Pemertahanan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Salah satu masalah utama dalam bidang pendidikan dan kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengemukakan pentingnya menjadikan kekayaan lokal dalam bidang kesusastraan agar dijadikan bahan pemelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal, seperti nilai religius, nilai moral, dan khususnya nilai kebangsaan kepada peserta didik. Pada akhirnya, penanaman nilai-nilai budaya lokal dalam pemelajaran sastra diharapkan akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang semakin mewabah di masyarakat kita.
Kata kunci : Budaya lokal, pemelajaran sastra, era globalisasi
- Pendahuluan
Bangsa Indonesia tidak akan mungkin mengelak dari globalisasi, sebagai konsekuensi dari posisinya yang menyemesta itu dan konsekuensi zaman globalisasi. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan modernisasi pasti terjadi, dan tidak terelakkan. Era globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK (Ilmu pengetahuan dan teknologi). Dunia tanpa batas yang menganut aliran kebebasan, kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Bila kita duduk di suatu kursi akan melihat dan berkomunikasi dengan orang di tempat yang paling jauh di dunia luar sana, maka kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya masyarakat Indonesia.
Era globalisasi seperti sekarang ini akan berpengaruh terhadap segala bidang kehidupan, termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu kekuatan utama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan adalah masalah identitas bangsa. Oleh karena itu, jati diri bangsa adalah sesuatu yang harus mati-matian diperjuangkan. Jangan sampai jati diri bangsa ini lama-lama luntur seiring dengan derasnya informasi dari luar. Fenomena pengglobalan dunia harus disikapi dengan arif dan positif thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan. Namun tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah kita tidak mau ketinggalan dalam IPTEK dengan negara lain. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Dengan munculnya era globalisasi ini, maka semakin disadari pula pentingnya mempertahankan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara berkembang seperti negara kita tak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya. Dengan derasnya arus globalisasi ini dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Dengan mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pemelajaran sastra di sekolah diharapkan jati diri bangsa akan tetap kukuh. Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar.
Pudarnya budaya bangsa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam kenyataannya di dalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Pengintegrasian budaya lokal ke dalam pemelajaran sastra sungguh amat penting. Hal ini dilakukan dalam upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal dan juga sekaligus untuk meminimalisir pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya barat yang dibawa oleh globalisasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yag berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya lokal dalam pemelajaran sastra di sekolah. Dalam makalah ini penulis mencoba mencurahkan pendapat tentang pentingnya pemertahanan budaya lokal dalam pemelajaran sastra di sekolah.
- Pembinaan dan Pengembangan Sastra di Indonesia
Yang dimaksud sastra Indonesia adalah karya sastra berbahasa Indonesia dan merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia (Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999). Sastra daerah, yang didalamnya telah direkam berbagai pengalaman yang berbeda, tetapi saling berinteraksi dan dalam beberapa hal saling mempengaruhi, telah ada dan berkembang jauh sebelum munculnya sastra Indonesia. Sastra Indonesia dan daerah, baik yang lama maupun yang baru, tidak terlepas dari pengaruh dan pertemuannya dengan kebudayaan dan sastra asing. Dalam perkembangan selanjutnya, sastra Indonesia menjadi media ekspresi berbagai gagasan modern, percerminan jati diri untuk membangun kebudayaan baru yang diilhami baik oleh sumber-sumber kebudayaan tradisi maupun oleh kebudayaan modern. Perasaan dan cita-cita nasional Indonesia telah diekspresikan oleh pengarang Indonesia dalam bentuk puisi, roman, dan drama sebelum Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan terus-menerus diutarakan dalam karya mereka setelah perang kemerdekaan. Oleh karena itu, sastra Indonesia sebagai bagian kebudayaan nasional berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya dalam upaya ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat dan solidaritas kebangsaan. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Di dalam rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud pembinaan dan pengembangan sastra adalah usaha-usaha yang diarahkan untuk memelihara dan mengembangkan sastra Indonesia dan daerah, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia dan daerah, serta memanfaatkan sastra asing supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Pembinaan sastra ialah upaya untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra. Upaya itu meliputi pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan.
