Analisis Kasus Berita : Ketika Masyarakat Sudah Main Hakim Sendiri, Negeri Ini di Ujung Kehancuran?

Salam Ceria…

Generasi Muda Berprestasi…

Dalam postingan kali ini, Saya akan mempublikasikan tugas Semester 1 dalam mata kuliah “Pengantar Ilmu Pendidikan.” Tugas tersebut membahas tentang banyaknya kasus main hakim sendiri dikalangan masyarakat. Apakah Kalian sudah pernah membaca mengeneai berita tersebut? Kalau belum sebagai penambah wawasan saja, Silahkan lebih lanjut di baca tulisan dibawah ini.

Isi Berita

Akhir-akhir ini negeri kita yang tercinta Indonesia, banyak sekali terjadi peristiwa yang membuat kita miris dan sedih untuk melihatnya, sebabnya adalah semakin banyaknya kasus main hakim sendiri dikalangan masyarakat, apa yang menyebabkan semua itu terjadi.

Beberapa minggu terakhir kita dikejutkan oleh berita yang mengganggu situasi politik, hukum, dan keamanan yaitu kasus penyerangan Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta, kasus main hakim sendiri terhadap Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Sihaan, penyerangan 4 tahanan Lapas Cebongan, penembakan Kepala RS Bayangkara Polri Makassar Kombes Purwadi, serta aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan, dampak dari  pemilukada dan masih banyak kasus-kasus yang lainnya yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Mengapa begitu mudahnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri, Alasan mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat ini timbul karena berbagai faktor:
1. Faktor pertama adalah persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar menimbulkan gesekan sosial.

  1. Faktor kedua adalah  ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Saat ini sedang terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pengembalian kepercayaan tersebut.
  2. Faktor ketiga, komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.

Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum oleh aparat. Banyaknya kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan lemahnya penyelesaian masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga semakin menurunkan kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan nasional. Pemerintah dan masyarakat diminta tak membiarkan pola main hakim sendiri terus berlanjut, Karena jika terus akan dibiarkan maka akan berlaku hukum rimba, dimana yang kuat memangsa yang lemah.

Sikap main hakim sendiri berkorelasi dengan rendahnya mutu penegakan hukum. Masyarakat stres dan frustrasi: melihat kasus pencurian menjadi biasa, tindak kekerasan meningkat, dan belakangan kekerasan dan kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak di bawah umur sudah dalam kondisi darurat. Bagaimana masyarakat tidak resah, marah, dan frustrasi, karena pemerintah dan aparat penegak hukum seolah-olah tidak mampu menyentuh kejahatan-kejahatan seperti itu.

Hukum cenderung berpihak kepada penguasa, elite, dan kelompok tertentu, terhegemoni oleh lingkaran mafia. Dunia hukum kita mencatat sejarah kelam dalam kasus nenek Minah, pencuri tiga biji kakao di Banyumas; empat keluarga pencuri kapuk randu di Batang; remaja AAL pencuri sandal di Palu; atau Basar Suyanto dan Kholil yang mencuri semangka di Kediri. Di sisi lain, ketika hukum diharapkan membawa efek jera, 60-an persen vonis ringan justru menjadikan korupsi sebagai gaya hidup. Hukum menampakan wajah kapitalis. Kartel impor bahan pangan yang menyengsarakan masyarakat seperti tak terjangkau. Warga tak berkutik menghadapi penggusuran tanah untuk lahan industri. Perselisihan buruh berakhir dengan kekerasan. Di sisi lain, penguasa, pejabat, dan elite serta anak-cucunya seakan-akan kebal hukum. Satu dekade reformasi tak mengubah keadaan, bahkan makin parah. Hukum hanya menjadi alat kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal.

Apakah memang masyarakat terlalu toleran terhadap tindakan diskriminatif penegak hukum, sehingga terjadi semacam pembiaran? Kita seolah-olah mahfum akan kentalnya hukum transaksional untuk mendapat keistimewaan, kebebasan, dan kekebalan. Krisis kepercayaan kepada hukum pun akhirnya tak terhindarkan. Lalu bagaimana jika masyarakat memilih mencari jalan keluar sendiri untuk mencari keadilan? Kita tentu tidak ingin tragedi-tragedi pada awal reformasi terulang kembali.

Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di masyarakat saat ini adalah cerminan dari hippermoralitas, hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk. “Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba abu-abu. Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. “Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah. Karena sama saja kita tidak jauh berbeda dengan mereka.

Selain itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak reformasi yang sudah berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu tanpa ada batasannya, padahal kebebasan itu tidak bisa sebebas-bebasnya tetapi ada batasannya. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi.

Sumber : https://m.kompasiana.com/dillah48cules/ketika-masyarakat-sudah-main-hakim-sendiri-negeri-ini-diujung-kehancuran

Komentar terhadap artikel diatas adalah sebagai berikut :

Dari uraian contoh artikel diatas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia ini masih tegolong sangat lemah, dan dari contoh kasus diatas kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan bahwa lemahnya penyeleseian masalah oleh pemerintah beserta jajarannya. Kasus seperti diatas tidak hanya sekali di Indonesia, hampir setiap tahunnya selalu ada, dari yang korupsi, kekerasan, main hakim sendiri, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran hukum yang dapat ditemukan di Indonesia. Setiap kali ada kasus tersebut tidak hanya warga yang terlibat, melainkan juga pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang paling banyak akan direpotkan. Sikap main hakim sendiri sebenarnya berkorelasi terhadap rendahnya mutu penegakkan hukum di Indonesia. Seperti contohnya : Seorang koruptor bernama Gayus Tambunan yang bahwasannya benar-benar terbukti melakukan tindak pidana kasus korupsi, dan seharusnya beliau menjalan masa tahanan di penjara dan dihukum dengan waktu yang lama beserta membayar denda, akan tetapi anehnya beliau masih enaknya bisa menikmati indanya dunia luar. Sedangkann kasus seorang nenek yang mencuri kayu ia harus menanggung hukum, mendekam di jeruji besi. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia cenderung hanya berpihak kepada para penguasa elite (orang yang mempunyai jabatan dan banyak uang) dan kelompok-kelompok tertentu saja, sedangkan bagi orang kecil (orang yang tak punya) hukum sangat menjerat sekali.

Solusi yang diberikan dari kasus artikel diatas, sebagai berikut :

Sebaiknya hukum yang berada di Indonesia semakin lebih diperhatikan, dan bagi siapapun itu yang melanggar suatu peraturan yang sudah disepakati bersama harus dikenai sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Tidak lagi memandang siapa saja yang melanggar, baik itu kelompok penguasa, pejabat, maupun rakyat yang biasa-biasa saja. Perlu adanya kesadaran baik itu dari masyarakat, maupun pemerintah, terutama aparat penegak hukum, dan pejabat harus lebih tanggap untuk mengantisipasi masalah-masalah tersebut. Perlu adanya kerjasama antara tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan, kepolisian, lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. Selain itu juga diperlukan adanya keseragaman langkah masyarakat, antara lain :

  1. Mempererat komunikasi antara masyarakat dan penegak hukum
  2. Penegakan hukum yang tegas dan transparan
  3. Memberikan yang tegas kepada pelanggarnya

Selain itu agar tidak lagi terjadi kasus tersebut seharusnya pemerintah dituntut serius untuk membangun dan menguatkan sistem hukum yang berfungsi sesuai dengan tugasnya. Sudah saatnya semua elemen berkomitmen untuk menyelamatkan negeri ini dari ujung kehancuran.

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosiologi & Antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: