Suku Tengger merupakan salah satu suku di Indonesia dengan agama yang dianut yaitu Hindhu Dharma, Daerah Suku Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan daerahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 meter, dengan panjang 5-10 kilo meter. Kawah Gunung Bromo dengan ketinggian 2392 meter dan masik aktif. De sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru.
Wilayah adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu sabrang kulon dan sabrang wetan, adapun desa yang merupakan Komunitas Suku Tengger adalah Desa Ngadas, Wanarata, Jetak, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokirti, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo (Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan), Desa Keduwung (Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadirejo,Ledok Pring (Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadas (Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang), dan Desa Runupati (Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang).
Penduduk di sekitar Taman Nasional Gunung Bromo rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, adapula pedagang dan pengrajin serta ada pula yang membuka usaha sewa homestay serta jeep hard top sebagai sarana transportasi menuju Bromo, selain itu masyarakat Suku Tengger juga memelihara hewan ternak. Penduduk Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit- bukit mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi saat ini sudah berubah. Pada musim penghujan biasanya masyarakat menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan wortel sebagai tanaman perdagangan, dan pada akhir musim penghujan mereka menanam jagung sebagai cadangan makanan pokok. Makanan khas Suku Tengger disebut Nasi Aron ( nasi yang terbuat dari jagung Tengger dengan masa tanam 8 bulan), cara mengolahnya adalah jagung dihilangkan kulitnya kemudian direndam selama satu minggu kemudian baru dihaluskan dan dimasak pada alat masak tradisional, sebagai pelengkap nasi Aron ditambahkan pula sambal Krangean.
Kepemimpinan pada masyarakat Tengger tidak mengenal istilah dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun adat, Suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (petinggi). Sedangkan dukun diposisikan sebagai pemimpin ritual dalam upacara adat atau keagamaan. Proses pemilihan petinggi dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat melalui proses pemilihan petinngi, sedangkan untuk pemilihan dukun dilakukan melalui beberapa tahapan menyangkut diri pribadi calon dukun yang kemudian akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian Pengucapan mantra yang tidak boleh terputus atau lupa yang dilaksanakan pada upacara Kasada bertempat di Pura Poten Gunung Bromo.
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa, jumlah usia kalender Suku Tengger adalah 30 hari (masing-masing bulan dibulatkan) tetapi ada perbedaan penyebutan usia hari yaitu antara 1 sampai 15 disebut tanggal hari, dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari (penyebutannya adalah Panglong Siji, Panglong Loro, Panglong Telu dan seterusnya). Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan yaitu tumbuknya dua tanggal. Pada perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasih Kedhasa (bulan ke Sepuluh), yaitu sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam Tahun Masehi. Sedangkan Wuku dan hari pasaran tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus di satukan dan akan terjadi pengangguran jumlah hari pada tiap tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakan diadakan perhitungan kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan dan diadakan untuk mengadakan upacara unan-unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya, yaitu bulan Dhesta atau bulan kesebelas. Mecak merupakan istilah perhitungan kalender Tengger yang digunakan untuk menghitung atau mencari tanggal yang tepat untuk melaksanakan upacara- upacara besar seperti Upacara Karo, Kasada maupun Upacara Unan-unan. Setiap dukun Sepuh harus mempunyai persiapan atau catatan tanggal hasil mecak untuk tiap-tiap Upacara yang akan dilaksanakan sampai lima tahun kedepan.
Masyarakat Tengger merupakan masyarakat yang memiliki kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun- temurun, bentuk kerukunan masyarakat Tengger berupan Sinoman atau gotong royong. Dukun berperan penting dalam melaksanakan Upacara Adat, seperti Upacara Perkawinan, Upacara Kematian, atau kegiatan-kegiatan laninnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan. Setiap masalah yang dialami masyarakat Tengger diselesaikan dengan sistem musyawarah, pelanggaran yang dilakukan oleh warga cukup diselesaikan oleh petinggi (kepala Desa). Apabila cara yang dianjurkan oleh petingggi tidak juga menolong maka si pelaku pelanggaran akan di Satru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga masyarakat Tengger akan didatangi oleh kepala desa dan Dukun untuk memberikan doa restu.
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal yang namanya Marga (nama keluarga) karena di dalam Suku Tengger tidak mengenal Kasta, namun biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan dipanggil dengan nama anak pertamanya. Dalam Suku Tengger sekarang ini juga sudah terdapat sekolah formal seperti TK, SD, SMP, SMA / SMK, anak-anak di Suku Tengger disekolahkan dengan tujuan agar mereka mampu mengikuti perkembangan zaman dan menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, para orang tua Tengger tidak membatasi anaknya bersekolah dengan catatan mereka mampu membiayai biaya sekolah anak-anaknya, di Desa Wonokerto sendiri terdapat Sekolah Dasar yang menjadi sekolah formal bagi anak-anak Desa Ngadas dan Desa Wonokerto, karena sedikitnya jumlah penduduk di kedua desa ini maka hanya terdapat sekolah dasar. Di Sekolah Dasar siswa- siswanya diajarkan juga Mata Pelajaran Agama, berkaitan dengan adanya dua agama yang dianut oleh siswa siswi di SD Wonokerto ini maka khusus pada jam mata pelajaran agama dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas untuk Agama Islam dan Kelas Untuk Agama Hindu. Kemudian untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas anak-anak di Desa Ngadas dan Wonokerto harus pergi ke daerah Kecamatan yang terdapat SMP atau SMA, anak-anak tersebut pergi menuju ke SMP atau SMA menggunakan “Taksi” atau minibus sebagai sarana transportasi.
Anak-anak di Desa Ngadas merupakan anak-anak yang patuh terhadap orang tua dengan dibuktikannya mereka ikut serta membantu orang tua mereka di ladang dan berdagang tanpa meninggalkan atau mengabaikan aktivitas pendidikan mereka, menurut anak-anak di Desa Ngadas pendidikan itu penting karena dibutuhkan sebagai sarana mendapatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta sebagai sarana tercapainya suatu cita-cita yang diharapkan oleh setiap orang.