Simbol & Ahli Agama

PluralismLogoBerbagai upacara keagamaan atau perayaan agama sebagai salah satu bentuk bahwa kita sebagai manusia yang beragama harus menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang taat beragama. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan. Ide tentang Tuhan telah membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik atau bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Dalam berperilaku menjalankan agamanya tersebut sangat beragam karena banyaknya agama yang tersebar di dunia. Secara singkat, agama di dunia dibedakan menjadi dua yaitu agama bumi/alam dengan agama wahyu.

Setiap agama yang hadir di muka bumi,selalu mengalami pergumulan dengan budaya-budaya yang telah lebih dulu ada,dari persentuhan dan persinggungan itu akan muncul sebuah agama yang tidak lagi asli,karenanya akan mucul pihak-pihak yang bertujuan untuk mengembalikan lagi agama seperti seharusnya,mereka ini terkadang terlalu bersemangat sehingga tidak jarang sering terjadi konflik antara pihak yang sudah nyaman dengan keadaan agama sekarang dengan pihak-pihak yang menganggap ada yang perlu di luruskan dengan agama ini.Selain masalah keprisinilah ternyata ada juga masalah agama yang akan senantiasa manarik untuk dikaji yaitu symbol agama ternyata memiliki symbol dan biasanya hanya dengan melihat simbolnya kita sudah langsung tahu agama apa yang dianut seseorang.

Mereka yang mengaku berpendidikan sering mengatakan janganlah terpaku dengan simbol-simbol,karena sering orang terjebak hanya dalam tataran simbol,bagi mereka simbol tidak penting yang seharusnya di lakukan adalah mempraktekan ajaran-ajaran universal agama seperti keadilan,kesejahteraan,dan memberantasn kebodohan.

Jadi bagaimana seharusnya kita menyikapi simbol-simbol agama,terlebih dahulu kita harus tahu apakah sesuatu itu memang simbol agama atawa simbol-simbolan,karena  ketika berbicara agama maka kita akan mamasuki area penafsiran yang pasti tidak akan sama,antara satu pihak dengan pihak yang lain.
karenanya  simbol-simbol agama, apapun itu,haruslah kita pahami dengan menggunakan banyak pendekatan,tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja,karena sekali lagi hal ini tidak hanya  menyangkut  persoalan yang murni agama tetapi juga ada unsur budaya dan politik,di dalamnya.
Turut campurnya politik di dalam penyebaran sebuah agama sudah menjadi rahasia umum,ketika umat suatu agama berlawanan dengan penguasa maka umat beragama akan selalu menjadi bulan-bulanan penguasa,begitu juga sebaliknya ketika sebuah agama menjadi agama resmi sebuah kekuasaan maka agama itu akan begitu cepat tersebar.

Penguasa yang pintar akan selalu bisa menggunakan agama untuk memobilasi kekuatan,sentimen keagamaan yang di campur dengan semangat membela negara adalah sebuah racikan yang akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa,untuk itu semua mereka membutuhkan simbol,maka berlomba-lombalah para cerdik pandai memciptakan simbol-simbol.

  1. Konsep-konsep Simbol dan Ahli Agama

Religi itu tentang ide dan kepercayaan, tetapi yang lebih penting adalah kekuatan dan keefektifan dari ide dan kepercayaan mengenai simbol religi. Dalam bab 3 buku J. D. Eller diatas sangat gamblang dijelaskan mengenai simbol, kegunaannya, dunia religi yang dipenuhi dengan simbol sampai ahli religi seperti dukun, tukang ramal sampai penyihir. Dalam penerapannya simbol selalu dihubungkan dengan makna dari simbol tetapi sebenarnya kekuatan dari simbol itulah yang penting karena berkaitan dengan kepercayaan dan sugesti. Manusia adalah makhluk yang menciptakan simbol dan mengkonsumsi simbol itu sendiri. Banyak yang mempercayai bahwa arti/makna, interpretasi dan spekulasi tentang simbol sangat penting dalam aplikasi simbol religi. Padahal yang tidak kalah penting adalah kepercayaan terhadap kekuatan yang ada pada simbol tersebut yang digerakkan oleh roh dan kekuatan pikiran/ide. Simbol memiliki fungsi untuk mengutarakan sesuatu, kesatuan aksi dan untuk mengontrol perilaku. Simbol sebenarnya sebuah manifestasi dari sesuatu yang bersifat spiritual dan dipraktekan oleh seseorang yang memiliki hubungan dengan kekuatan spiritual. Dukun, Tukang ramal, Nabi dan penyihir adalah penghubung antara yang profan dengan yang sakral. Sehingga dalam setiap agama, kebiasaan dan kekuatan yang dimiliki ahli spiritual berbeda-beda tergantung pada kekuatan spiritual yang ada di tubuh mereka.

Perilaku mempercayai simbol menurut pandangan adalah ada kaitannya dengan kepercayaan turun temurun. Terkadang kita juga dipaksa untuk mempercayai kekuatan spiritual yang belum kita pahami seutuhnya, seperti agama. Sedikit beralih, bahwa simbol dari sudut Antropologi berkaitan dengan kognisi atau ide manusia tentang sesuatu. Jadi tidak salah lagi ketika ide dan kepercayaan merupakan kesatuan kekuatan yang membentuk religi dan simbol. Ahli spiritual seperti Dukun atau Penyihir terkadang bias gender, misalnya Penyihir identik dengan wanita tua dan bermuka buruk rupa yang selalu menyakiti orang, Nabi yang sangat patriarki dan semakin menguatkan posisi laki-laki. Menurut analisa saya bahwa kekuatan pikiran sangat kuat kaitannya dengan simbol religi. Sehingga jika manusia ditempatkan sebagai media yang menghubungkan antara manusia dengan non-manusia, bagaimana posisi sosial dari ahli spiritual dengan dirinya sendiri, kekuatan spiritual dan kehidupan sosialnya?

Simbol agama di dunia:

  • Tempat sakral
  • Patung / Gambar orang suci
  • Jimat
  • Topeng
  • Tubuh manusia
  • Objek ritual
  • Teks atau mantra

Ahli agama :

  • Shaman : dukun / cenayang
  • Priest : kyai, imam, atau pendeta
  • Biarawan
  • Peramal
  • Nabi
  • Ahli sihir
  • Penyihir perempuan

2. Simbol Agama dan Ahli Agama yang ada pada Masyarakat Bukit

Masyarakat Bukit atau sering disebut orang bukit adalah sekelompok masyarakat yang hidup di daerah dataran tinggi Kalimantan. Sebutan ini adalah pemberian pada masa kependudukan jepang di era penjajahan yang mana julukan ini diberikan untuk memudahkan mereka dalam menjelaskan tentang kepercayaannya. Orang bukit tabu jika tuhanya disebut- sebut. Mereka mempercayai adanya Tuhan nama “Ilah” (sang pencipta) berikut kekuatan supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya Tuhan mereka tidak meninggalkan adanya sejumlah nama Ilahiyat yang harus dipuja-puji dan dihormati misalnya Arwah nenek moyang yang disebut Datu-Nini, Arwah yang masih gentayangan di sekitar tempat tinggal yang disebut Pidara, dan Roh para penguasa yang berjasa yang di sebut Kariau, serta roh-roh alam yaitu Penguasa dan pemelihara hutan, ladang, pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari orang bukit.

Bumi dipercayai sebagai Ibu yang disebut Indung-Pangasihan, Langit dimaknai Bapak Penguasa orang bukit menyebutnya Bapak Kuwasa, Diri manusia atau Limbagan mempunyai saudara empat yang disebut Dangsanak empat yaitu ada yang baik, ada yang buruk sehingga mempengaruhi diri manusia. Padi diagungkan sebagai buah Langit disebut rezeki, buah tahun, buah pohon, kembang musim yang diberi gelar “Diyang”. Dalam rangka berkomunikasi dengan Ilah mereka orang bukit, mengadakan upacara-upacara yang mana upacara-upacara tersebut memiliki beberapa jenis sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Upacara bagi masyarakat bukit bukan hanya sebagai bentuk komunikasi mereka pada Ilah-nya akan tetapi upacara bagi mereka adalah suatu bentuk edukasi dalam kaitannya dengan ritus-ritus agama yang ada pada masyarakat tersebut.

Fungsi Edukatif Upacara

Upacara tidak hanya seorang atau kelompok orang berkomunikasi dengan suatu yang dianggapnya menggenggam nasib kehidupan, tetapi juga mengkomunikasikan dan meningkatkan kembali sesuatu yang diyakininya benar kepada sekalian pemeluknya. Hal ini upacara melaksanakan fungsi edukatif yaitu suatu tindakan dalam proses sosialisasi dan enkulturasi semua orang. Dalam masyarakat bukit upacara sendiri adalah belajar bagi mereka untuk menjadi balian atau meningkatkan tingkat kebaliannya. Ada tiga kelompok pesan yang dikomunikasikan secara simbolis, yaitu kebenaran tentang alam semesta, tentang diri dan nasib manusia, serta sumber kehidupan pokok yakni padi.

 

Tentang Balian

Balian sebagai kelompok upacara dapat dikelompokan ke dalam empat kelompok yakni:

  1. Balian Muda, yaitu mereka yang baru belajar terutama menghafal dan memahami sejumlah mantera (mamangan), mite dan legenda.

Balian muda tidak diperkenankan membuka dan mengakhiri suatu upacara

  1. Balian Tengah, yaitu mereka yang diperbolehkan menggantikan sementara pimpinan dalam beberapa upacara
  2. Balian Tuha, yaitu orang yang berwenang penuh memimpin upacara-upacara baik religi, maupun adat komunitas dalam suatu bubuhan tertentu
  3. Guru Jaya, yakni orang yang berwenang penuh memimpin semua upacara, memimpin rangkaian upacara, membuka dan mengakhiri upacara dan tempat berguru balianbalian yang lebih rendah tingkatannya.

Dalam pelaksaan upacara-upacara pada masyarakat bukit, ada pembagian peran diantara balianbalian tersebut. Balian muda dan tengah tidak diperkenankan membuka dan mengakhiri suatu upacara, dalam urut lingkar Batandi di seputar Langgatan atau lalaya balian muda berada pada bagian akhir. Mereka tidak boleh ikut “bertanya” kepada Patati atau juru Patati. Dalam pelaksanaan upacara adat orang Bukit, jumlah balian muda dan tengah boleh beberapa orang, tetapi guru jaya biasanya satu untuk suatu wilayah atau kumpulan bubuhan tertentu.

Seorang guru jaya biasanya adalah seorang dukun yang disegani tidak hanya pada kalangan masyarakat sendiri, tapi juga diluar bubuhan. Komunikasi antar balian dalam suatu bubuhan tidak bisa terjadi setiap saat, tapi hanya terjadi menjelang upacara yang hendak dilaksanakan. Upacara-upacara religi komunitas dan lingkungan hidup bagi orang bukit bukan sekedar pelaksanaan formalitas keyakinan dan adat, tetapi terlebih lebih sebagai sarana edukatif bagi balian muda dan tengah.

Patati dan Juru Patati

Pada setiap upacara terutama yang mengharuskan balian menari (tandik) dan mengalami kerasukan ilah yang bersangkutan akan dibantu oleh satu atau dua orang Patati. Patati yaitu orang yang menjawab pertanyaan balian, menjelaskannya kepada peserta upacara yang juga menanyakan kepada balian yang bersangkutan dengan keinginan-keinginan dan permintaan para peserta upacara. Ada dua jenis Patati, yakni Patati biasa dan juru Patati. Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi Patati asalkan mereka memiliki syarat tertentu. Untuk menjadi Patati, seseorang haruslah mengetahui semua “kesukaan ilah-ilah” cara berkomunikasi dengan ilah-ilah yang bersangkutan dan terampil menabuh gendang. Tugas utama juru Patati ada tiga macam, pertama adalah bersangkutan harus mempersiapkan segala perlengkapan upacara. Kedua adalah menjelaskan maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara kepada peserta maupun kepada guru jaya atau balian tua. Ketiga, dia jugalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan balian yang kerasukan

Gendang

Gendang yang ditabuh biasanya dua buah, masing-masing bernada tinggi dan bernada rendah. Setiap ilah dihubungu menurut birama (ketukan atau pukulan) yang khas dan berbeda satu dengan lainnya. Tandik-tandik para balian mengikuti birama tersebut. Kesalahan birama untuk tandik iringan berakibat ilah iringan tidak bisa dihubungi karena bunyi gendang bukan hanya sekedar pengiring, akan tetapi juga merupakan bagian dari upacara. Karena sebagian upacara dilakukan pada malam hari, maka balian-baian, patati, dan juru patati, penabuh gendang haruslah orang-orang yang berkemampuan tidak tidur semalam suntuk. Bila diamati lebih cermat, jumlah balian, patati, dan penabuh gendang dalam melaksanakan upacara berbanding seimbang dengan jumah bubuhan yang berda pada suatu kampong tertentu. Guru jaya hanya akan dimiliki oleh kampong yang hanya memiliki 4-5 bubuhan saja. Empat sampai lima bubuhan yang dilayani guru jaya umumnya masih ada hubungan karena adanya ikatan perkawinan diantara warganya dapat dilihat guru jaya bukan hanya sekedar tokoh sentral dalam bidang keagamaan, tetapi juga dipandang sebagai tokoh pengikat beberapa bubuhan.

Simbol memiliki fungsi untuk mengutarakan sesuatu, kesatuan aksi dan untuk mengontrol perilaku. Simbol sebenarnya sebuah manifestasi dari sesuatu yang bersifat spiritual dan dipraktekan oleh seseorang yang memiliki hubungan dengan kekuatan spiritual. Dukun, Tukang ramal, Nabi dan penyihir adalah penghubung antara yang profan dengan yang sakral. Sehingga dalam setiap agama, kebiasaan dan kekuatan yang dimiliki ahli spiritual berbeda-beda tergantung pada kekuatan spiritual yang ada di tubuh mereka. Perilaku mempercayai simbol menurut pandangan adalah ada kaitannya dengan kepercayaan turun temurun. Simbol agama di dunia: tempat sacral, patung / gambar orang suci, jimat, topeng, tubuh manusia, objek ritual, dan teks atau mantra. Ahli agama : shaman (dukun / cenayang), priest ( kyai, imam, atau pendeta), biarawan, peramal, nabi , ahli sihir, dan penyihir perempuan.

Dalam masyarakat bukit, untuk melaksanakan upacara keagamaan ada seprang yang dianggap sebagai tangan kanan Tuhan (tidak dalam arti sebenarnya) seperti Balia dan patati, mereka bertugas dalam upacara mulai dari awal sampai selesai. Upacara tidak hanya sebagai alat komunikasi antara mereka dengan ilah-nya namun juga digunakan sebagai alat edukasi terutama dalam proses sosialisasi dan enkulturasi kebudayaan dan tata cara melaksanakan ritus keagamaan.

PUSTAKA

 

Eller, Jack David. 2007. Introduction In Anthropology of Religion. New York : Routledge Taylor and Francis Group.

Radam, Nurid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Penerbit: Semesta.

3 comments

  1. lengkap sekali kak, apalagi dilengkapi dengan gambar. tapi perlu dirapikan lagi gaya tulisannya

  2. Lengkap sekali artikelnya. Sangat membantu,,,Semangat ^0^v

  3. okayy sangat membantu, judul di spesifikkan lagi 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: