Kajian Masyarakat Jawa

jawa

Yuk lihat tulisan tentang masyrakat Jawa dibawah ini bagaimana masyarakat jawa mempertahankan kebudayaannya! semoga enjoy.. !!!

Nilai Rukun dan Nilai Hormat sebagai Cara Mempertahankan Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Jawa di Desa Gringsing

Pengantar

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang heterogen dimana banyak budaya yang ada dalam masyarakat Jawa. Jawa dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Jawa yang menjadi pusat kebudayaan yaitu Solo dan Yogyakarta, Jawa pegunungan, dan Jawa yang terletak di pesisir pantai. masing-masing bagian tersebut mempunyai ciri khas masing-masing.

Membahas mengenai etika Jawa dengan tiga nilai yang dijunjung tersebut. Banyak fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya dalam dalam sebuah keluarga, mereka lebih memillih untuk menutupi walaupun tidak dapat dipungkiri dibelakang mereka sering membicarakan. Mereka lebih menunjukan sikap senangnya walaupun ada permasalahan pada mereka. Tegasnya orang Jawa yang benar lakunya saling hormat-menghormati, yang rendah merasa rendah yang tinggi melindungi (“ngayomi”). Implikasi peran ini tercermin pada “tata krama”undha saking basa”, “Uda Angara”, “Suba sita”, dan sebagainya ( Soetomo,2000:3 )

Sebagaimana yang terjadi di Desa Gringsing Kabupaten Batang, terdapat suatu tatanan sosial seorang pemimpin pengajian bagi ibu-ibu ia menjalankan statusnya untuk mengatur ibu-ibu. Namun tak jarang ia menjalankan otoritasnya yang “kelewatan batas”. Ibu-ibu dalam perkumpulan tadi tidak bersedia untuk membicarakan keluh kesahnya. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan tatanan sosial yang sudah ada. Walaupun ada perasaan tidak terima dalam diri mereka.

Seperti yang diungkapkan dalam teori struktural Radclif Brown bahwa masyarakat hidup dalam suatu sistem yang mempunyai struktur. Struktur tersebut merupakan total dari jaringan hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok ( Koentajaraningrat, 2012:181 ). Struktur tadi menciptakan sebuah keteraturan sosial sehingga masyarakat lebih ingin mempertahankan karena sudah terbentuk cukup lama.

Oleh karena itu, menarik ketika kita mengkaji tentang nilai yang dianut dalam masyarakat Jawa untuk tercapainya keteraturan sosial. Dimana masyarakat Jawa adalah masyarakat terbanyak yang ada di Indonesia. Sehingga cerminan budaya Indonesia lebih condong ke budaya Jawa. Walaupun tidak mengabaikan budaya khas dari daerah lain.

PEMBAHASAN

            Manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua sisi yaitu sisi hitam dan sisi putih atau ( Yin dan Yang ). Jika dikaitkan dengan konsep etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Obyek etika Jawa adalah pernyataan moral. Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa ada dua kaidah dasar yang paling menentukan pola pergaulan manusia Jawa. Kaidah yang pertama disebut dengan prinsip rukun mengatakan bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Sedangkan kaidah yang kedua disebut prinsip hormat atau kumat menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Interaksi manusia Jawa secara nyata didasarkan pada nilai rukun dan hormat.

            Rukun adalah kondisi sosial yang seimbang. Kerukunan hidup dapat terjadi karena masing-masing personal saling menghormati, menghargai dan menjaga sopan santun. Masyarakat Jawa mengedepankan sifat kekeluargaan, gotong royong dan konsep tepa selira. Orang Jawa memiliki kepentingan pribadi, tetapi nilai rukun  berfungsi mengintegrasikan kepentingan-kepentingan pribadi untuk kepentingan kelompok dan berfungsi untuk memelihara keadaan sosial yang harmonis.

            Kaidah hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Kaidah hormat didasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis itu bersumber pada diri masyarakat, sehingga setiap orang wajib untuk mempertahankan dan menyesuaikan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah hormat merupakan titik temu antara berbagai perasaan individu masyarakat Jawa yang timbul bila ia berhadapan dengan orang lain.

Perwujudan dari nilai hormat itu adalah bahwa rasa isin (malu), rasa wedi (takut), rasa sungkan ( tidak enak ). Sehingga setiap ingin berinteraksi masyarakat Jawa sangat mempertimbangkan dengan siapa dia akan berinteraksi. Begitu pula yang terjadi di masyarakat Desa Gringsing, karena dirasa belum ada yang bisa menggantikan maka masyarakat Desa Gringsing lebih mempertahankan tatanan tadi. Dimana pemimpin pengajian ibu-ibu tadi tetap dianggap sebagai pemimpin pengajian walaupun dengan sedikit ketidakterimaan mereka.

Sikap ketidaksenangan masyarakat diantaranya adalah pengajian yang menjadi rutinan itu terkadang diganti harinya karena Beliau ada acara, adapula ketika rombongan menjenguk orang sakit Beliau pula yang memegang uangnya dan membagi untuk ditaruh sebagai uang kas dan uang untuk diberikan ke orang sakit. Masyarakat kurang menerima karena kurang keterbukaan mengenai hal tersebut.

Ketika tatanan tadi mengalami perubahan bahwa muncul rasa takut/wedi dari masyarakat Desa Gringsing jika nantinya muncul konflik yang lebih besar. Sehingga mereka lebih memilih untuk mempertahankan tatanan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Radcliff Brown bahwa bentuk dan struktur sosial adalah tetap, dan kalau pun berubah proses itu biasanya berjalan lambat dan realitas struktur sosial yaitu individu-individu atau kelompok-kelompok yang ada didalamnya selalu berubah dan berganti ( Koentjaraningrat, 2012:181).

Ibunya menjadi pemimpin pengajian ibu-ibu sedangkan anaknya menjadi pemimpin anak-anak kecil. Masyarakat mempunyai rasa sungkan terhadap keluarga tersebut. Sehingga keluarga tersebut menjadi salah satu keluarga yang dihormati di lingkungan Desa Gringsing.

Tatanan tersebut telah berlangsung sejak lama. Bahkan kaum muda pun belum berani mengubah tatanan tersebut. Mereka cenderung lebih mengikuti dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam didikan keluarga. Sehingga rasa Isin, rasa Wedi, dan rasa Sungkan begitu melekat dalam diri masing-masing individu.

Kesimpulan

Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa msayarkat Desa Gringsing memakai nilai khas orang Jawa yaitu nilai Rukun dan nilai Hormat dalam proses berinteraksi dengan lingkungannya. Masyarakat Desa Gringsing lebih mempertahankan tatanan yang sudah mapan agar tidak terjadi konflik dalam lingkungannya. Sedangkan nilai hormat tercermin saat mereka begitu tunduk pada unggah-ungguh dimana ketika ada seorang yang dianggap lebih tinggi maka harus bertindak dengan sopan santun.

Nilai hormat dan rukun tersebut tercermin dalam rasa Isin, Sungkan, dan Wedi. Masyarakat Gringsing tidak secara vulgar menceritakan apa yang di inginkan. Begitu pula terdapat rasa wedi/takut akan dampaknya jika nantinya tidak ikut/manut dalam tatanan yang sudah mapan. Rasa sungkan tercermin dalam tindakan saat bertemu dengan seorang yang memang harus dihormati.

Dafar Pustaka

Suseno, Franz Magnis.1984.Etika Jawa . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soetomo.2000.Kebudayaan Jawa Dalam Perspektif.Semarang:Stiepari Press.

Koentjaraningrat.2010.Sejarah Teori Antropologi.Jakarta:UI Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: