Hallo teman-teman semua kali ini saya akan membagikan materi mengenai Budaya Pilih Kasih dan Mood-mood’an oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar di SMA, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Pendidikan, pada semester 5. Berikut materinya:
SMA Negeri 2 Kota Tegal merupakan sekolah saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, sekolah saya merupakan sekolah yang biasa-biasa saja, tidak favorit dan juga tidak dalam kategori buangan. Sekolah saya berada di tengah kota sehingga banyak siswa-siswi yang dari luar pulau Jawa dengan berbagai budaya dan agamanya mendaftar di sekolah saya. Walaupun banyak teman yang mayoritas beragama Islam tetapi di sekolah saya belum pernah ada kasus perkelahian antar siswa yang mengatas namakan agama. Semua siswa berteman tanpa melihat budaya ataupun agama, hanya saja terkadang dalam berteman ada sebuah geng-geng tersendiri yang telah dibentuk oleh siswa yang mengetuai geng tersebut. Biasanya di dalam geng tersebut terdapat karakteristik tersendiri dari anggotanya masing-masing. Selain siswa-siswi yang mempunyai karakter berbeda, Guru juga memiliki karakteristik yang berbeda pula, baik itu di dalam mengajar maupun dalam memberikan tugas harian.
Dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas Guru sebagai tenaga pendidik memiliki peranan yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan guru mendidik dan mengajar siswa di kelas yang nantinya akan menjadi tenaga kerja atau sumber daya manusia setelah menyelesaikan sekolah atau study. Dengan kata lain guru sebagai ujung tombak dari pendidikan di sekolah, yang nantinya akan menghasilkan keluaran-keluaran yang berkualitas. Tugas Guru dituntut untuk dapat bekerja secara kompenten. Guru yang kompeten adalah guru yang mampu memenuhi empat karakteristik kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, sosial, pribadi, dan profesional. Dengan adanya kompetensi ini diharapkan semua guru dapat melaksanakan kewajibannya dan memenuhi semua tuntutan atau kriteria dari kompetensi tersebut serta melaksanakan pembelajaran di dalam kelas secara maksimal untuk dapat mendidik, melatih, dan mengajar dengan baik untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Menjadi seorang guru haruslah memiliki karakteristik yang disenangi oleh peserta didik, menurut Kunandar (2007;62), karakteristik guru yang disenangi oleh siswa adalah guru yang : 1) demokratis; 2) suka bekerja sama; 3) baik hati; 4) sabar; 5) adil; 6) konsisten; 7) bersifat terbuka; 8) suka menolong; 9) ramah-tamah; 10) suka humor; 11) memiliki bermacam ragam minat; 12) menguasai bahan pelajaran; 13) fleksibel; 14) menaruh minat yang baik kepada siswa. Akan tetapi tidak semua guru dapat memenuhi semua karakteritik yang dikemukakan diatas. Menjadi seorang guru harus memiliki prinsip sesuai dengan UU No. 14 tentang Guru dan Dosen Bab III pasal 7b yang berbunyi “memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia”. Dalam prinsip tersebut sangatlah jelas bahwa guru harus memiliki komitmen untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, dan secara tidak langsung guru haruslah dapat melaksanakan kewajiban mengajar didalam kelas dengan sebaik mungkin agar siswa dapat memahami lebih baik sehingga mutu atau kualitas juga akan lebih meningkat. Seorang guru yang baik adalah guru yang berkompeten dan tidak bersikap subjektif ketika melaksanakan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan UU No. 14 pasal 20c yang berbunyi “guru berkewajiban: bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar perimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran”. Dengan adanya guru yang subjektif dalam proses pembelajaran, siswa akan merasa diabaikan sehingga tidak memiliki semangat untuk belajar yang dapat berakibat pada menurunnya pemahaman siswa dalam menerima materi yang diberikan oleh guru. (Susi Suryani, 2013 dalam skripsi)
Guru yang inovatif tentunya memiliki cara atau strategi agar siswa siswinya dapat paham dengan materi yang disampaikan, tidak hanya semata-semata telah melakukan kewajiban mengajar saja. Akan tetapi, dalam proses pembelajaran sebaiknya guru tidak monoton dalam memberikan materi, karena hal tersebut dapat mempengaruhi pola pikir siswa yang mengikuti pembelajaran. Saat pembelajaran dilaksanakan secara monoton tidak bervariasi siswa akan merasa bosan kemudian malas untuk menerima materi yang disampaikan. Guru harus menggunakan metode yang tepat dan bervariasi agar siswa tidak merasa bosan ketika proses pembelajaran.
Pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar masih terdapat guru yang sebatas memberikan materi tanpa menjelaskan lebih lanjut materi yang disampaikan. Misalkan guru hanya menuliskan materi di papantulis kemudian menyuruh siswa untuk mencatat. Tidak hanya permasalahan tersebut, masih terdapat pula guru yang meninggalkan jam pelajaran. Guru yang sering meninggalkan kelas akan berakibat pada berkurangnya jam mengajar yang seharusnya dapat digunakan untuk menambah penjelasan materi yang diberikan. Kekurangan jam mengajar dapat berdampak pada ketercapaian pokok bahasan yang seharusnya disampaiakan kepada siswa. Masih rendahnya tingkat kedisiplinan guru yang dapat berdampak pada terhambatnya proses pembelajaran. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya guru yang terlambat datang ke sekolah dan terlambat masuk kelas. Kurangnya partisipasi guru dalam pelaksanaan rapat yang dilaksanakan bagi seluruh guru dan staf atau karyawan dapat meghambat proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang diambil oleh sekolah. Terkadang guru tidak mengikuti tanpa memberikan alasan, seharusnya guru dapat melaksanakan peraturan-peraturan yang telah sepakati bersama.
Sesuai dengan pengalaman saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, hampir semua Guru jika mengajar menggunakan metode ceramah, yang nantinya akan menjadikan suasana bosen, ngantuk dan lain sebagainya. Jadi, tidak heran jika di dalam kelas banyak siswa siswi yang tidak memperhatikan Gurunya tetapi sibuk sendiri-sendiri. Setelah Guru menjelaskan materinya dengan kontekstual tidak menggunakan contoh-contoh yang terjadi di dalam masyarakat, Guru cenderung memberikan tugas essay yang ada di LKS masing-masing siswa, kadang kala siswa diberi tugas untuk merangkum materi yang jelas-jelas sudah ada di LKS masing-masing siswa. Setelah diberi tugas biasnya Guru pergi keluar, jika tidak biasanya Guru bermain handphone, tidak memperdulikan siswa maupun siswinya paham mengenai materi yang disampaikan atau tidak. Hal ini berdampak ketika akan menghadapi Ulangan Tengah Semester (UTS) ataupun Ulangan Akhir Semester (UAS) yang nantinya banyak siswa-siswi melakukan kecurangan seperti membawa contekan, sampai memfotokopi diperkecil materi-materi yang akan keluar. Hal tersebut saya rasa sudah menjadi tradisi turun temurun yang dilakukan oleh siswa-siswi ketika akan mengahadapi ulangan. Menurut saya hal demikian sebenarnya salah, akan tetapi melihat Guru dengan metode mengajar yang seperti itu tidak sepenuhnya siswa-siswi tersebut salah juga karena Guru cenderung tidak memperdulikan siswa-siswinya untuk paham atas materi yang telah disampaikan.