Upaya pembinaan sastra melalui pengajaran selalu dikaitkan dengan tujuan pengajaran sastra di sekolah. Sampai saat ini tujuan pengajaran sastra di sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah tidak pernah tercapai karena porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru satra di sekolah-sekolah sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal. Berdasarkan hal tersebut, pengajaran sastra hendaknya memperhatikan hal-hal berikut. 1) Tidak lagi merupakan bagian dari pengajaran bahasa. 2) Didukung dengan pengadaan guru yang berkelayakan mengajarkan sastra. 3) Didukung ketersediaan karya sastra yang memadai di sekolah. 4) Diupayakan sastrawan, baik lokal maupun nasional, lebih banyak dimanfaatkan melalui kegiatan tatap muka dengan guru sastra dan siswa. 5) didukung dengan kegiatan ekstrakurikuler. Pemasyarakatan sastra Indonesia dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia. Pemasyarakatan sastra Indonesia hendaklah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemasyarakatan sastra dilakukan dengan tetap memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan sastra nusantara, antara lain mengacu pada nilai-nilai budaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, pemasyarakatan sastra hendaknya mempertimbangkan hal berikut. 1) Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra Indonesia, penerbitan karya sastra perlu digalakkan. 2) Penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa-bahasa internasional perlu digalakkan. 3) Mendorong keikutsertaan sastrawan Indonesia dalam pertemuan-pertemuan sastra internasional. 4) Memberdayakan tiga komponen utama kehidupan sastra, yaitu sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Pemberdayaan sastra ditujukan kepada pemantapan kedudukan dan fungsi sastra dalam kehidupan masyarakat. Dengan semakin mantapnya kedudukan dan fungsi sastra dalam masyarakat diharapkan karya sastra yang bermutu akan lahir ditengah-tengah masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat modern upaya pemberdayaan sastra makin dirasakan penting sekali. Tiga komponen utama kehidupan sastra perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh.
Dukungan masyarakat luas berupa apresiasi sastra akan merangsang pertumbuhan sastra yang lebih subur dan bermutu. Berdasarkan hal tersebut, pemberdayaan sastra hendaklah memperhatikan hal-hal berikut. 1) Sastrawan perlu memperolah perlindungan hak cipta, kebebasan berekspresi, dan pernghargaan yang baik dari masyarakat. 2) Kritik sastar perlu disebarluaskan sehingga masyarakat dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan sastra. 3) Karya sastra yang bermutu harus dapat dinikmati oleh siswa, mulai dari sekolah dasar. 4) Apresiasi sastra masyarakat perlu diberdayakan melalui pengembangan komunitas satra. 5) Peningkatan sarana kehidupan sastra, seperti publikasi dan memperhatikan pusat-pusat kehidupan sastra. Pengembangan sastra ialah upaya meningkatkan mutu sastra agar dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi, pencerminan dan pencarian jati diri untuk membangun kebudayaan baru, dan sebagai sarana peningkatan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat.
Upaya pengembangan satra meliputi penelitian dan pemeliharaan. Penelitian sastra Indonesia dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang sastra Indonesia, termasuk sejarah sastra (sastrawan, tokoh sastra, aliran dalam sastra, dan sebagainya), serta kaitannya dengan upaya pengembangan bahasa Indonesia. Penelitian sastra Indonesia juga harus dibarengi dengan penelitian terhadap sastra daerah. Penelitian terhadap sastra asing yang relevan juga harus dilakukan. Pemeliharaan karya sastra dalah upaya yang dilakukan agar generasi baru Indonesia dapat memahami, menghayati karya sastra, terutama pesan yang dikandung di dalamnya. Pelestarian sastra lama adalah salah satu upaya pemeliharaan sastra. Pemahaman terhadap karya sastra akan lebih mudah dicapai jika suatu generasi mengalami kehidupan sastra itu sendiri. Oleh karena itu, pemeliharaan karya sastra dapat dilakukan melalui pemeliharaan tradisi bersastra di masyarakat, seperti sastra lisan, pembacaan naskah lama, penuturan dongeng.
