Globalization
Globalisasi dan identitas tidak mudah untuk didefinisikan karena keduanya merupakan konsep yang kompleks. Globalisasi bersifat multidimensional yang mencakup dimensi ekonomi, teknologi-komunikasi, politik, dan kultural. Menurut Tomlinson, globalisasi adalah sebuah proses yang menyebarkan ciri-ciri institusional dari modernitas.
Sementara itu, identitas dapat didefinisikan sebagai “sumber makna dan pengalaman bagi orang-orang” (Castell 1997)4 atau “pencarian makna individu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan masyarakat.”
Menurut Tomlinson, identitas adalah dimensi dari kehidupan sosial yang terlembagakan dalam dan terbentuk karena adanya modernitas, yang didefinisikan sebagai “abstraksi praktik-praktik sosial dan kultural dari konteks-konteks kekhususan lokal dan pelembagaan serta regulasinya melintasi batas-batas ruang dan waktu.” (Giddens, 1990). Proses pelembagaan ini dapat dilihat dalam, misalnya, pembentukan teritori sosial (negara modern dan urbanisme) serta produksi dan praktik-praktik konsumsi (industrialisasi dan ekonomi kapitalis).
Modernitas juga melembagakan dan mengatur praktik-praktik kultural yang membuat kita merasa harus mengikatkan diri dengan suatu ‘identitas’ yang didasarkan pada pembedaan-pembedaan spesifik, misalnya gender, seksualitas, kelas, agama, ras dan etnisitas, serta kebangsaan.
Dampak Globalisasi terhadap Kebudayaan Lokal
Michael Hsiao mengajukan tipologi mengenai konsekuensi globalisasi terhadap kebudayaan lokal, yaitu:
- budaya lokal tergeser oleh budaya global,
- budaya lokal dan global hidup berdampingan tanpa adanya penyatuan berarti di antara keduanya (koeksistensi),
- budaya lokal dan global bersintesis, dan
- budaya global ditolak oleh budaya lokal yang kuat.
Globalisasi sebagai Pembentuk Identitas
Globalisasi mendorong terjadinya penguatan posisi-posisi identitas, misalnya dalam bentuk kebudayaan lokal yang menentang kekuatan homogenisasi dari globalisasi kapitalis (Castells 1999) atau gerakan-gerakan sosial global yang didasarkan pada posisi-posisi identitas (misalnya gender, seksualitas, agama, etnisitas, dan kebangsaan).
Globalisasi dan Potensi Terjadinya Kekerasan
Menurut Tomlinson, globalisasi seringkali menimbulkan tantangan, bahkan ancaman, terhadap negara dengan menghasilkan masyarakat multietnis (hasil dari proliferasi identitas) yang menimbulkan kompleksitas dan ketegangan di dalam negara, terutama di negara-negara berkembang. Globalisasi memperkuat posisi-posisi identitas dan perbedaan di antara mereka. Selain itu, globalisasi juga mengakibatkan identitas menjadi lebih politis (Stuart Hall, 2000).
Menurut Mary Kaldor (1999), politik identitas di era globalisasi yang dimobilisasi di sekitar identitas etnik, rasial, dan agama menimbulkan banyak ‘perang baru’ yang bertujuan untuk merebut kekuasaan negara.
Sementara itu, Samuel Huntington, dalam tesis ‘benturan antar peradabannya,’ menyatakan bahwa politik global saat ini direkonfigurasi di sepanjang garis kultural yang mengarah pada konflik karena penguatan identitas mensyaratkan adanya pendefinisian ‘musuh’ yang memiliki identitas yang berbeda. Menurutnya, kekuatan-kekuatan integrasi di dunia mengakibatkan timbulnya kekuatan kontra yang didasarkan pada penguatan kultural dan kesadaran peradaban.
Referensi:
Baylis, John. 2001. “Introduction” dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.), The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Hlm.19.
“Globalization and Identity: Trends and Contradictions,” diunduh dari https://www.osi.hu/nsp/program_uk/yorkconf/papers2001/globalizationandidentity.htm pada 8 Oktober 2014.
Hartiningsih, Maria. 2007. Mencari Jawaban dalam Etnofilsafat: Untuk Keberwarganegaraan yang Demokratis. Harian Kompas, Jumat, 24 Agustus 2007, Hlm. 59.
Tomlinson, John (2003), “Globalisasi and Cultural Identity”, Hlm. 272