Selain metode pembelajaran yang membosankan, dalam mengajar Guru juga cenderung pilih kasih terhadap siswa maupun siswinya, seperti contoh jika Guru tersebut laki-laki maka beliau lebih baik, lebih memberikan kesempatan kepada siswi perempuan dan sebaliknya jika Guru tersebut perempuan maka beliau akan lebih berpihak kepada siswa laki-laki. Hal semacam itu masih saya jumpai ketika duduk di bangku SMA. Ketika ada salah satu mata pelajaran yang diampu oleh Guru laki-laki, beliau cenderung menunjuk siswi perempuan untuk maju mengerjakan soal yang sebelumnya soal tersebut telah dijadikan tugas dan telah dikerjakan di rumah, hal tersebut tentunya akan menambah nilai tambah tersendiri sehingga banyak siswi perempuan yang nilainya lebih baik daripada siswa laki-laki. Lalu ketika ada PR (pekerjaan rumah) siswa laki-laki tidak mengerjakan PR tersebut baik itu karena lupa ataupun karena siswa tersebut malas, maka Guru akan memarahi siswa tersebut sebelum siswa tersebut dihukum berbeda dengan siswi perempuan yang hanya di beri masukan sedikit lalu tetap diberi hukuman. Sedangkan ketika Guru tersebut perempuan maka yang akan dibangga-banggakan siswa laki-laki, biasanya Guru lebih mengutamakan siswa laki-laki dalam segala hal, dan biasanya siswa tersebut akan di bangga-banggakan di depan kelas. Ketika ada tugas baik itu dikerjakan di kelas ataupun di rumah, Guru cenderung akan memberikan nilai tinggi kepada siswa laki-laki yang rajin, jika kepada siswi perempuan walau dia rajin tetap akan diberi nilai dibawah siswa laki-laki tersebut. Hal demikian tidak seharusnya ada, karena semua murid juga berhak mendapatkan pelayanan dan bimbingan yang sama, mereka juga sama-sama membayar bulanan. Jadi, budaya pilih kasih dari Guru tersebut harusnya dapat dihilangkan karena jika budaya tersebut masih berlaku, siswa ataupun siswi cenderung akan malas mengikuti pelajaran tersebut, yang nantinya akan merasa tidak nyaman ketika sedang diajar oleh Guru yang bersangkutan tersebut, dan akan berdampak pula pada materi pembelajaran tersebut dan akhirnya kurang dikuasai.
Bukan hanya budaya pilih kasih saja, pengalaman saya sewaktu duduk di bangku SMA yakni adanya budaya Mood-mood’an yang dilakukan oleh Guru pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Misalnya jika Guru sedang bersemangat mengajar maka beliau akan datang tepat waktu dengan membawa bahan ajar yang telah disiapkan. Sebaliknya jika Guru dalam suasana tidak mood atau tidak bergairah dalam mengajar, baik itu karena adanya faktor keluarga ataupun sebagainya, maka akan dilampiaskan pada proses belajar mengajar di kelas. Guru cenderung akan malas bahkan sampai tiduran dikelas, adapula ketika pintu kelas ditutup Guru masuk dengan marah-marah hanya karena pintu kelas tidak sengaja tertutup, setelah itu Guru langsung tidak mau mengajar pada kelas tersebut, ketika ketua kelas membujuk sampai ke kantor Guru untuk meminta maaf, Guru tersebut tetap tidak mau mengajar sampai jam pelajaran selesai. Menurut pendapat saya Guru tidak seharusnya semarah itu sampai tidak mau mengajar hanya karena pintu kelas tidak sengaja tertutup, apalagi ketua kelas sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Guru bertindak seperti itu pasti sedang ada sesuatu baik itu masalah keluarga, pribadi ataupun sedang tidak ada mood untuk mengajar. Adapula Guru yang datang hanya memberikan tugas saja tanpa diberikan penjelasan materi terlebih dahulu, setelah itu Guru meninggalkan kelas yang sebelumnya terdapat kesepakatan waktu pengumpulan dari tugas tersebut. Memang ada yang menyukai karakteristik dari Guru tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang tidak menyukai karakteristik Guru tersebut, siswa atau siswi tentunya akan mengalami kesalahpahaman mengenai materi yang ada karena sebelumnya tidak ada penjelasan sedikitpun mengenai materi tersebut. Guru yang tidak mood dalam mengajar tentunya akan telat masuk kelas atau tidak disiplin biasanya akan masuk ketika jatah jam pelajarannya sisa satu jam ataupun setengah jam.