III. Pemertahanan
Nilai-nilai Budaya Lokal Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia, melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya diklaim sebagai hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang unik yang memanfatkan simbol, tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah dengan hal-hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia baik individu atau kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa, dan karsa masing-masing. Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya.
Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Pada tahun 60-an komite Amerika mengenai bahasa dan budaya mengungkapkan hubungan antara bahasa dan budaya. Hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bahasa adalah bagian dari budaya, dan harus didekati dengan sikap yang sama membimbing pendekatan kita lepada budaya sebagai statu keseluruhan. 2) Bahasa adalah wahana budaya, maka oleh karenanya guru bahasa juga harus sekaligus guru budaya. 3) Bahasa itu sendiri merupakan subjek bagi sikap dan kepercayaan terkondisi secara kultural, yang tidak dapat diabaikan di dalam kelas bahasa (Bishop dalam Tarigan, 1991: 56). Dari pendapat Bishop di atas terlihat bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa sebagai subsistem komunikasi adalah suatu bagian dari sistem kebudayaan, bahkan merupakan bagian terpenting dari kebudayaan. Pemelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia.
Di negara kita, pemelajaran sastra belum berdiri sendiri, tetapi masih menjadi bagian integratif dari pelajaran bahasa. Terkadang pula pemelajaran sastra hanya menempati porsi yang sedikit dari pemelajaran bahasa. Seharusnya pemelajaran sastra harus mendapatkan porsi yang seimbang dengan pemelajaran bahasa. Pemelajaran sastra diharapkan akan menjadikan anak didik menjadi manusia yang memiliki identitas kebangsaan. Tetapi, kini anak usia sekolah pada umumnya senang dengan budaya asing. Hal ini harus menjadikan para pendidik waspada, karena lama kelamaan akan menjauhkan anak-anak dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercerabut dari budaya nenek moyangnya sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa. Dalam hal ini perlu dicegah kebudayaan asing yang negatif. Bahasa dan sastra daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan identitas keindonesiaan kita. Anak usia sekolah cenderung menyalahartikan globalisasi dengan mengonsumsi produk barat dan menelannya mentah-mentah. Padahal budaya global banyak yang menyimpang dari etika orang Indonesia.
Anak-anak kita justru lupa akan budaya tradisionalnya sendiri. Banyak kebudayaan tradisional yang tidak lagi dikenal oleh anak-anak kita, karena mereka lebih menyukai kebudayaan barat yang terkenal dan populer. Perbaikan keadaan budaya bangsa adalah tanggung jawab bersama, baik keluarga, sekolah, pranata sosial, maupun masyarakatnya. Salah satu upayanya adalah memberikan arahan sejak anak-anak. Misalnya, memperkenalkan budayanya sendiri sejak dini. Di sekolah, usaha ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur budaya daerah ke dalam mata pelajaran, salah satunya adalah ke dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sehubungan dengan pengertian kebudayaan, dalam buku ” Primitive Culture” karangan E.B. Taylor yang pertama kali terbit tahun 1871, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Suriasumantri, 1996: 261) Kemudian Kuntjaraningrat (1974: 12) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sietem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Dalam hal ini, kebudayaan merupakan garis pemisah antara manusia dan binatang. Manusialah yang harus membentuk kebudayaan, bukan kebudayaan yang membentuk manusia. Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh dan digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Fungsi utama kebudayaan adalah untuk menyebarkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Era global yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga seakan-akan dunia merupakan sebuat perkampungan global tanpa sekat dan batas yang jelas. Era global tersebut telah memberikan kesempatan kepada dunia dan manusia yang hidup di dalamnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dari berbagai ujung dunia yang berbeda, tanpa hambatan ruang dan waktu.
Akibat dari gelala tersebut dikhawatirkan justru kebudayaan dari luarlah yang membentuk anak didik, karena mereka umumnya masih belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka budaya yang datangnya dari barat itu baik adanya. Padalah tidak semua yang datangya dari barat itu baik, justru sebaliknya banyak pula budaya yang kurang baik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa kita. Sifat individual, sikap permisif terhadap seks merupakan contoh budaya yang datangnya dari luar yang tentunya tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada anak didik kita. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Memperkenalkan cerita rakyat dalam bentuk mendongeng sebelum tidur misalnya merupakan budaya bangsa kita dahulu, yang pada masa kini sudah mulai meluntur seiring berkembangnya zaman.
Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak hanya digunakan untuk memahami dunia dan mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya. Ibarat kata pepatah ”menggapai burung terbang sementara punai di tangan dilepaskan”. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal misalnya cerita (dongeng) rakyat, ritual kedaerahan, tradisi kedaerahan, kreativitas (tari, lagu, drama, dll.), dan keunikan masyarakat setempat. Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local genius) dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005).
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut John Haba ( 2008:7-8) kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai penanda identitas sebuah komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial; (3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4) berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground; (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu. Masalahnya kearifan lokal tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru terkadang mengabaikan aset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Nurgiyantoro (1995: 164) menegaskan bahwa cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri.
Cerita tidak saja digunakan untuk memahami dunia dan mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya. Pada masa kini, anak-anak kita lebih akrab dengan Cinderella, Spiderman, Superman, Pinoccio dan lain sebagainya. Tidak kenal Sangkuriang, Ratna Suminar, Malin Kundang, Bandung Bondowoso, Purnama Alam, Timun Mas dan lain sebagainya. Karena tidak akrab, maka jangan heran kalau esensi kearifan lokal yang ada pada cerita tersebut juga tidak pernah melekat dalam benak anak-anak kita. Dalam era otonomi daerah sudah selayaknya dan memang seharusnya budaya lokal diperkenalkan kepada anak-anak kita. Bahkan dalam penyusunan kurikulum di tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah pun sudah selayaknya mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa kita. Hal yang naif terjadi di kota Cilegon provinsi Banten misalnya, di sekolah dasar muatan lokal (mulok) yang seharusnya mengedepankan budaya daerah misalnya berupa mulok bahasa dan sastra Jawa Dialek Banten (BJB), malah diabaikan, karena pengambil kebijakan lebih memilih bahasa Inggris sebagai pelajaran mulok.
Tontonan dan tayangan di televisi lebih menonjolkan budaya orang lain daripada budaya bangsa kita. Tontonan dan tayangan yang menunjukkan keragaman budaya dan bahasa di nusantara teramat jarang. Seharusnya tontonan keragaman budaya nusantara disajikan sesering mungkin pada anak-anak generasi penerus bangsa Indonesia, agar mereka tahu produk media televisi juga menceritakan tentang tanah airnya. Selama ini anak-anak lebih Indonesia akrab dengan ”Tom And Jerry” , ”Naruto”, ”Dora” , ”Mickey Mouse”dan lain-lain, mana cerita anak yang berlatar belakang budaya daerah yang ada di Indonesia? Mana produk bangsa ini yang bisa memperkaya generasi muda dan meluaskan wawasan mereka terhadap multikultur dan kemajemukan budaya bangsa? Tanpa sadar, kita telah dimiskinkan oleh aneka tontonan dan tayangan yang mencerminkan budaya orang lain. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik melisankan melaui tulisan sastra. Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain. Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca (Semi, 1993:1). Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pemelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal. Salah satu genre sastra adalah prosa.
Cerita rakyat (folklor) merupakan salah satu jenis prosa. Cerita rakyat sebagai salah satu budaya lokal sudah sepantasnya mulai dijadikan sebagai bahan pemelajaran sastra di sekolah. Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat terhadap anak didik diyakini akan melekat sampai dewasa. Hal ini berkaitan dengan salah satu manfaat pemelajaran sastra yaitu membentuk watak peserta didik. Karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra terkandung nilai-nilai yang positif bagi pembaca dan berguna bagi masyarakat secara luas. Sastra dapat menyampaikan amanat dan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai pendidikan kepada pembaca. Pesan moral dalan sastra sejatinya esensi yang harus ditemukan oleh pembaca atau penikmat sastra. Pesan moral dalam karya sastra merupakan hal terpenting dalam sastra sebagai bahan kontemplasi pembaca dalam merajut nilai-nilai hidup dan melakoni kehidupan yang lebih baik. Misalnya, cerita rakyat ”Dampu Awang” di daerah Banten yang berlatar gunung Kramat Watu memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Bagaimana seorang anak harus bersikap hormat pada orang tua. Jangan sampai lupa kepada orang tua walaupun sudah hidup sukses. Dari jalan ceritanya agak mirip dengan cerita rakyat yang sudah lebih dulu terkenal dari daerah Minangkabau, yaitu Malin Kundang. IV. Penutup Penulis sadar bahwa makalah singkat ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak sisi yang belum dibahas tuntas oleh penulis. Hal ini mudah-mudahan menginspirasi para pembaca untuk membahas topik ini supaya lebih mendalam lagi. Ide mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pemelajaran sastra merupakan ide penulis yang belum didukung oleh referensi yang mendalam. Ide ini dilatarbelakangi kepedihan penulis melihat anak-anak kita lebih menyukai tokoh-tokoh cerita dari luar daripada dari dalam negeri sendiri. Mudah-mudahan selanjutnya penulis dan juga para pembaca bisa lebih memperjelas ide tersebut dengan disertai referensi yang mendukung. Memang berdasarkan referensi yang penulis temukan, selama ini pemelajaran sastra di sekolah dianggap kurang berhasil. Salah satunya karena porsi pemelajaran sastra terkadang sering dilewatkan begitu saja oleh para guru. Andaikan para guru memperhatikan pemelajaran sastra secara seksama dan tentunya dengan mengitegrasikan budaya lokal. Misalnya di daerah Banten sudah selayaknya cerita rakyat ”Dampu Awang” diperkenalkan sejak sekolah dasar. Penulis meyakini efek negatif globalisasi akan bisa diminimalisir.
Bahkan tragedi ”kebanjiran budaya” (culturally overwhelmed) asing tidak akan pernah terjadi. Identitas kebangsaan kita diyakini akan tetap terjaga. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Pada akhirnya, mengintegrasikan budaya lokal dalam pemelajaran sastra diharapkan akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang semakin mewabah di masyarakat kita. Dengan kata lain gerakan ”kearifan lokal” (local genius) dengan kembali ke akar budaya bangsa sendiri merupakan tindakan cerdas untuk meminimalisir pengaruh negatif globalisasi.
Daftar Pustaka
Abrams, MH. 1988. A Glossary of Literary Terms. Fort Worth: Holt, Rinehart & Winston Inc. Alisyahbana, S.T. 1988. Kebudayaan sebagai Perjuangan. Jakarta: Dian Rakyat.
Goodenough, Ward H. 1981. Culture, Language, and Society. Philiphines: Benjamin/Cumming Publishing. Koentjaraningrat. 1974. Kebudaanyaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarya: UGM Press. Saini K.M. 2005. ”Kearifan Lokal di arus Global”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Spradley, James P. 1997. The Etnographic Interview (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tarigan, Henry Guntur. 1991. Metode Pengajaran Bahasa 1. Bandung: Angkasa.
Biodata Asep Muhyidin, M.Pd. Pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. (Sumber: Makalah KIK HISKI XX 2009, Bandung, 5–7 Agustus 2009)
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/306