Jelajah Nusantara: Edisi Bromo

Sebuah catatan perjalanan selama beberapa hari berkunjung di tengah Masyarakat Bromo

Selasa, 1 April 2014

Sekitar pukul 02.00 WIB, kami tiba di Kabupaten Probolinggo tepatnya di terminal Sukapura. Rasa kantuk dan capek karena perjalanan yang cukup jauh masih menghinggapi, tetapi rasa itu seketika hilang saat terbayang indahnya panorama yang akan menyambut kami. Kami segera turun dari bis, hawa dingin pun menyergap, tangan dan kaki pun terasa kaku, saya pun langsung mengenakan dua jaket, sarung tangan, dan kaos kaki untuk mengurangi rasa dingin. Lalu kami menyiapkan tas kami yang akan dibawa menuju homestay dimana kami akan tinggal. Saya menjadi koordinator homestay enam, saya mengkoordinasi teman-teman yang berada dalam satu homestay yang sama untuk segera mengumpulkan tas agar dapat segera di bawa menuju homestay. Setelah itu kami berbaris untuk mendapatkan arahan pembagian jeep.

Dalam satu jeep diisi sebanyak 5-6 orang, saya bersama betha, apri, sofi, ana, dan putri segera naik jeep. Kami melakukan perjalanan menuju Pananjakan terlebih dahulu karena jeep sudah terpenuhi jumlah penumpangnya. Jeep mulai melaju jalanan masih gelap gulita hanya lampu jeep yang menjadi sumber cahaya di tengah curamnya tikungan jalan. Saya merasakan sensasi seperti naik roller coaster, menegangkan sekaligus ada rasa gembira akan segera menuju ke puncak. Pak sopir yang memang sudah hafal medan baginya ini merupakan hal yang biasa, tentu saja karena dia sudah profesional dalam mengemudikan jeep selama beberapa tahun. Kondisi jalan yang berkelok-kelok, naik turun malah membuat saya lama kelamaan menjadi mengantuk, tapi saya tahan agar tidak sampai terlelap. Perjalanan menuju pintu masuk Pananjakan ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Turun dari jeep hawa semakin dingin, karena kami berada di tempat yang lebih tinggi. Di dekat jalan yang mengarah ke Pananjakan banyak orang yang menjual peralatan untuk menghangatkan badan, seperti : sarung tangan, kupluk, slayer, syal dan disana juga tersedia penyewaan jaket tebal. Saya merasa sangat kedinginan, tanpa banyak waktu saya menyewa jaket yang ditawarkan oleh seorang penjual. Jaket yang disewakan bertarif 10 ribu rupiah, cukup terjangkau memang.

Sekitar pukul setengah 4, dan semua jeep tiba, kami mulai menaiki tangga yang akan menuju ke Pananjakan. Gelap sekali, sehingga senter sangat dibutuhkan agar tidak terjungkal saat menaiki tangga. Kehati-hatian dan kefokusan juga diperlukan saat menaiki tangga. Tak membutuhkan waktu yang lama, saya tiba di Pananjakan. Sambil menunggu matahari muncul saya berjalan-jalan untuk sekedar menghangatkan badan. Beberapa menit telah berlalu, muncullah sedikit semburat oren dari ufuk timur, semakin lama semakin terlihat cahaya matahari. Banyak turis asing dan domestik tidak mau ketinggalan dalam mengabadikan momen terbitnya sang mentari termasuk saya dan teman-teman. Matahari semakin meninggi saatnya kami kembali ke tempat jeep di parkirkan, kemudian melanjutkan perjalanan ke lautan pasir. Saat perjalanan, kami mengamati ternyata ada beberapa gunung selain gunung bromo, yaitu gunung widodaren dan gunung batok. Konon ketika ada gerimis, di balik gunung widodaren ada beberapa bidadari yang sedang mandi. Maka dari itu gunung tersebut dinamakan gunung widodaren yang memiliki arti bidadari. Letak gunung widodaren dekat dengan gunung batok, bentuk gunung widodaren terlihat seperti berlipat-lipat sedangkan gunung batok ukurannya lebih kecil daripada gunung widodaren.