Dari budaya mood-mood’an tersebut yang dilakukan oleh Guru tidak sepantasnya dicampur adukan atau dibawa kesekolah, Guru hendaknya memiliki profesionalitas dalam mengajar, masalah pribadi ataupun keluarga hendaknya disingkirkan terlebih dulu ketika hendak mengajar sehingga tidak adanya perasaan marah, malas, jenuh dalam mengajar. Jika Guru masuk kelas dengan suasana yang menyenangkan ataupun bersemangat, maka siswa ataupun siswi akan bersemangat dan fokus dalam menerima materi yang diajarkan. Seorang guru yang profesional seharusnya sudah memiliki semua kompetensi dasar sebelum guru tersebut menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional seharusnya dapat dipahami oleh semua guru agar tujuan dalam pembelajaran dapat terwujud secara maksimal. Seorang guru hendaknya juga dapat memberikan contoh kehidupan dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Untuk menghilangkan budaya pilih kasih dan budaya Mood-mood’an dari seorang Guru, perlunya penilaian yang dilakukan oleh Kepala Sekolah terhadap Kinerja dari masing-masing Guru pelajaran. Sistem penilaian prestasi kerja menurut Sondang P. Siagian (2002:225), adalah suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai dimana terdapat berbagai faktor, yaitu:
1) Yang dinilai adalah manusia yang disamping memiliki kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan
2) Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolok ukur tertentu yang realistik, berkaitan langsung dengna tugas seseorang serta kriteria yang ditetapkan dan diterapkan secara obyektif
3) Hasil penilaian harus disampaikan kepada pegawai yang dinilai dengan tiga maksud, yaitu:
a) Dalam hal penilaian tersebut positif, menjadi dorongan kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi dimasa yang akan datang sehingga kesempatan meniti karir lebih terbuka baginya
b) Dalam hal penilaian tersebut bersifat negatif, pegawai yang bersangkutan mengetahui kelemahannya dan dengan demikian dapat mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan tersebut
c) Jika seseorang merasa mendapat penilaian yang tidak obyektif, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatannya sehingga pada akhirnya dapat memahami dan menerima hasil penilaian yang diperolehnya.
4) Hasil penilaian yang dilakukan secara berkala tersebut didokumentasikan dengan rapi dalam arsip kepegawaian setiap orang sehingga tidak ada informasi yang hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai
5) Hasil penilaian prestasi kerja setiap orang menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil mengenai mutasi pegawai, baik dalam arti promosi, alih tugas, alih wilayah, demosi maupun dalam pemberhentian tidak atas permintaan sendiri. (Susi Suryani, 2013 dalam skripsi)
Daftar Pustaka:
Buku:
1. Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
2. Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga
3. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana
4. Sudarsono, Juwono dan Wahyudi Ruwiyanto. 1999. Reformasi Sosial Budaya dalam Era Globalisasi. Jakarta: Wacha Widia
5. Ihromi, T.O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Jurnal nasional:
1. Rowikarim, Aja. 2013. Mengajar Yang Efektif Menjadi Penentu Kualitas Seorang Guru. Garut: Jurnal Pendidikan Universitas Garut. Vol. 07; No. 01; 40-50. (Diakses 22 Oktober 2017)
2. Suryani, Susi. 2013. Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Kinerja Guru Dalam
Proses Belajar Mengajar Sekolah Menengah Atas Dan Kejuruan Di Kecamatan Prambanan. Yogyakarta: Skripsi Program Studi Menejemen Pendidikan, Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitasi Negeri Yogyakarta. (Diakses 22 Oktober 2017)
3. Paramita Eka, 2013. Lingkungan Sosial Budaya Sekolah. Pontianak: Artikel Jurnal Program Studi Pendidikan Sosiologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura. (Diakses 22 Oktober 2017)
4. Sitompul, Nurmida Catherine. 2012. Perilaku Komunikasi Nonverbal Guru Dalam Kelas Pembelajaran: Maknanya Bagi Siswa SMA. Surabaya: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, Volume 19, Nomor 1. (Diakses 22 Oktober 2017)
Jurnal Internasional:
1. Choudhury, Rahim Uddin. 2014. The Role Of Culture In Teaching And Learning Of English As A Foreign Language. Kingdom of Saudi Arabia: Express, an International Journal of Multi Disciplinary Research. ISSN: 2348 – 2052, Vol. 1, Issue 4. (Diakses 22 Oktober 2017)
2. Saglam, Sercan. 2012. Teaching Culture In The Fl Classroom: Teachers’ Perspectives. Turkey: IJGE: International Journal of Global Education. volume 1 issue 3. (Diakses 22 Oktober 2017)