• Friday, May 06th, 2022

Alhamdulillah Masih Diingat dan Dianggap Baik Oleh Mereka

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Mas Dafa dan Mba Nisa/Mba Anis—panggilan akrab saya kepada kedua (alumni) santri Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam—yang berkunjung ke rumah saya pada saat suasana Idul Fitri 1443 Hijriah ini. Saat ke rumah ada satu perbincangan yang menarik yaitu “selalu ingat saat membuka kitab Juz ‘Amma yang Pak Agung bagikan kepada saya”, ujar Mba Anis kepada saya.

 

Lalu, saya (Mba Anis) dapat tambahan ilmu-ilmu lain—seperti tauhid, fikih, tajwid, praktik solat, dan ilmu-ilmu yang didapat saat Madrasah—hingga saat ini sulit didapatkan ditempat tinggal sekarang (luar Semarang). Sehingga, hal tersebut sangat mengena bagi Mba Anis dan Mas Dafa. Terlebih, model pembelajaran yang berkesan: “ada menulis, membaca, dan melafalkan. Tidak hanya, ngaji saja”, kata Mas Dafa sambil tersenyum.

 

Itulah pertemuan saya dengan kedua santri alumni Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam di rumah saya. Saat mereka dating, saya ditemani istri saya—Lu’lu’ Khakimah—yang juga Ustadah di Madrasah berlokasi di Sekaran tersebut. Sebelum Mba Anis pulang ke kampung halaman dan Mas Dafa akan memulai mondok, saya memberikan kenang-kenangan berupa buku “perjuangan” yang saya tulis dari kumpulan khutbah di Masjid Nurul Iman Sekaran, Gunungpati, Semarang selama 3 tahun. Adapun buku tersebut berjudul “Bicara Islam di Sekitar Kita”.

 

Semoga sukses dunia-akhirat untuk kedua dan santri alumni (lainnya) Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam. Mohon doanya kepada Bapak Ibu, agar ada kebaikan terkait kelanjutan Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam, karena menyampaikan sebuah ilmu di masyarakat, kata orang bijak itu, tidaklah mudah. Semoga kita termasuk kategori orang yang berilmu, syukur termasuk kategori yang peduli dan menyebarkan ilmu di masyarakat. Amin. [].

 

Semarang, 5 Mei 2022

Ditulis di Rumah Semarang jam 21.00-21.20 Wib, usai mudik dari Rembang-Pemalang.

• Wednesday, May 04th, 2022

Memanfaatkan Lingkungan
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Muhammad—seorang Nabi—yang sangat pandai dalam memanfaatkan lingkungan. Walaupun hidup pada waktu zaman jahilyah/kebodohan, namun ia tidak menjadi manusia yang bodoh. Justru, Nabi Muhammad memiliki sifat wajib yaitu fathonah (cerdas).

Kurikulum dalam lingkungan jahiliyah adalah tidak mengakui wanita sebagai makhluk yang memiliki kedudukan/martabat, miras/minuman keras ada di mana-mana, masyarakat yang suka berbicara “kotor” atau mengadu domba, antar golongan/suka memiliki kebiasaan berperang (tidak suka bermusyawarah), judi menjadi suatu kebiasaan, dan kurikulum yang buruk lainnya.

Nah, bagaimana dengan lingkungan kita sekarang? Bisa jadi “suasana” ke-jahiliyah-an secara hakikat, tetap ada. Misal: jika kita akan solat duhur secara berjamaah usai hari raya Idul Fitri terasa “aneh”, mengikuti kajian/majlis jarang, ucapan para tetangga yang “kotor”, perbuatan sahabat yang jauh dari tuntunan agama, dan “pemandangan” yang kurang baik dari perbuatan orang tua yang dilihat oleh anak di lingkungan kita.

Jika kita ada dalam kategori yang termasuk dalam lingkungan tersebut, maka apa yang kita lakukan? Jawabannya: keluar dari lingkungan tersebut atau mengambil manfaat (yang baik) dari lingkungan tersebut. Saya yakin, tidak 100% lingkungan tersebut itu, sangat buruk. Ambillah sisi positifnya saja, jika kita tidak mampu untuk “pindah” dari lingkungan tersebut.

Misal: di tempat yang buruk, ada Masjid atau orang yang baik (satu orang), maka dekatilah orang tersebut. “Timbalah” ilmu orang tersebut di tempat mulia (Masjid) yang biasa ia gunakan dalam kegiatan kebaikan; datangilah satu dari tempat yang baik tersebut, lalu amati apa yang dilakukan oleh tersebut.

Mungkin diantara kita—ada yang jadi orang tua—dimana, setiap orang tua belum tentu menjadi orang tua yang baik, seperti ngajari ngaji. Tetapi, ada lingkungan yang baik yaitu Masjid yang melakukan kegiatan ngaji, maka orang tua tersebut memiliki kewajiban mengantarkan anak tersebut pergi ke Masjid agar anak bisa ngaji. Pastinya, dalam kegiatan ngaji, ada kegiatan baik mengikutinya. Misal: berdoa, menulis, membaca, dan mendengarkan lafal-lafal Allah Swt.

Seperti itulah, caranya dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Jika memang sudah tidak sesuai dengan keyakinan hati lagi untuk berbuat baik, maka pilihan terakhir adalah pindah dari tempat tersebut/berhijrah. Tujuannya agar menemukan sesuatu yang baru dan bernilai positif/ibadah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dengan hijrah ke Madinah. Dimana, kondisi Mekkah itu tidak baik saat itu. Semoga kita pandai dalam memanfaat lingkungan yang baik. Amin. []

Pemalang, 3 Mei 2022
Diitulis di Rumah Pemalang lagi mudik, jam 12.30-13.00 Wib.

• Friday, April 29th, 2022

Bertemu Gus Ulil dan Gus Mus

Oleh Agung Kuswantoro

Semenjak saya menikah dengan Lu’lu’ Khakimah yang berasal dari Sulang, Rembang (2012), menjadikan saya sering bolak-balik ke kota yang sangat santri tersebut. Ada yang tertanam dalam pikiran saya mengenai kota Rambang, bahwa kota tersebut banyak ulama yang mahir dalam membaca & menulis kitab kuning dan huruf pegon, serta mahir dalam hal keagamaan secara “kaffah”.

 

Saya yang berasal dari Pemalang yang notabene belum pintar dan masih ingin belajar, menjadi tertarik untuk menggali tokoh-tokoh Agama yang berasal dari Rembang. Sekitar sepuluh tahunan ini, saya tertarik dengan kedua tokoh yaitu Gus Mus dan Gus Ulil.

 

Ada beberapa tulisan yang pernah saya tulis mengenai kedua tokoh tersebut diantaranya:

https://agungbae123.wordpress.com/2017/03/10/gus-mus-luar-biasa/; https://agungbae123.wordpress.com/2017/06/23/bertemu-mustofa-bisri-dan-ulil-absor/; dan https://agungbae123.wordpress.com/2021/12/28/model-tasawuf-kajen-yang-menghadirkan-solusi/

 

Setiap kali saya pulang ke Sulang, Rembang saya mengusahakan saat solat Jumat di Masjid Agung Rembang. Dalam tulisan di atas, saya menuliskan: pernah melihat Gus Mus saat solat Jumat di Masjid Agung Rambang, saya pernah ke pondok pesantren dan bertemu dengan santri yang diasuh oleh Gus Mus untuk membeli buku-buku karya Gus Mus, dan saya pernah ke toko kitab/buku di Jalan Kartini—yang dikelola oleh Pak Naf’an—membeli buku-buku/kitab-kitab karya KH Bisri Mustofa.

 

Jumat kemarin (29 April 2022), atas izin Allah Swt saya melihat kedua tokoh “idola saya” (lagi) yaitu Gus Mus dan Gus Ulil di Masjid Agung Rembang saat Jumatan. Saya Jumatan bersama kedua anak saya (Mubin dan Syafa). Saya menyampaikan ke Mubin, bahwa ada kedua guru Abi yang biasa diikuti di Facebook dan Youtube yang ngajari kitab “Kasidah Burdah” dan “Ihya Ulumuddin”.

 

Saya termasuk Santri Online (SO) yang dikelola oleh Mba Admin (Mba Ienas Tsuroiya). Saya Alhamdulillah aktif mengikuti tulisan Gus Ulil yang ada di Kompas dan buku-buku terbitan Mizan. Saya kagum dengan kepandaian “Pak Lurah” dalam menyampaikan pesan agama dengan kritis dan mendamaikan.