Sepanjang perjalanan menuju lautan pasir, pemandangan luar biasa berada di depan mata. Nuansa hijau yang dipadukan dengan hamparan pasir nampak indah, mengagumkan. Beberapa menit kemudian sampailah kami di lautan pasir. Di sana terdapat pura poten yang biasa dipakai untuk melaksanakan upacara-upacara tertentu, tak jauh dari pura kita akan menjumpai kawah bromo tempat dimana sesajen-sesajen itu diletakkan saat upacara kasada.

Kami melakukan perjalanan ke kawah bromo, awalnya perjalanan terasa ringan. Lama kelamaan nafas seperti mau habis, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat kami untuk menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa orang yang menawarkan untuk berkuda hingga mencapai bawah tangga kawah bromo, tapi kurang greget kalau perjalanan menuju puncak ditempuh dengan menggunakan kuda. Akhirnya kami tiba di bawah anak tangga, istirahat sebentar lalu lanjut menaiki tangga. Beberapa tangga dilewati, berhenti istirahat sejenak, seterusnya seperti itu hingga mencapai puncak. Sampai di puncak, lutut terasa bergetar karena terlalu lelah mendaki, tetapi rasa lelah sedikit berkurang saat melihat kawah bromo yang luar biasa mengerikan tetapi membuat kagum setiap orang yang melihatnya. Setelah puas menikmati panorama dari kawah bromo, saya dan beberapa teman turun karena tidak kuat menghirup bau belerang, juga mengejar waktu agar segera sampai menuju homestay. Disela perjalanan menuruni kawah bromo, saya melihat seorang wanita paruh baya menjual bunga abadi yang katanya bunga tersebut memang awet bila disimpan selama bertahun-tahun asal tidak terkena air. Karena penasaran saya membeli satu bunga abadi untuk membuktikan berapa lama bunga akan bertahan dan tidak layu.

Pukul 09.30 WIB, kami melaju menuju homestay untuk beristirahat dan sarapan. Sekitar pukul sepuluh kami tiba di balai desa untuk menikmati sarapan, setelah itu berjalan menuju homestay yang jaraknya sekitar 500 meter dari balai desa. Bersyukur saya dan teman-teman mendapatkan homestay yang bagus, nyaman, dan bersih. Homestay enam dihuni delapan orang termasuk saya, kami bergantian untuk bersih diri.

Pukul 10.30 WIB, kami sudah kembali ke balai desa untuk mengikuti diskusi bersama tokoh-tokoh desa ngadas. Acara baru dimulai pada pukul 11.30 WIB, karena peserta diskusi baru hadir pada pukul 11 lebih sehingga acara berjalan terlambat. Saat diskusi kami diberi banyak informasi dari kepala desa dan tokoh agama mengenai masyarakat suku tengger sendiri, kami juga diberi pengetahuan tentang bagaimana mewawancarai suku tengger dan apa saja kendalanya. Pak kades mengatakan bahwa mayoritas masyarakat desa ngadas hanya menempuh pendidikan maksimal SMA, sehingga memungkinkan bila diajak bicara agak sulit atau kurang paham dengan apa yang sedang dibicarakan. Tokoh agama desa ngadas atau biasa disebut dukun pandita juga memberikan informasi mengenai sistem religi pada masyarakat setempat. Pukul 13.00 WIB, acara diskusi selesai lalu kami menikmati makan siang dan acara selanjutnya adalah observasi. Saat observasi kami dari 11 orang di bagi menjadi empat kelompok. Saya bersama Aya, Ayu, Ida menuju ke bagian atas desa ngadas, kami bertemu dengan informan pertama yang berusia sekitar 60 tahun bernama pak Abit. Pada waktu itu kami menemui beliau di ladang. Beliau sedang memanen daun bawang. Kami bertanya tentang berbagai upacara yang ada di suku tengger termasuk upacara tentang peralihan usia masyarakat suku tengger, tetapi beliau menjawab tidak ada upacara peralihan usia pada masyarakat tengger. Kami juga bertanya tentang apakah ada pantangan-pantangan yang dipercayai oleh suku tengger, katanya tidak ada. Setelah kami tanya kembali bagaimana keadaan masyarakat suku tengger tentang perbedaan agama penduduk satu dengan yang lain, beliau berkata masyarakat setempat tidak membedakan agama satu dengan yang lain. Mereka selalu beranggapan bahwa mereka semua saudara yang harus saling membantu dan bergotong royong. Kami rasa wawancara dengan pak Abit sudah cukup, lalu kami berpamitan dan mencari informan lain yang bisa menjawab pertanyaan yang belum bisa terjawab. Kami berjalan kembali, menemukan sebuah warung lalu membeli minuman sekedar untuk melepas dahaga. Di dekat warung tempat kami membeli minum, kami melihat ada seorang bapak yang sedang duduk santai lalu kami berinisitif untuk mewawancarai beliau. Bapak itu bernama Edi usia 40 tahun, beliau mempunyai warung bakso yang berdekatan dengan warung tadi. Kami menanyakan berbagai hal mengenai sistem religi. Dari pak edi kami lebih banyak mendapatkan informasi. Kami jadi tahu bahwa masyarakat suku tengger tidak mengenal kasta, mereka hidup berdampingan. Lalu suku tengger juga tidak mengkeramatkan sapi, padahal di daerah lain yang beragama hindu sapi dianggap sebagai hewan suci yang tidak boleh disembelih juga dimakan. Suku tengger juga tidak melakukan upacara ngaben seperti halnya di Bali. Namun mereka juga melakukan pembakaran, tetapi yang dibakar bukan jasadnya melainkan replika dari jasad tersebut yang dibuat dari daun-daunan biasa disebut dengan petra. Banyak informasi yang kami dapat dari pak edi, setelah merasa puas dengan informasi yang telah kami dapat akhirnya kami berpamitan.

Pukul 15.00 WIB, saya dan teman-teman berkumpul di balai desa guna membahas pembagian tempat observasi. Saya dan beberapa teman mendapat bagian untuk observasi di bagian atas desa ngadas. Cukup sulit mencari informan pada waktu itu, karena banyak informan yang masih berada di ladang, dan sedikit sekali orang yang berada di luar rumah. Sebenarnya jika kita ingin bertamu ke rumah suku tengger, kita bisa mendatangi ke belakang rumah atau di dapur, karena disitulah mereka berada untuk menghangatkan badan diperapian. Setelah lama berkeliling, kami bertemu dengan seorang kakek yang sedang memanen daun bawang tak jauh dari rumahnya. Kakek itu bernama abit. Saat kami mewawancarai, kakek abit terlihat canggung. Namun kami mendapatkan cukup informasi dari kakek abit, walaupun kami rasa informasi yang kami dapatkan masih belum cukup. Akhirnya kami berpamitan dengan kakek abit dan mencari informan lain. Kami menuju keatas lagi desa ngadas, kami melakukan wawancara kembali dengan seorang pria berumur 40 tahun. Informan ini memberikan lebih banyak informasi yang mendetail di banding dengan informan sebelumnya. Setelah merasa cukup dengan informasi yang kami dapat, kami berpamitan lalu kembali menuju balai desa.

Pukul 16.30 WIB, sesampainya di balai desa kami menunggu teman yang lain untuk berkumpul. Tetapi sudah di tunggu beberapa menit belum hadir juga. Akhirnya kami kembali ke homestay dan berjanji untuk berkumpul dan membuat bahan presentasi pada pukul 18.30 nanti.

