Review Artikel Ekologi

terumbu-karang

Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka dan Konsekuen Lingkungan dalam Konteks Internal dan Eksternal : Studi Kasus pada Nelayan Pulau Sembilan

Artikel Jurnal oleh : Munsi Lampe, Sjafri Sairin, Heddy S.Ahima

Jurnal Humaniora tahun 2015 Vol. 17 (3) hal 312-325

REVIEW ARTIKEL

Eksploitasi laut telah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Eksploitasi laut seringkali dilakukan oleh para nelayan didaerah pesisir. Ada beberapa bentuk eksploitasi laut yang terjadi, yang pertama eksploitasi ikan. Dalam hal ini masyarakat nelayan menangkap ikan tanpa memilah-milih ikan tangkapannya. Sehingga banyak ikan kecil-kecil yang ditangkap juga oleh nelayan. Sebenarnya hal semacam ini merupakan salah satu tindakan eksploitasi ikan laut. Seharusnya ikan yang harus di ambil di laut hanyalah ikan yang sudah besar saja. Dengan demikian secara tidak langsung nelayan telah ikut serta dalam upaya pelestarian lingkungan. Bentuk eksploitasi yang kedua yaitu adanya penebangan hutan bakau secara liar. Penebangan hutan bakau yang dilakukan oleh nelayan memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan seperti terjadinya abrasi pantai. Yang ketiga yaitu adanya pembuatan tambak dilaut yang dapat merusak terumbu karang. Dengan rusaknya terumbu karang maka menyebabkan terjadinya penurunan ekosistem ikan laut

Ada dua peristiwa pienting terjadi dalam antropologi ekologi pada tahun 1980-an. Pertama adalah dipertanyakannya perndekatan ekosistem sebagai strategi penelitian, kedua adalah penyemprnaan pendekatan ekologi baru dan pendekatan “problem” yang di lontarkan oleh Vayda dan MeCay.

            Berbagai makalah yang mengkaji penggunaan konsep ekosistem dan arkeologi, antropologi fisik dan antropologi sosial-budaya disajikan.

  1. Sebagai alat heuristik (heuristic tool) untuk mengkonseptualisasi kemanunggalan sistem sosial dengan sistem biologi
  2. Untuk mendng data kuatitatif yang telitidari berbagai komponen dan relasi dalam sistem
  3. Sebagai angka untuk merumuskan dan menguji hubungan antaramanusia dan lingkungan.

            Namun konsep ini akan menghilang manakala mengkaji masalah evolusi yang dihadapkan pada faktorfaktor manusiawi yang bervariasi.

            Pendekatan problem sebuah penelitian dan progam penelitian internasional untuk mengembangkan suatu pendekatan ekologis dan sosial yang akan dapat dipakai untuk mengatasi berbagai masalah, mengumpulkan informasi dan menyajikan metode bagi manajemen ekosistem yang lebih baik.

            Vayda mengembangkan suatu strategi penelitian untuk pendekatan problemnya. Disebut progressivecolextualization (kontektualisasi terus-menerus ) dan “ memfokuskan perhatian pada aktivitas manusia” salah satu petunjk penting dalam metode ini adalah rasionalisme,yang mengasumsikan bahwa mereka yang terlibat dalam berbagai aktivitas dan interaksi yang sedang dikaji secara rasional menggunakan pengetahuan dan sumber daya yang ada untuk mencapai segala tujuan mereka dalam berbagai situasi kasus.

Prespektif individualis dari Vayda karena pendekatan ini menyatakan bahwa “tidak hanya tindakan namun juga akibat-akibat terhadap lingkungan dapat menjadi objek-objek penjelasan”.

Periode tahun 1980-an dengan demikian antropologi ekologi tetap bertahan, yakni (1) pendekatan etnoekologi, etno-pengambilan-keputusan, yang meminjam kerangka teorinya dari etnosains dan ekonomi mikro. (2) analisis ekosistemik materialistik atau pendekatan neo-fungsional yang mengambil modelnya dari ekologi umum dan biologi, dan pendatang baru. (3) pendekatan “masalah”, yang popularitasnya di kalangan antropologi masih perlu di tunggu.

Tulisan ini mengemukakan tentang perilaku eksploitasi yang dilakukan oleh nelayan pulau sembilang terhadap sumber daya perikanan Taka dan konsekuensinya. Hal tersebut terjadi karena pengaruh internal maupun eksternal. Pada nelayan pulau sembilang mengalami perubahan pada cara menangkap hasil laut dari tradisional menjadi modern. Dulu .nelayan tradisional mengunakan pancing labu untuk menangkap hasil laut, namun sekrang mengalami perubahan yaitu dengan teknologi bius, bom, dan mencari teripang secara besar-besaran.

Perubahan tersebut dikaji dengan menggunakan pendekatan dan konsekuensi dengan mode penjelasan progresif yang intinya mengusulkan untuk menjadikan tindakan-tindakan manusia dan konsekuensi terduga atau tak terduga sebagai objek penjelasan yang tepat dan pada segi lainnya, untuk menjelaskan dalam suatu mode. Mode penjelasan yang kontekstual ialah dari bawah ke atas (Buttom up).

Perhatian kepada dan kemampuan melihat kompleksitas fenomena degradasi lingkungan dan sumberdaya alam, hubungan-hubungan social ekonomi. Keterbukaan system ekologi, usaha kearah dan petunjuk menemukan factor-faktor internal dan eksternal dalam konteks historis.

Perubahan social budaya masyarakat terjadi karena tidak ada masyarakat yang statis. Perubahan tersebut di pengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Perubahan internal diantaranya factor social dan budaya sedangkan perubahan eksternal adalah datangnya pedagang-pedagang china ke pulau Sembilan.

Factor social yang terjadi pada masyarakat nelayan pulau Sembilan adalah adanya lembaga ekonomi perikanan tradisional yang disebut ponggawa-sawi. Yang pada mulanya tumbuh dari kesepakatan antara individu yakni antara pihak yang mempunyai kemampuan keuangan dan bakat-bakat pengelolaan modal dengan kebanyakan orang yang hanya bisa menyumbangkan tenaga dan ketrampilan kerjanya. Kesepakatan tersebut merupakan respon masyarakat terhadap permintaan pasar yang meningkat atas komoditi hasil laut.

Dalam konteks budaya, nelayan pulau Sembilan memiliki beberapa kebiasaan :

  1. Prinsip efektivitas dan efisiensi terwujudkan misalnya, melalui pelemparan bom dengan sikap hati-hati dan terampil yang menjanjikan keberhasilan karena selalu diarahkan kepada sasaran yang pasti.
  2. Pada usaha teripang tumbuh sikap persaingan diantara anak buah untuk dahulu menyelam ke dasar dengan ambisi memaksimalkan waktu selam, sebab selain kuantitas yang dihasilkan pendapatan juga berdasarkan pada jenis nilai tukar teripang yang di hasilkan.
  3. Nelayan bius yang dikenal progresif dan berani memaksimalkan waktu kerjanya yang mendatangi lokasi-lokasi yang di perkirakan banyak ikan target atau lobster disitu, meskipun lokasi-lokasi tertentu yang digarap di percayai kebanyakan orang sebagai tempat-tempat keramat.

            Karena ambisi pengejaran keuntungan bagi penggawa dan pendapatan bagi sawi tidak sedikit diantara mereka mendapatkan musibah di laut, sebagian terkena sakit lumpuh dan meninggal dunia.

            Meskipun demikian pengalaman dan pandangan kekurangan mengenai kehidupannya tidak menyurutkan motivasi usaha menjadi sikap kepasrahan, melainkan justru mendorong bagi setiap anggota kelompok dan ponggawa menentukan strategi-strategi baru dan alternative.Pengalaman dari sifat pekerjaan yang berat dan rumit berbahaya dan sulitnya perolehan modal, seperti yang mencerminkan bentuk-bentuk aktivitas nelayang teripang, bom, dan bius membentuk gagasan atau budaya masyarakat tersendiri. Struktur hubungan kerjasama ponggawa-sawi menggariskan secara tegas bahwa ponggawa bertugas mengelola modal yang sulit ditangani dan diakses setiap orang, sedangkan kelompok nelayan (sawi) atau juragan melakukan kerjasama dalam proses produksi di laut sehingga produksi di laut yang berat bisa diperingan dan yang rumit bisa disederhanakan.

            Pengaruh eksternal yang terjadi pada masyarakat pulau Sembilan ialah permintaan pasar dari pihak-pihak yang terlibat didalamnya, adopsi teknologi tangkap dan kebijakan pemerintah. Pada mulanya nelayan tidak banyak tahu dan memperhatikan spesies teripang karena tidak mempunyai nilai tukar. Biota ini mulai dicari ketika kapal-kapal dagang cina yang ramai berlabuh di pelabuhan kota Somba Oppu. Pedagang China-lah yang mengajarkan sortir menurut tingkatan nilai tukar dari yang paling tinggi ke yang paling rendah.komoditi teripang ini mempunyai fungsi sebagai santapan enak, sebagaibahan obat-obatan, nutrisi, vitalitas, dan memperpanjang umur.

            Budaya usaha ikan dan lopster yang merajai komoditi hasil laut dengan cepat mempengaruhi terkurasnya populasi ikan dan lopster dan sekitar taka-taka pulau Sembilan. Permintaan komoditi meningkat karena faktor terjadinya perubahan pola makan kelas konsumen elit di Negara-negara penimpor dari mengonsumsi hasil laut dalam kondisi segar yang sudah dihidangkan di meja restoran sea food ke model dengan para pengunjung terlebih dahulu memancing ikan atau lopster hidup dari kolam0kolam penampungan lalu diolah dan disajikan para pelayan menurut selera pengunjung masing-masing.

            Konsekuensi yang dihadapi para nelayan adalah rusaknya taka dan menurunnya produktifitas hasl laut sehingga para nelayan harus mencari tempat lain untuk memenuhi permintaan pasar. Sehingga menyebabkan makin banyaknya sumberdaya taka yang rusak karena penangkapan hasil laut secara besar-besaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: