Materi Sosiologi Kelas XII Bab IV : Kearifan Lokal Dan Pemberdayaan Komunitas

Desember 17th, 2015 by putri novitasari Leave a reply »

1. Apa yang dimaksud Kearifan Lokal?
Secara bahasa, lokal berarti setempat, sedangkan kearifan atau dalam bahasa Inggris wisdom dapat diartikan sebagai pemikiran, gagasan, atau perilaku yang bijak. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sehingga kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh para anggota masyarakat.
Sebagai sebuah istilah kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal-budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Kearifan lokal muncul dalam periode panjang dan berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan harmonis.
Fungsi kearifan lokal bagi masyarakat tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat dan menciptakan peradaban. Pada akhirnya kearifan lokal dijadikan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka yang meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
Di Indonesia yang kita kenal sebagai Nusantara kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintasbudaya atau lintas-etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional.
Sebagai contoh, hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang mengajarkan gotong royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan manuskrip (bahasa Latin manuscript: manu scriptus ditulis tangan), secara khusus, adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain.
2. Strategi Pemberdayaan Komunitas
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang berpola dan terorganisasi. Manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat mempunyai kebutuhan. Kebutuhan manusia dapat berupa kebutuhan individual atau kebutuhan kolektif. Konsekuensi dari keadaan ini adalah manusia selalu berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia bermacam-macam baik jenis, prioritas, maupun hirarkhinya. Usaha memenuhi kebutuhan tidak pernah berhenti. Terpenuhinya kebutuhan pada prioritas atau hirarkhi tertentu akan dilanjutkan dengan usaha memenuhi kebutuhan prioritas atau hirarkhi berikutnya.
Realitas bahwa upaya memenuhi kebutuhan tidak pernah berhenti menyebabkan dalam kehidupan masyarakat terjadi proses dan usaha perubahan. Tentu saja masyarakat mengharapkan perubahan yang berfifat progresif (menuju perbaikan atau menuju kepada keadaan yang lebih mensejahterakan). Perubahan menuju progress atau menuju keadaan yang lebih sejahtera disebut perkembangan atau pembangunan. Dalam bahasa Inggris disebut development.
Muller sebagaimana dikutip oleh Soetomo dalam bukunya pemberdayaan masyarakat (2011) menjelaskan bahwa pembangunan merupakan upaya untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi penderitaan manusia dalam semua bentuk dan dimensinya. Penderitaan yang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas, bukan saja dalam bentuk kemiskinan atau kemelaratan, diskriminasi, atau penindasan, melainkkan juga jika manusia diposisikan sebagai objek pembangunan.
3. Perspektif Pembangunan Masyarakat
Ada beberapa perspektif dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Persepktif merupakan sudut pandang dalam melihat fenomena atau gejala pembangunan masyarakat. Ada beberapa perspektif yang pembangunan, yaitu :
a. Perspektif Basic Need
Perspektif basic need digunakan dalam pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang pada masa-masa awal setelah kemerdekaan, karena dari kondisi sosialekonomi masyarakat dalam negara-negara yang baru saja merdeka ini jauh ketinggalan dari negara-negara yang sudah maju.
Awalnya, negara-negara yang baru saja merdeka ini disebut backward nation, atau negara terbelakang, dengan ciri mengalami kemelaratan kronis yang disebabkan bukan oleh minimnya sumberdaya alam melainkan karena masyarakat mengalami keterbelakangan di berbagai bidang kehidupan. Kemudian disebut “underdeveloped” atau “lower developed countries” (LDC), yang dihadapkan dengan “developed” atau “more developed countries” (MDC). Sebutan-sebutan ini akhirnya dianggap merendahkan. Maka istilah diperbarui menjadi ”developing countries” atau negaranegara sedang berkembang. Dalam Konferensi Asia Afrika (Bandung, 1955), sebutan tersebut diubah menjadi “Negara-negara Selatan”. Di lain pihak adalah Negara-negara Utara. Sebutan yang lain bagi negara-negara yang belum maju adalah DUNIA KETIGA yang dihadapkan kepada DUNIA PERTAMA yaitu negara-negara maju, dan DUNIA KEDUA, yaitu negara-negara sosialis di Eropa Timur.