Pukul 18.30 WIB, saya tiba di balai desa tetapi belum ada anggota kelompok satu yang sudah tiba, lalu saya pun menunggu. Tak lama kemudian, satu per satu anggota yang lain datang. Karena bertepatan dengan jam makan malam, kami memutuskan untuk makan malam lebih dulu. Pukul 19.30 WIB, selesai makan malam, kami berkumpul di aula balai desa dan membahas hasil observasi. Kelompok kami mendapat giliran pertama untuk mempresentasikan hasil observasi. Saat presentasi, ada pertanyaan yang belum bisa di jawab oleh kelompok kami sehingga pertanyaan yang belum terjawab harus di simpan dan akan dijawab ketika seminar. Acara diskusi dan presentasi berjalan teramat lama, rasa kantuk mulai datang. Banyak peserta yang sudah tertidur lelap ditengah jalannya diskusi. Hal ini sangat wajar, karena dari pagi buta hingga malam hari kami tidak ada waktu istirahat yang panjang sehingga saat jarang ada yag bisa tidur pada saat jam-jam istirahat. Acara diskusi selesai pada pukul 23.45 WIB, dengan langkah terhuyung kami kembali ke homestay untuk beristirahat dan melanjutkan observasi kedua di pagi hari.

Pukul 06.10 WIB, kami semua bangun kesiangan. Saya bergegas ke kamar mandi untuk segera melaksanakan shalat subuh. Setelah itu kami mengantri untuk bersih diri dan merapikan barang-barang bawaan kami, karena hari itu juga kami akan meninggalkan homestay. Pukul 07.00 WIB, kami sudah siap untuk pergi ke balai desa. Saya sebagai koordinator homestay, mengkondisikan teman-teman agar menata barang bawaan di depan rumah, supaya petugas dapat dengan mudah mengangkut barang menuju balai desa. Sambil menunggu petugas, kami berpamitan dengan pemilik homestay. Pukul 07.30 WIB, mobil pengangkut barang datang lalu kami menuju ke balai desa untuk menikmati sarapan.

Pukul 08.30 WIB, kelompok satu berkumpul kembali untuk melakukan obsevasi tahap 2. Namun setelah kami berjalan cukup lama, ternyata informan cukup sulit untuk ditemukan karena waktu pagi banyak orang sedang berada di ladang. Oleh karena itu, kami berjalan-jalan untuk melihat lingkungan sekitar. Pukul 09.30 WIB, kami kembali ke balai desa untuk berpamitan dengan tokoh-tokoh desa dan berterimakasih karena sudah menyambut dan menerima kami dengan amat baik untuk melakukan obsevasi dengan suku tengger. Pukul 11.00 WIB, kami meninggalkan desa ngadas lalu kembali ke terminal sukapura menggunakan elf. Elf bisa diisi sebanyak 15 orang. Kami menempuh perjalanan hampir satu jam lamanya. Tiba di terminal, kami memasukan barang bawaan ke dalam bis kembali dan kami akan melanjutkan perjalanan menuju kota Malang. Perjalanan menuju Bromo yang sangat melelahkan tetapi membawa kesan yang sangat berarti.

Tulisan ini dipublikasikan di Antropologi. Tandai permalink.

14 Balasan pada Jelajah Nusantara: Edisi Bromo

  1. Bolehkah saya meminta keyword dari data atau laporan yang sudah anda post kan ini? Terimakasih

  2. PUTRI AYU berkata:

    lanjutkan kaka… thanks pengalamannya 😉

  3. bona kalo bisa lengkapi foto-foto ya….

  4. good job & elegan 🙂

  5. Sofiyatin berkata:

    semangat menulis kakak 😀

  6. ditunggu postingan artikel berikutnya 🙂

  7. Rima A Riani berkata:

    mungkin kapan-kapan kita bisa ke bromo bareng-bareng lagi mb pina 😀 haha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: