Laporan Observasi Masyarakat Nelayan di Tanjung Emas Semarang

Pelabuhan Tanjung Emas adalah sebuah pelabuhan di Semarang, Jawa Tengah. Pelabuhan Tanjung Emas (terkadang ada yang menulis Tanjung Mas), dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) sejak tahun 1985. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya pelabuhan di Kota Semarang. Pelabuhan Tanjung Emas ke arah Tugu Muda Semarang berjarak sekitar 5 km atau kira-kira 30 menit dengan kendaraan sepeda motor atau mobil.

Observasi yang dilakukan pada hari Sabtu, 25 Oktober 2014 di Tambak Mulyo, Tanjung Emas, Semarang. Observasi yang dilakukan sekitar 2 jam mendapatkan informasi yang dapat saya tulis di dalam laporan ini. Di kampung nelayan ini penduduknya mayoritas 90% nelayan. Dan yang lainnya buruh pabrik di daerah kawasan Semarang. Nelayan di desa ini kebanyakan nelayan udang dan kerang hijau. Ikan laut jarang dijumpai di daerah laut tersebut. Biasanya para nelayan memberikan hasilnya kepada bos-bos yang ada di desa tersebut. Hampir setiap RW mempunyai bos-bos penampung udang maupun kerang hijau.

Permukiman yang letaknya tepat berada di bibir pantai ini adalah kampung yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Kampung–kampung di pesisir seperti kampung nelayan sangat potensial menjadi daerah yang kumuh dengan masyarakat yang mayoritas adalah masyarakat kurang mampu. Permukiman nelayan adalah perkampungan yang mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk yang tinggal di kampung nelayan memiliki karakteristik berupa masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif terbatas. Kondisi sosial masyarakat kampung nelayan yang seperti ini membuat mereka sulit untuk mendapatkan kebutuhan bermukim yang memadai. Bahkan masyarakat kampung nelayan cenderung menjadi subyek yang menanggung permasalahan yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu rendahnya pengetahuan dan lemahnya ekonomi sehingga aktivitas mereka juga sering menyebabkan tekanan terhadap lingkungan kampung nelayan yang berlanjut pada kerusakan pada ekosistem yang ada disana.

Menurut salah satu narasumber yang saya temui yaitu Bapak Triyanto (46 tahun) dan Ibu Yumroah masyarakatnya hampir 90%  nelayan. Kebanyakan nelayan udang setelah itu rajungan. Udang itu musiman kalau akhir januari udangnya banyak. Banyak nelayan yang mempunyai pekerjaan sampingan yaitu ternak kerang hijau. Pendidikan di kampung nelayan tersebut maksimal SMA 50%. Karena kebanyakan yang lulusan SMA atau SMK langsung bekerja dan orang tuanya tidak mampu untuk membiayai anaknya kuliah. SD dan SMP juga jauh tidak ada di desa tersebut sehingga membuat anak malas untuk bersekolah. Pekerjaan menjadi seorang nelayan sekarang tidak turun temurun, karena remaja sekarang tidak ingin menjadi nelayan seperti bapaknya. Kebanyakan lulusan SMA atau SMK bekerja di pabrik. Penghasilan sebagai seorang nelayan tidak bisa ditentukan. Biasanya kalau bulan Januari udangnya banyak penghasilan rata-rata per hari Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Jika tidak ada udang penghasilannya perhari tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan para nelayan mencari kerang hijau dengan penghasilan per hari Rp 100.000. Perkumpulan di desa tersebut yaitu ibu-ibu arisan, posyandu dan setiap malam jum’at atau jum’at sudah menjadi perkumpulan rutin. Interaksinya kurang di dalam kampung nelayan tersebut antar RT. Kadang-kadang susah untuk kumpul membetulkan jalan yang ada di depan rumah-rumah. Sehingga dalam hal kerja bakti kurang kompak. Penduduk sekitar mayoritas agamanya Islam. Masjid yang ada di kampung nelayan tersebut kurang bahkan jika sholat jum’at maupun sholat ID masjidnya jauh. Para nelayan biasanya bekerja pukul 06.00 WIB sampai 14.00 WIB dan ada yang sehabis magrib sampai pagi. Kalau musim penghujan para nelayan tetap berangkat paling 2 jam karena gelombangnya besar. Hasil-hasil penangkapannya di jual di tengkulak biasa tidak ke bos besar. Dijual ke bakul seret siapa yang berani harganya besar maka disitulah akan dijual hasil penangkapannya. Jika dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) udang harga lelangannya kurang. Kepemilikan kapal semuanya milik sendiri. Mereka tidak lagi menggunakan kapal bos-bos untuk mencari ikan. Mereka sudah mempunyai kapal sendiri-sendiri walaupun ada yang meminjam uang di bank untuk membeli kapal. Kapal milik sendiri saat mencari udang atau kerang hijau maksimal 2 orang. Sedangkan pada saat mencari ikan teri biasanya kapal di isi 8 sampai 10 orang dan menggunakan kapal yang besar dan masih jarang yang memiliki kapal tersebut. Dalam mencari ikan teri, para nelayan bekerja sama dan sudah mempunyai tugas masing-masing apa yang harus dilakukan setiap orangnya. Di kampung nelayan tersebut juga terdapat kambing-kambing liar bahkan ada yang masuk ke rumah-rumah penduduk sekitar. Kambing-kambing tersebut milik 1 orang dan beranak sehingga kambingnya banyak. 90% penduduk Tambak Mulyo penduduknya asli Demak. Dan yang lainnya berasal dari Semarang, Kedung, Jepara, dan Surabaya.

Menurut narasumber yaitu Bu Nur dan Mba Barokah yang saya temui, 90% penduduknya pekerjaannya nelayan. Ibu-ibu rumah tangga di sekitar membantu suaminya yaitu menjadi buruh kupas kerang hijau. Kerang-kerang tersebut diambil di bos yang menampung hasil tangkapan para nelayan. 1 kgnya kerang hijau Rp 2500 diterima oleh buruh kupas kerang. Penghasilan sebagai buruh kupas kerang dapat membantu suaminya walaupun tidak seberapa. Selain bekerja menjadi buruh kupas kerang, ada yang menjadi penjahit, momong cucu. Arisan yang diadakan ibu-ibu biasanya diadakan sebulan sekali pada minggu kedua. Di kampung nelayan tersebut sangat jarang ada kerja bakti. Remaja rata-rata bekerja di pabrik jarang yang nelayan seperti bapaknya. Pendidikan di kampung nelayan ini rata-rata lulusan SMP dan SMA. Sekarang nelayan yang mencari udang jarang mencari udang mereka lebih memilih untuk mencari kerang hijau. Karena mencari udang bensinnya tidak cukup 1 liter saja, sedangkan mencari kerang hijau 2 hari bisa 1 liter. Mencari kerang biasanya jam 7 sampai jam 8 tidak seperti mencari udang harus berjam-jam. Rata-rata penduduknya rukun tidak ada yang bermusuhan.

Menurut Pak Harno (45 tahun), Pak Harno sudah menjadi nelayan 20 tahun. Pak Harnoo tinggal di Tambak Mulyo RT 07 RW 15 dan merupakan penduduk asli Semarang. Penduduk di kampung nelayan rata-rata pekerjaannya nelayan. Penduduknya kebanyakan berasal dari Demak. Para nelayan mulai mencari ikan sehabis subuh sampai habis dhhur, dan berangkat lagi habis maghrib sampai pagi. Kegiatan nelayan ya mencari ikan, lalu hasilnya diserahkan kepada penampung hasil penangkapan. Ikan yang ditangkap oleh Pak Harno ikan apa saja ada ikan teri, ikan tongkol, ikan kakap, dan lain-lain. Kerang hijau yang dijual kepada para tengkulak 1 kg Rp 10.000. Pak Harno lebih sering mencari kerang hijau karena hasilnya lebih banyak dibandingkan mencari ikan. Jika musim udang ya Pa Harno lebih sering mencari udang karena udang musiman dan akan mendapatkan hasil yang banyak juga. Penghasilan Pak Harno jika mencari kerang hijau setiap harinya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Menutut Bapak H.Purnam salah satu narasumber saya, penduduk di Tambak Mulyo 90% pekerjaannya nelayan. Pak H. Purnam merupakan tengkulak atau penampung kerang hijau dan rajungan dari para nelayan. Dulunya Pak Purnam menjadi nelayan dan sudah 20 tahun sudah tidak menjadi nelayan tetapi menjadi penampung kerang hijau dan rajungan. Usia Pak Purnam kini 75 tahun dan dapat disimpulkan menjadi nelayan hingga puluhan tahun lamanya. Kerang-kerang yang ditampung 1 kg Rp 10.000 dan setiap harinya mendapatkan puluhan kg dari para nelayannya. Kerang-kerang tersebut dibawa ke pabrik-pabrik kawasan Terboyo untuk dikirim kembali dan ada yang untuk dikonsumsi. Kerang-kerang tersebut tidak dijual di pasar karena harganya tidak semahal harga pabrik-pabrik di Terboyo. Pak Purnam menjadi penampung kerang di bantu oleh istrinya. Para nelayanpunbanyak yang berdatangan kesitu karena sudah terbiasa menjual hasil tangkapannya kepada Pak Purnam. Pak Purnam tidak memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi penampung kerang. Menurutnya, nelayan yang satu dengan nelayan yang lainnya saling akrab tidak ada perselisihan karena hasil tangkapannya lebih banyak atau lebih sedikit.

Kesimpulan

90% penduduknya pekerjaannya nelayan dan ibu-ibu rumah tangga di sekitar membantu suaminya yaitu menjadi buruh kupas kerang hijau. 90% penduduk Tambak Mulyo penduduknya asli Demak. Dan yang lainnya berasal dari Semarang, Kedung, Jepara, dan Surabaya.

