Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas di dalam masyarakat, kelas sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar, di mana kaum borjuis yang mempunyai modal atas kepemilikkan sarana-sarana produksi sehingga dapat menimbulkan pemisahan kelas dalam masyarakat. Karl Marx menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri dari kelas pemilik modal (kaum borjuis) dan kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas tersebut tentunya berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas sekali perbedaannya. Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum proletar maka kaum borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini akan terus berjalan selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah, menerima keadaan yang sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu sudah takdirnya menjadi buruh atau kaum pekerja. Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut revolusi, hal ini bisa terjadi karena adanya kesadaran dari kaum proletar yang dieksploitasi kepada kaum borjuis, dari kesadaran tersebut menjadikan persaingan yang merebutkan kekuasaan, sehingga lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.
Teori konflik menurut Dahrendorf dalam setiap kelompok seseorang berada dalam posisi dominan berupaya mempertahankan status quo yang berarti orang tersebut mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya. Sedangkan masyarakat yang dalam posisi marginal atau kaum yang terpinggirkan berusaha mengadakan perubahan. Konflik dapat merupakan proses penyatuan dan pemeliharaan stuktur sosial. Jadi tidak selamanya konflik itu bersifat negatif ada juga segi positifnya. Konflik dapat saling menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak terpecah ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Misalnya perang yang terjadi di Timur Tengah antara Saudi Arabia dan Israel yang telah memperkuat identitas kelompok masing-masing negara.
Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap adanya tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan yang ditujukan kepada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya seperti para karyawan perusahaan yang melakukan mogok kerja supaya gaji mereka dapat dinaikkan oleh atasannya. Sedangkan konflik non realistis berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan yang paling tidak dari salah satu pihak. Contohnya pada masyarakat yang buta huruf yang dalam membalaskan dendamnya dengan pergi ke dukun santet supaya dendam-dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat maju yang melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Sumber: journal.uin-alauddin.ac.id yang di tulis oleh Muhammad Rusydi Rasyid tahun 2015
Teori konflik menurut Max Weber baginya konflik merupakan unsur dasar kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat tentunya memiliki pertentangan-pertentangan dan pertentangan tersebut tidak bisa dilenyapkan dari kehidupan masyarakat. Max Weber juga menyatakan bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber materialnya yang riil (misalnya struktur kapitalisme). Bagi Max Weber konflik sebagai suatu sistem otoritas atau sistem kekuasaan, dimana kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan kepada kekuatan. Orang yang kuat itulah yang akan berkuasa. Sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasikan artinya kekuasaan yang dibenarkan. Tindakan manusia itu di dorong oleh kepentingan-kepentingan bukan saja kepentingan materiil melainkan juga oleh kepentingan-kepentingan ideal. Oleh karena itu, antara konflik dan integrasi akan terjadi di dalam masyarakat.
Teori konflik menurut Karl Marx menekankan pada tiga isu sentral yaitu:
- Teori perjuangan kelas
- Teori materialisme dialiektika/historis dan
- Teori nilai lebih
Yang pertama, teori perjuangan kelas dimulai dari konsep revolusi, revolusi harus terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat Karl Marx membagi dua kelas yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Yang kedua, teori materialisme dialektika, yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam sejarah adalah kelas-kelas sosial, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan sosial, melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Yang ketiga, teori nilai dan nilai lebih artinya buruh mendapat upah sesuai dengan kerja buruh tersebut, intinya hanya cukup untuk memulihkan tenaganya dengan kebutuhan keluarganya. Karl Marx juga mengembangkan analisis politis dan ekonomi yang beranggapan bahwa konflik adalah bagian yang terelakkan dalam sebuah masyarakat. Semua peristiwa digerakkan oleh konflik antara kelas-kelas properti dan ketidakpunyaan alat-alat produksi.
Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori Marx ini adalah:
- Manusia tidak memiliki kodrat yang persis dan tetap
- Tindakan, sikap dan kepercayaannya individu tergantung pada hubungan sosialnya, dan
hubungan sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonomis masyarakatnya
- Manusia tidak mempunyai kodrat, lepas dari apa yang diberikan oleh posisi sosialnya
- Dalam suatu sistem pasti ada benih-benih konflik kepentingan
- Konflik adalah fakta sosial
- Koflik merupakan suatu gejala yang ada dalam setiap sistem sosial
- Konflik sangat mungkin terjadi terhadap distrbusi sumber daya yang terbatas
- Konflik merupakan suatu sumber terjadinya perubahan pada sistem sosial
Ada beberapa model konflik bagi Dahrendorf diantaranya sebagai berikut:
- Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan
- Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik-konflik sosial
- Setiap elemen dalam masyatakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan, dan
- Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain
Jadi menurut Dahrendorf konflik yang masih bersifat laten akan dapat berubah menjadi manifes apabila masing-masing dari mereka sadar akan kepentingannya. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa adanya konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain, jadi kita tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Teori konflik Dahrendorf ini merupakan sistem campuran yang memiliki beberapa sifat dari kedua pendekatan alternatif. Titik awal Darendorf adalah bahwa fungsionalisme struktural Marxisme dapat diterima dimasyarakat yang maju. Hanya saja dia menyatakan bahwa, struktur fungsionalis realitas mengabaikan konflik sosial dan bahwa Marx didefinisikan kelas terlalu sempit dan dalam konteks historis spesifik. Selain itu, ia percaya bahwa secara tradisional, Marx mengabaikan konsensus dan integrasi di struktur sosial modern.
Jadi, perbedaan teori konflik Marx dengan Ralf Dahrendorf sebagai berikut: Marx, membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar. Bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh. Dahrendorf, masyarakat terdiri atas kaum pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja.
Sumber: journal.um.ac.id yang ditulis oleh Dewa Agung Gede Agung tahun 2015
Teori konflik menurut Coser tidak selamanya konflik itu bersifat negatif bahkan konflik dapat menjadikan positif. Konflik dapat menjadikan positif dalam hal membantu mewujudkan rasa persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat. Fungsi positif konflik yaitu menyebabkan perubahan dimana solidaritas kelompok akan semakin erat untuk mengatasi masalah dengan kelompok lainnya. Dampak positif lain dari konflik yaitu perubahan politik. Kita tahu di dalam dunia politik pasti adanya persaingan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan saling mempengaruhi satu sama lain dapat menjadikan keakraban antar anggota. Ada perbedaan pendapat antara Coser dan Simmel. Jika Coser tidak terlalu menaruh perhatian kepada hubungan timbal balik yang lebih kompleks antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi lainnya pada tingkat antar individu, akan tetapi Coser lebih menyoroti pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul bagi sistem sosial yang lebih besar di mana konflik tersebut terjadi. Coser menyatakan perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu dan kumpulan atau antar individu. Menurut Coser konflik merupakan unsur interaksi yang sangat penting, tidak selalu konflik menimbulkan perpecahan atau dalam hal yang tidak baik, bagi Coser konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan , mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Contoh dari fungsi positif konflik adalah hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara in group atau kelompok dalam dan out group atau kelompok luar. Kekuatan solidaritas dan integrasi kelompok akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Coser lebih melihat pada sisi fungsinya bukan sisi disfungsinya.
Sumber : Bagus, Ida W. 2012. Teori-Teori Sosial. Jakarta: Kencana Gramedia
Teori konflik menurut Karl Marx bahwa berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Jadi, Marx beranggapan bahwa asas kepada pembentukan sesebuah masyarakat adalah disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan perdagangan. Asas kepada perubahan sebuah struktur masyarakat adalah disebabkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama, institusi politik, kekeluargaan dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat. Yang dapat berkuasa yaitu Kaum Kapitalis yang mana Kaum Kapitalis memiliki modal sendiri milik pribadi seperti uang, mesin, peralatan, pabrik dan benda-benda lain yang digunakan dalam sistem produksi. Sehingga terjadi struktur sosial antara kaum borjuis dan kaum proletar. Kaum borjuis dengan jahatnya mengeksploitasi besar-besaran kepada kaum proletar, mereka hanya di upah sangat minim tidak sesuai dengan kerja ekstra mereka. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Seiring berjalannya waktu kaum proletar mulai sadar akan pengeksploitasian kepada dirinya selama ini. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi karena kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Teori konflik menurut Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi di antara berbagai tipe tersebut. Weber menekankan dua tipe, Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang artinya pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi-organtsasi politik formal, tetapi juga terjadi dalam setiap tipe kelornpok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan. Tipe konflik kedua yang sering kali ditekan oleh weber adalah konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia mereka baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup kebudayaan yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lain misalnya pertentangan politik.
Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
- Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
- Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan. sebagai contoh hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada, hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat secara keseluruhan.
- Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok luar akan membantu memantapkan batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.
Coser memandang kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitas kelompok.
Sumber: Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi dan Konsep Teori. Jakarta: PT Refika Aditama
Konflik menurut Dahrendorf berargumen bahwa sekali kelompok-kelompok konflik muncul, mereka terlibat di dalam tindakan-tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan di dalam struktur sosial. Ketika konflik disertai dengan kekerasan, akan terjadi perubahan struktural yang mendadak. Konflik menurut Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dahrendorf membedakan tiga kelompok yang luas. Yang pertama, kelompok kuasi yang kedua kelompok kepentingan dan yang ketiga kelompok konflik. Jadi asumsi Dahrendorf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban di dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan otoritas dan konflik sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa pada lingkungan lainnya. Mereka yang berada pada kelompok atas atau penguasa ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka yang berada dalam kelompok bawah berkeinginan supaya ada perubahan. Sumber konflik menurut Dahrendorf yaitu adanya jenjang antara si kaya dan si miskin, pejabat memperlakukan pegawainya secara semena-mena, majikan yang memperlakukan seenaknya kepada buruh, kepentingan antara buruh dan majikan antar kelompok, antar partai, dan adanya dominasi ketidakadilan atau diskriminasi agama, dan juga kekuasaan.
Sumber: Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pada dasarnya, konflik kebanyakan disebabkan oleh hal yang sama, yaitu sebagai reaksi terhadap struktural fungsional yang ada pada saat itu. Antara Marx dan Weber sama-sama berbicara mengenai kapitalisme. Marx mengatakan bahwa kapitalisme muncul karena adanya kelas atas yang mengeksploitasi kelas bawah. Weber berbicara lebih jauh dari Marx bahwa kapitalisme muncul dari faktor agama, yaitu protestan. Konflik sesungguhnya merupakan karena adanya sumberdaya langka yang tidak terdistribusikan secara merata. Konflik disebabkan karena akses untuk hirarki kekuasaan keatas kecil, dengan adanya akses yang kecil ini bisa menyebabkan konflik karena setiap orang yang dibawah yang sadar akan posisinya yang tertindas akan melakukan perlawanan terhadap penguasa. Beberapa teori konflik yang telah dikembangkan oleh Dahrendorf sama-sama berangkat dari pembagian masyarakat menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sub ordinat dan super ordinat. Pembagian menjadi dua kelompok ini bersumber dari teori kelas Marx yang membagi masyarakat menjadi kelas borjuis dan kelas proletar. Dalam berbicara mengenai konflik, antara Simmel dan Coser memiliki banyak persamaan yaitu sama-sama banyak membahas mengenai interaksi. Teori konflik dari Dahrendorf maupun Coser tidak bisa lepas dari pengaruh Weber dan Simmel, karena perhatian mereka berdua terletak pada berbagai masalah yang berkaitan dengan struktur-struktur formal di masyarakat, interaksi sosial dan tingkat kesadaran masyarakat.
Marx berbeda dengan Weber. Menurut Marx, konflik terjadi karena adanya distribusi yang tidak meratanya ekonomi terutama untuk sumber-sumber material langka. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya, masyarakat terbagi dalam dua kelas. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Disini Weber manyatakan bahwa sumber konflik tidak hanya untuk perebutan ekonomi saja seperti yang diungkapkan oleh Marx. Terlihat ada perbedaan analisis konflik disini. Weber menyatakan bahwa konflik itu terjadi karena orang berebut kekuasaan untuk memperoleh prestise atau wibawa. Berbeda dengan Marx, Max Weber melihat bahwa konflik itu terjadi karena setiap ingin dipandang tinggi oleh masyarakat. Dalam hal ini berbeda dengan Marx seperti diatas tadi. Jika Marx mengarah pada masalah ekonomi. Disini Weber lebih melihat bahwa konflik terjadi karena perebutan suatu kekuasaan untuk mendapatkan prestise atau kewibawaan. Disini Weber banyak mengkritik Marx karena Marx terlalu berkutat pada masalah ekonomi saja. Weber disini melihat lebih luas lagi dari apa yang diungkapkan oleh Marx. Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa. Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Perbedaanya dengan Coser. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi-kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. Menurut Simmel, hubungan antara superordinat dan subordinat yang terganggu memungkinkan untuk konflik-konflik adalah salah satu bentuk interaksi. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Jika Marx mendasarkan teori pembentukan dan konflik kelasnya pada pemilikan alat produksi. Maka disini Dahrendorf mengutamakan bahwa faktor yang lebih penting adalah kontrol atas alat produksi, bukan pemilikannya seperti apa yang dikatakan oleh Marx. Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana-sarana berada dalam satu individu-individu yang sama. Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara statis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.