adik dari pihak Ibu. Atau yang biasa disebut pemberi sebagai Um dan Bu Lik (paman dan bibi). Selain paman dan bibi, gula teh juga diberikan kepada Mbah Kakung dan Mbah Putri (Kakek dan Nenek) baik dari pihak Ibu maupun Bapak. Dari adanya penjelasdan tersebut, Nampak bahwa masyarakat suku bangsa Jawa khususnya daerah Tegal memposisikan kedua pihak keluarga pada posisi yang sejajar. Meski begitu, pemberian kepada paman dan bibi serta kedua Mbah bersifat tidak wajib. Yang menjadi kewajiban selain pemberian gula teh untuk para Kakak adalah untuk Orang Tua si Pemberi. Namun, meskipun sama-sama memberikan gula teh, isian yang ada di dalamnya memiliki perbedaan. Bagi Orang tua maupun Kakek Nenek gula teh yang diberikan memiliki isian yang lebih lengkap dan disesuaikan dengan kesukaan mereka. Sebagai contoh, penambahan rokok, ataupun penambahan makanan yang lunak agar dapat dikonsumsi dengan mudah oleh Kakek Nenek.

Yang memberikan gula teh adalah anak dari si pemberi (jika ada). Kemudian, setelah gula teh diberikan selanjutnya si penerima biasanya akan memberikan sejumlah uang atau yang biasa disebut pecingan kepada keponakannya tersebut. Besaran uang tidak tentu sesuai kemampuan si penerima. Memberi atau tidaknya pun sebenarnya bukan merupakan keharusan, tetapi lazimnya memang begitu.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa gula teh merupakan contoh dari resiprositas umum, si pemberi gula teh tidak memiliki maksud tertentu dalam memberikannya dan tidak akan di balas oleh kakak, orang tua, paman bibi maupun Kakek Nenek dengan pemberian yang sama. Pemberian tersebut merupakan kebiasaan masyarakat yang mengekang dan disadari ataupun tidak mau tidak mau warga selalu melakukannya. Meski begitu, pemberian gula teh mengandung nilai keikhlasan meskipun ada uang pecingan yang diberikan kepada anak dari pemberi, karena bukan itulah yang diharapkan oleh pemberi, melainkan kerukunan persaudaraan yang harus selalu di jaga. Terbukti dengan keterangan narasumber Richatun (48 tahun) bahwa:

“kalau sudah memberi gula teh ya tidak mendapatkan apa-apa, hanya memberi saja..”

Berkaitan dengan konsep resiprositas, sanksi hukum tidak berlaku dalam resiprositas ini, kecuali kalau resiprositas tersebut adalah resiprositas sebanding yang sanksinya dalam masyarakat tertentu dapat berupa sanksi hukum dengan memakai hukum adat (Sairin,dkk,2002 :50). Apabila adik tidak memiliki cukup uang untuk memberikan gula teh menjelang hari raya, maka tidak usahlah untuk memberi apalagi sampai berhutang karena masyarakatpun tidak memberikan hukuman tertentu bahkan hukuman sosial yang berat. Hukuman yang diterima apabila tidak memberi gula teh pada waktu menjelang lebaran adalah perasaan bersalah dirinya sendiri kepada saudara-saudaranya maupun kepada orang tua. Karena merekapun tidak akan menuntuk hak mereka akan gula teh untuk selalu dipenuhi setiap tahunnya, sehingga resiprositas ini dipenuhi dengan perasaan sentiment kekeluargaan daripada aturan yang memiliki sanksi yang kaku.

Lalu bagaimana jika pada suatu keluarga hanya memiliki satu anak hingga akhirnya anak tersebut berkeluarga? Jika seperti itu keadaannya maka yang diberikan adalah hanya Paman Bibi, Orang Tua serta Kakek Nenek. Karena sistem resiprositas umum biasanya berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabat dekat (Swartz dan Jordan, 1976: 477-478 dalam Sairin,2002 :50). Sehingga kerabat dekat yang dimaksud adalah Paman Bibi dan Kakek Nenek yang menggantikan kewajibannya kepada saudara (sekandung atau tiri) yang tidak dimiliki.

 

SIMPULAN

Resiprositas umum merupakan bentuk resiprositas yang tidak mengharapkan pengembalian secara langsung atau sebanding, yang diharapkan dari resiprositas ini biasanya bersifat kasih sayang dan kekeluargaan, seperti halnya pemberian gula teh yang tidak memiliki sanksi mengekang apabila tidak melaksanakannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Jabal Tarik.2002. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Press

Sairin,Sjafri,dkk.2002. pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

posted by nurul in SOSIOLOGI and have No Comments

Place your comment

Please fill your data and comment below.
Name
Email
Website
Your comment

Skip to toolbar