Salat “Gempa”
Oleh Agung Kuswantoro
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila mereka menolak) pada saat mereka berumur sepuluh tahun”(HR. Abu Dawud).
Dalam pemahaman saya: hadis di atas, bukanlah hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan Imam Muslim. Artinya, jika hadist tersebut diriwayatkan oleh kedua Imam Hadist (Abu Hurairah dan Imam Muslim), maka taraf “kevaliditasnya” sangat tinggi. Namun, dari beberapa keterangan, bahwa urutan Imam Hadist setelah Abu Hurairah dan Imam Muslim adalah Imam Abu Dawud. Bisa diartikan hadist pada paragraf di atas memiliki “kevaliditas” yang baik. Sehingga, sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita disunahkan untuk mengikutinya.
Adalah Mubin yang ingin belajar mengikuti Sunah Nabi Muhammad SAW dari hadist tersebut. Tidak hanya Mubin, saya pun ingin mengikuti ajaran tersebut. Jika Mubin sebagai anak – sekaligus orang yang berusia tujuh tahun (lebih) – sedangkan saya—selaku orang tua – yang berusia tiga puluh sembilan tujuh tahun. Jadi, saya sebagai orang tua, sedangkan Mubin sebagai anak. Mubin berposisi sebagai yang “diperintah”, sedangkan saya berposisi sebagai yang “memerintah”.
Melihat konteks hadist di atas, ada perintah yang secara tidak langsung/tersembunyi yaitu: orang tua. Kalimat “pukullah” itu, muncul pertanyaan: “Siapa yang memukul?” Dalam pandangan saya adalah orang tua. Bukan, orang lain (baca: orang tua dari selain anak tersebut) dan (bukan) sesama anak yang memukul. Penekanannya anak yang memukul. Penekanannya berarti bukan orang tua dari anak tersebut dan teman anak tersebut. Lalu siapa? “Orang tua anak tersebut!”, jawabnya.
Saya sebagai orang tua yang sedang belajar: untuk mempraktikkan hadist di atas, bukanlah hal yang mudah. Artinya: sebelum “memerintahkan” untuk salat, maka secara “otomatis” salat saya, itu sudah benar dan terpenuhi/terlaksana lima waktunya. Tidak cukup lima waktunya saja yang saya lakukan, tetapi salat sunah penyerta salat wajib (sunah kobliyah/bakdiyah dan salat sunah lainnya.
Bisa dikatakan: “Aku wis ngelakoni” (baca: aku sudah melakukan) dari apa yang saya perintahkan. Menjadi tidak tepat dan “lucu”, jika orang memerintahkan salat, tetapi yang orang memerintah salat, belum pernah salat. Ibarat ada guru renang. Seharusnya, guru renang tersebut sudah bisa berenang dan sudah praktik berenang di kolam renang. Baru, menyuruh siswanya berenang di kolam renang tersebut.
Kembali ke judul di atas: salat “gempa”. Salat “gempa”, hanya istilah saya yang digunakan kepada Mubin, saat salat. Salat sejatinya dilakukan dengan berdiri, rukuk, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tahyatul awal dan akhir, dan salam.
Alhamdulillah gerakan tersebut untuk salat tertentu bisa dilakukan. Salat yang biasa, Mubin lakukan dengan gerakan sempurna yaitu: Subuh, Dhuhur, Asar, dan Maghrib. Yang sering—menjadi tantangan untuk salat dengan gerakan belum sempurna—adalah salat Isya. Dimana, (mungkin) sudah malas, ia “menawar” kepada saya dengan salat gempa, salat 1 rakaat, atau salat sambil tidur.
Saya kenalkan dulu salat “gempa”. Salat “gempa” dilakukan dengan sedikit melompat ke bumi saat sujud. Sehingga, lantai yang dibuat sujud terasa bergetar dan berbunyi “drup”. Salat 1 rokaat adalah salat yang dilakukan 1 rokaat dengan gerakan dan bacaan sempurna. Total rokaat yang seharusnya dari salat 1 rokaat adalah 4 rokaat. Bisa dikatakan diringkas menjadi 1 rokaat dari 4 rokaat. Terakhir, salat sambil “tidur”. Mubin jika kondisi sudah (mungkin) capek/malas, biasanya juga salat sambil tidur dengan jumlah rokaat sempurna.
Bagi saya, Mubin sudah melakukan salat “gempa”, 1 rokaat dan salat sambil “tidur” itu, sudah alhamdulillah. Itulah pembelajaran bagi dia dan saya. Saya “memerintahkan” salat, disampingnya saya melakukan salat.
Ketika dia melakukan salat sambal “tidur”, salat “gempa”, dan 1 rokaat – saya pun melakukan sholat secara sempurna—dengan jumlah rokaat dan gerakan disampingnya. Bisa dikatakan: ia “makmum” saya.
Memang, belajar salat itu bukanlah hal mudah. Mumpung anak-anak, harus dilatih. Coba bayangkan latihan salat saat sudah dewasa atau berumur tua. Bisa jadi, yang “memerintah” salat itu, dibentak. Mengapa? Karena tidak terima dan yang bersangkutan mililki tenaga yang kuat.
Bandingkan saat anak-anak, ketika diperintahkan salat. Bisa jadi, langsung melakukannya. Saat menolak perintah salat, tenaga anak belum sebesar anak dewasa untuk melawannya. Jadi, penolakan dari perintah salat itu, resikonya lebih kecil.
Nah, itulah cara saya dalam belajar salat dengan anak saya. Semoga Allah mengampuni dosa saya karena saya telah memberikan izin/membolehkan Mubin untuk salat sambil “tidur”, salat “gempa”, dan 1 rokaat.
Yuk, mari belajar salat yang baik dimulai dari diri pribadi. Janganlah untuk “memerintah” salat ke orang lain, tetapi memerintah ke diri sendiri dulu. []
Semarang, 27 Desember 2021
Ditulis Dirumah jam 04.30 – 05.00 WIB.
Recent Comments