Menyadari akan ketertinggalannya, negara-negara yang sedang berkembang ini melakukan upaya mempersempit jarak. Upaya pembangunan yang dilakukan adalah memadukan otoritas negara dengan potensi dan partisipasi masyarakat, melalui strategi pengembangan komunitas (community development).
Community development adalah proses yang merupakan usaha masyarakat sendiri yang diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam kehidupan nasional dan menorong kontribusi komunitas yang lebih optimal bagi kemajuan nasional.
Srategi pengembangan komunitas ini mendominasi pelaksanaan pembagunan masyaraat di negara-negara berkembang pada era 1950-an. Dalam era itu peran PBB cukup besar dengan mengirimkan konsultan-konsultan pengembangan komunitas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam penerapan strategi ini dijumpai beberapa penyempurnaan berdasarkan umpan balik terhadap persoalan yang timbul. Misalnya setelah diterapkan dalam beberapa waktu, ternyata lebih menonjol aspek sosialnya, terutama solidaritas sosial dan pengorganisasian sosial yang memang diperlukan untuk mengokohkan identitas bangsa. Padahal tujuan utama pembangunan masyarakat dengan strategi ini adalah peningkatan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Maka, pada pelaksanaan berikutnya porsi aspek ekonominya ditambah, sehingga pengembangan komunitas yang diterapkan adalah proses pembangunan sosial dan pengorganisasian sosial yang mengandung pembangunan ekonomi, atau pembangunan ekonomi yang berwatak sosial.
b. Perspektif Pertumbuhan
Setelah strategi pengembangan komunitas diterapkan di beberapa negara sedang berkembang dipandang belum dapat mengembangkan aspek ekonomi secara memadai, maka lahirlah perspektif baru dalam pembangunan masyarakat yaitu perspektif pertumbuhan.
Dalam perspektif pertumbuhan penguasaan teknologi dianggap penting karena merupakan instrument untuk mempercepat peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Perspektif ini sejalan dengan teori modernisasi yang banyak mewarnai pemikiran dalam pembangunan masyarakat, sehingga dalam pembangunan masyarakat banyak dilakukan adopsi inovasi teknologi, bahkan penggunaan teknologi merupakan hal yang menonjol dalam upaya peningkatan produktivitas.
Pada awalnya pendekatan ini bersifat sektoral, yaitu di sektor pertanian. Di sektor pertanian perspektif ini menghasilkan suatu proses perubahan melalui adopsi inovasi dalam sistem usaha tani yang hampir dilakukan di semua negara yang sedang berkembang pada 1950-1980, yang dikenal sebagai revolusi hijau.
Konsep Revolusi Hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat), yaitu program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras sebagai komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani (mekanisasi pertanian, irigasi, pemupukan, pemberantasan hama/pestisida, dan penggunaan bibit unggul), penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Peningkatan produktivitas dengan inovasi teknologi baru ini kemudian dikembangkan tidak hanya pada sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor lain di pedesaan, sehingga strateginya disebut sebagai rural development.
Karena orientasi kepada pertumbuhan, pendekatan ini menjadikan pengembangan aspek manusia dan masyarakat menjadi bersifat sekunder. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan, pembangunan di tingkat desa lebih pada pembangunan wajah desa yang bersifat fisik, seperti gerbang desa, pagar halaman harus seragam, balai desa, gardu ronda, dan sebagainya, sehingga kadang dijumpai hal yang ironis, karena pagar halaman lebih bagus dari rumahnya.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah sifatnya yang sektoral, sehingga suatu desa menjadi sasaran objek pembangunan (top-down) yang tidak terkoordinasi, sehingga disempurnakan dengan strategi Integrated Rural Development (IRD) dan Regional Development (RD), sehingga setidaknya akan terjadi proses pembangunan desa yang terkoordinasi dan integrasi antara program dari atas dengan aspirasi dari bawah, sehingga desa tidak hanya menjadi objek pembangunan.
Persepektif pertumbuhan menjanjikan pemerataan pembangunan melalui trickle down effect (efek tetesan ke bawah). Dalam jangka pendek, model pembangunan demikian dapat membantu masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhankebutuhan mendasarnya, namun dalam jangka panjang akan menciptakan ketergantungan, masyarakat tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan sulit tercipta pembangunan yang berkelanjutan, karena sifatnya yang karitatif (charity) sehingga kurang memperhatikan pengembangan potensi, sumberdaya, dan kapasitas masyarakat sebagai penyandang masalah.

Advertisement

Tinggalkan Balasan