Interaksi yang terjadi di masyarakat kampung nelayan Tambak Mulyo, muncul dalam bentuk kerjasama untuk membeli alat perlengkapan mencari udang ataupun ikan teri. Dalam hal ini mereka mengumpulkan uang atau iuran untuk membeli alat melaut. Dalam menangkap ikan teri mereka sekitar 8 sampai 10 orang bersama sama menangkap ikan dan ada tugasnya masing-masing.

Masyarakat disinipun masih sangat menjunjung tinggi solidaritas, terbukti apabila ada yang sakit, maka tetangganya semuanya akan menjenguknya tanpa dikomando. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa  di dalam masyarakat Tambak Mulyo ini tidak jauh dari pertikaian. Pertikaian akan muncul ketika menyangkut dengan adat. Selama ini kebijakan yang diputuskan oleh kepala desa masih bisa diterima oleh warga, seperti kerja bakti untuk membersihkan tempat yang digunakan untuk pengolahan, dalam waktu 1 minggu sekali yaitu pada malam jum’at atau hari jum’at. Penduduk yang tinggal di kampung nelayan memiliki karakteristik berupa masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif terbatas.

Penduduk sekitar mayoritas agamanya Islam. Masjid yang ada di kampung nelayan tersebut kurang bahkan jika sholat jum’at maupun sholat ID masjidnya jauh.

Dalam masyarakat nelayan ini juga tidak lepas dari suatu persaingan, namun persaingannya lebih ke bidang ekonomi atau perdagangan. Penyebab dari munculnya hal ini karena semua nelayan ingin mendapatkan pembeli dan ikan atau udang yang banyak, tetapi ada beberapa kendala yang mereka hadapi seperti, alat yang digunakan nelayan, yang mempunyai modal yang besar lebih mudah mendapatkan ikan atau udang dengan alat yang modern, namun mereka yang mempunnyai modal yang kecil ada suatu kendala dalam alat yang digunakan untuk menacari ikannya. Namun persaingan ini tidak terlalu kelihatan dan tidak sampai merusak kerukunan antar nelayan atau antar kelompok nelayan yang ada di rembang. Persaingan yang dilakukan masih dalam batas kewajaran, tidak sampai menimbulkan konflik atau perpecahan yang merugikan orang lain.

Dalam pembelian mesin kapal mereka juga bekerjasama dengan daerah lain, karena para nelayan tidak hanya membutuhkan satu mesin tapi beberapa, dan mereka tidak langsung membayar dalam pembelian itu, namun dengan mengangsur atau membayar dengan kredit. Bahkan ada juga nelayan yang meminjam uang ke bank untuk membeli kapal dan mesin yang diperlukan. Karena sekarang kepemilikkan kapal sudah tidak lagi dimiliki oleh bos-bos saja, tetapi hampir setiap nelayan mempunyai kapal sendiri.

Para nelayan biasanya bekerja pukul 06.00 WIB sampai 14.00 WIB dan ada yang sehabis magrib sampai pagi. Kalau musim penghujan para nelayan tetap berangkat paling 2 jam karena gelombangnya besar.

Pendidikan di kampung nelayan tersebut maksimal SMA 50%. Karena kebanyakan yang lulusan SMA atau SMK langsung bekerja dan orang tuanya tidak mampu untuk membiayai anaknya kuliah. SD dan SMP juga jauh tidak ada di desa tersebut sehingga membuat anak malas untuk bersekolah. Pekerjaan menjadi seorang nelayan sekarang tidak turun temurun, karena remaja sekarang tidak ingin menjadi nelayan seperti bapaknya. Kebanyakan lulusan SMA atau SMK bekerja di pabrik.

Sekarang nelayan yang mencari udang jarang mencari udang mereka lebih memilih untuk mencari kerang hijau. Karena mencari udang bensinnya tidak cukup 1 liter saja, sedangkan mencari kerang hijau 2 hari bisa 1 liter. Mencari kerang biasanya jam 7 sampai jam 8 tidak seperti mencari udang harus berjam-jam.

Di dalam kampung nelayan Tambak Mulyo juga terdapat konveksi. Pekerjanya adalah istri dari para nelayan yang sebelumnya telah diajarkan untuk menjahit. Limbah-limbah kain dari konveksi tersebut menggunung di depan rumah atau di samping rumah hal ini menyebabkan lingkungan menjadi kotor karena limbah-limbah konveksi tersebut.

Limbah-limbah kerang hijau ada di luar rumah-rumah dan menjadikan pemandangan tidak enak untuk dilihat. Bentuk model rumah-rumah di kampung nelayan yang saya amati, bentuk rumahnya kecil-kecil atapnya tidak tinggi, dan rumahnya rata dengan jalan.

9 thoughts on “Laporan Observasi Masyarakat Nelayan di Tanjung Emas Semarang”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: