Kajian Arbain Nawani (50): Dampak Marah
Oleh Agung Kuswantoro
Ada yang mengatakan bahwa, “al-ghadhuuh artinya onta betina yang merengut. Begitu pun manusia, biasanya jika sedang marah, wajahnya merengut dan cemberut.
Inilah yang disebut al-ghadhab fillaah wal lillah (marah di jalan Allah dan karena Allah), yaitu marah yang terpuji (al-ghadhabul mahmud). Adapun marah “hitam” adalah marah yang membuat buta mata hati dan gelap pandangan, serta membuat hilang akal manusia. Dia tidak tahu apa yang ia lakukan lalu dia mencelakakan dirinya.
Bagian marah yang seperti ini, akan mengembalikan rasa sakit kepada pelakunya, yang akan menimpa ususnya, berdampak buruk pada urat syaraf yang ada pada perutnya yang membuatkan sakit, serta pengaruhnya juga pada gemertak giginya, pada matanya, minimal pengaruhnya adalah dia akan ditimpa kepusingan sangat pusing) dan ini dapat membawanya pada kelumpuhan otak (Hasan, 2020:196.
Apa yang dipaparkan tentang marah “hitam” ini adalah dampak buruk marah yang disebut dengan marah yang tercela (ghadhabul madzmum), yaitu yang didasarkan emosi dan hawa nafsu semata, bukan karena faktor kecemburuan terhadap agama, seperti marah didasari emosi pribadi dan kebanggan kelompok (geng). Sementara itu, kemarahan “merah” adalah marah terhadap segala hal yang membawa dampak pada manusia, tetapi masih dalam batas-batas wajar. Mungkin, inilah mara yang “natural” yang bisa saja dialami, baik orang kafir atau mukmin, maupun orang saleh atau ahli maksiat.
Ketika sedang marah, biasanya kita akan terbawa keinginan untuk membalas kejahatan orang yang telah menyakiti kita, tidak peduli yang menyakiti itu muslim atau bukan. Pada titik ini, secara natural memang begitulah manusia, termasuk juga hewan. Namun, Islam memberikan panduan agar manusia mampu mengendalikan marahnya itu, tetap memberikan pemaafan dan jalan damai, walaupun membalasnya – demi kehormatan dan harga diri – adalah boleh-boleh saja, berdamai dan memaafkan adalah lebih baik. Tentunya, seorang Mukmin akan menempuh yang lebih baik. Wa Allahu ‘alam.
Bersambung.
Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.
Semarang, 31 Januari 2023 di Rumah, jam 04.50-05.00 Wib.
Recent Comments