 

Entah kenapa, pada hari itu (Jumat) saya memberanikan diri untuk menemui Gus Ulil untuk bertemu. Karena saya “merasa” SO beliau. Beliau adalah guru saya, maka sebagai santri harus menemui dan menghormati untuk bertemu dan salaman. Ternyata, Allah memberikan kemudahan dalam saya bertemu Gus Ulil. Saat saya menghampiri dan mengatakan saya SO-nya, beliau langsung merespon. Namun untuk menemui Gus Mus, saya tidak memberanikan diri untuk salaman, karena Gus Mus orang yang hebat, jadi saya tahu diri. Sebenarnya saya mau, tapi tahu posisilah.

 

Saat saya sedang berkomunikasi dengan Gus Ulil datanglah Gus Mus yang usai solat Jumat. Saya pun hanya “merundukkan kepala” atau “ndingkluk” sebagai wujud takzim kepada Guru. Dalam hati ingin salaman, tetapi tidak berani. Tahu dirilah, siapa saya.

 

Alhamdulillah ya Allah, ternyata cita-citaku terwujud pada tahun ini agar bisa bertemu Gus Mus—walaupun belum salaman (apalagi berfoto) dan bertatap secara langsung kepada Gus Ulil – yang selama ini—hanya melalui Facebook. Dalam pertemuan yang sekejap, hanya 3 menitan itu saya bisa berkomunikasi dengan Gus Ulil dan berfoto bersama. Ramah orangnya: malah ngajak tidak pakai masker. Ahamdulillah dalam hati saya, jadi jelas fotonya (foto ada di gambar).

 

Samoga pertemuan ini bisa berlanjut dalam kajian-kajian yang disajikan/disampaikan oleh Gus Mus dan Gus Ulil secara langsung di rumah saya atau di organisasi/lembaga yang saya ikuti di Semarang. Amin. [].

 

Ditulis di Rembang, 30 April 2022 jam 04.30-04.55 Wib.

• Thursday, April 28th, 2022

 

Khataman Kitab Aqidatul Awwam
Oleh Agung Kuswantoro

Ngaji puasanan ini, saya bersama teman-teman di Masjid Ulul Albab (MUA) belajar kitab Aqidatul Awwam. Kajiannya, usai salat Subuh dan pembacaan surat al-Waqiah.

Kajian dimulai sejak tanggal 1 Ramadhan 1443 Hijriyah ini, Alhamdulillah pada tanggal 24 Ramadhan 1443 Hijriyah khatam. Saya sebagai orang yang terlibat secara langsung dalam belajar tersebut, merasa sangat senang. Yang belajar bersama pun istikamah. Ada “mas-mas” takmir dan beberapa jamaah lainnya yang konsisten mengikuti kajian ini.

Tanggal 25-26 Ramadhan 1443 Hijriyah, saya berencana hanya nadhoman saja dari kitab Aqidatul Awwam.

Ada 57 bait/siir dalam kitab Aqidatul Awwam. Semoga mengaji kita mendapat berkah dari pengarang kitab ini, yaitu Sayyid Ahmad Marzuki. Alfatihah. []

Semarang, 26 April 2022
Ditulis di Rumah jam 16.30 – 16.45 Wib.

Berikut nadhoman kami: https://youtu.be/4i1JfoWwTNg

• Wednesday, April 27th, 2022

Seni “Menata” Hati
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA – Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta – yang mampu menyampaikan dan mempratikkan dari ilmu hati. Bagi orang awam, ilmu “menata” hati bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan sebuah kesadaran hati dan pikiran terlebih dahulu agar terpanggil dirinya menjadi pribadi yang salikin.

Kriteria salikin – (baca: bagus/baik) itu tergantung subjek yang menilai dari sebuah objek. Dalam konteks ini yang menilai adalah Allah, sehingga keimanan (baca: hatilah) yang dinilai oleh Allah. Bukan, penilaian fisik atau material dari sebuah objek.

Puncak “menata” hati adalah hidup menjadi salikin. Artinya: hidup yang baik. Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA memberikan tips agar hidup menjadi salikin yaitu dengan (1) menata hati; (2) menjaga hati; (3) meningkatkan iman; (4) berdamai dengan keadaan; (5) membawa kemaslahatan.

Pertama yang harus dilakukan oleh manusia agar hidup lebih salikin adalah niat. Niat adalah sifat kalbu, sedangkan perbuatan bukanlah sifat kalbu. Niat merupakan konsep matang dan penuh kesadaran diri dalam diri tentang suatu perbuatan yang dilakukan (hal. 2).

Misal: pentingnya, sebuah niat dari suatu perbuatan hubungan suami-istri/seksual yang berdampak pada perbuatan. Janganlah selalu menyalahkan tawuran remaja. Cobalah cek dari awal penciptaan remaja tersebut yaitu: orang tuanya, “Apakah telah melakukan niat dalam proses penciptaan awal/remaja tersebut?” Sehingga, niat inilah yang membedakan antara perbuatan manusia dan hewan.

Hewan dalam melakukan sesuatu itu, tanpa niat. Termasuk dalam perbuatan seksualitas. Sebagai manusia yang beragama, berislam, dan beriman dalam berhubungan badan/seksualitas harus niat. Jangan asal melakukan perbuatan seksualitas.

Jika manusia tersebut melakukan perbuatan tanpa niat, maka manusia tersebut “persis” seperti perbuatan hewan. Oleh karenanya, sangat tepat sekali, dalam kitab Arbain Nawawi hadist pertama mengatakan: “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya” (HR. al-Bukhori dan Muslim).

Setelah niat yang kuat untuk menjadi diri yang baik, langkah selanjutnya adalah meninggalkan beban hati dengan cara memasrahkan segala urusan dunia kepada Allah; hati diajak lebih “lembut” dalam menyikapi sebuah kehidupa;, rasa “cemas” terhadap suatu permasalahan harus mulai “dihapuskan”; “menanamkan” rasa rido Allah; dan merutinkan zikir adalah salah satu cara menjaga hati agar manusia lebih baik.

Puncak dari manusia yang salikin memiliki ciri: bersikap deramawan; berkata jujur; komunikasi santun; mengontrol pembicaraan; memuliakan tamu; menghindari tamak; dan menegakkan amar makruf (hal 231).

Melalui tahapan demi tahapan tersebut diharapkan kita termasuk manusia yang menjadi salikin. Bisa jadi, kita adalah manusia yang “biasa”. “Biasa” dimata Allah dan manusia. Namun, dengan kesadaran dan ketulusan hati akan perbaikan diri yang lebih baik. Insya Allah kita termasuk manusia yang salikin itu. Amin. [].

Semarang, 6 April 2022
Ditulis di Rumah jam 20.30 – 21.00 WIB

• Sunday, April 24th, 2022

Menjaga Kearifan “Lokal” Saat Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro

Indonesia adalah negara yang “kaya” akan sebuah kebudayaan. Termasuk, budaya dalam menyambut bulan Ramadhan.

Ada kebudayaan lokal yang melekat di pesantren yaitu budaya ngaji kitab saat bulan Ramadhan. Menurut saya budaya tersebut termasuk budaya lokal khas pesantren yang perlu dilestarikan.

Saya coba untuk “menjaga” dan “mempertahankan” budaya tersebut dimana pun berada. Saat ini, di Semarang, saya usahakan “menjaga” budaya tersebut.

“Ngaji” adalah sebuah budaya yang harus dipertahankan. Ngaji yang saya maksudkan adalah ngaji kitab. Guru (baca: Ustad) akan membacakan isi kitab, lalu santri mengabsahi (baca: menulis makna) dari yang dibacakan oleh Guru.

Empat tahun (2017-2020) saya melakukan hal tersebut di Masjid Nurul Iman, Gang Pete Selatan 1, Sekaran dengan kitab Safinatunnajah al-Barzanji, tafsir Yasin, Fathul Mu’in dan Taqrib.

Sekarang (2022) di Masjid Ulul Albab (MUA) usai sholat Subuh, saya ngaji kitab ‘Aqidatul ‘Awwam. Saya ngaji bersama jamaah yang lainnya. Ngajinya simpel, sederhana, dan singkat, yang terpenting materi tersampaikan dan ”mengena” bagi jamaah.

Muncul pertanyaan: “Sampai kapan saya “ngaji” seperti ini?” Jawabnya: Bisa jadi, sampai meninggal dunia. Karena, dengan mengaji saya menjadi tahu dan belajar. Melalui membaca, saya jadi memiliki pengetahuan dan referensi untuk bahan menulis.

Ulama kita mengajarkan untuk membaca kitab. Syukur, menulis/mengarang kitab. Karena, melalui karya ulama – kita kelak – akan menjadi “warisan” kepada generasi berikutnya.

Pertahankanlah, kearifan lokal seperti ini. Terlebih di bulan Ramadhan. Karena, bulan Ramadhan adalah bulan membaca “kitab” dan al Qur’an. Harapannya dengan cara seperti ini, kita akan lebih dekat kepada Allah. Amin. []

Semarang, 22 April 2022

• Saturday, April 16th, 2022

Menemukan “Masjid”
Oleh Agung Kuswantoro

 

Ramadhan 1443 Hijriah ini, saya banyak melakukan ibadah di Masjid Ulul Albab (MUA) Kampus UNNES, Semarang. Tarawih hampir dikatakan sering dilakukan di MUA. Demikian juga, sholat Subuh berjamaah, juga dilakukan di MUA.

Saya dapat “amanah” dari Allah untuk memimpin solat Subuh, membaca surat al-Waqiah, dan kajian KItab Aqidatul Awwam secara singkat. Untuk solat tarawih dan penyampaian kultum juga dapat tugas, namun tidak tiap malam.

Saya bersyukur bisa berjumpa dan “menemukan” banyak Masjid. Saya memang “suka” Masjid. Terlebih di bulan Ramadhan ini, Masjid seperti rumah. Masjid sebagai tempat kembali.

Di dalam Masjid, pasti banyak orang. Nah, disinilah “kedewasaan” dan “keilmuan” kita harus “ditonjolkan” agar ada penghormatan. Jangan sampai ada Imam diatur-atur oleh orang tertentu. Tidak etis. Jika itu terjadi.

Mari cari dan temukan Masjid. Bisa jadi, Masjid yang terbaik itu ada di Surga. Dan, semoga Masjid yang kita tempati ini, menjadi “kapal” menuju Surga. Amin.[]

Semarang, 12 April 2022
Ditulis Di Kantor UPT Kearsipan UNNES jam 09.30 – 09.45 WIB.

• Thursday, April 14th, 2022

“Mengarsip” Perbuatan Baik di Dunia, “Temu Kembali” Arsip di Akhirat
Oleh Agung Kuswantoro

Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzaroh), niscaya dia akan meihat (balasan)nya, dan, barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarroh), niscaya, dia akan melihat (balasan) nya pula (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Ayat di atas, menunjukkan bahwa salah satu sikap orang yang beriman. Orang yang beriman pasti memiliki arsip (baca: amalan) baik saat di dunia. Bahasa Quraisy Shihab, menyebutnya, kebajikan.

Baik dalam hal ini, ada di mata Allah. Baik dimata Allah ini ada dua kategori yaitu kebaikan secara ubudiyah/mahdoh dan kebaikan sosial/muamalah/goiru mahdoh.

Contoh sikap kebajikan (baca: arsip di dunia) adalah sholat yang khusyuk (QS.al-Baqoroh: 45-46) dan berpuasa (QS. al-Baqoroh:183). Jika sholat dilihat secara fikih itu, termasuk syarat bagi orang muslim. Tetapi, sholat orang khusyuk itu, termasuk pilihan bagi orang yang beriman. Demikian juga, berpuasa itu untuk orang yang beriman, sedangkan syarat berpuasa itu untuk muslim.

Imam Al Ghozali mengatakan: khusyuk adalah buah dari keimanan dan keyakinan yang timbul dari kesadaran akan keagungan Allah. Buah dari khusyuk adalah selalu menyadari pengawasan Allah, merasakan keagungannya, dan mengakui kelemahan diri.

Begitu pula sebaliknya, dengan menyadari pengawasan Allah, merasakan keagungannya, dan mengakui kelemahan diri, maka tumbuhlah sikap khusyuk. Dan itu terjadi tidak hanya di dalam sholat.

Memaafkan kesalahan orang lain itu, baik. Tetapi tidak cukup memaafkan bagi orang beriman. Mengikhlaskan itu, milik orang beriman. Sholat wajib itu orang muslim, tetapi rutin sholat tiap malam untuk sholat tahajud itu milik orang beriman.

Jadi, yang dimaksudkan “arsip” disini adalah perbuatan baik/kebajikan. Jika ada amalan buruk, lebih baik dimusnahkan atau dibuang saat didunia dengan jalan istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah: “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. an-Nisa: 110).

Lalu, siapa yang mencatat atas “arsip” kita di dunia? Malaikat. Malaikat adalah teman orang beriman. Malaikat yang baik itu tidak rela, jika “temannya” masuk neraka. Karena, tiap perbuatan baik dicatat olehnya.

Dari beberapa keterangan disebutkan bahwa: dalam diri manusia ada Malaikat Rokib, Atib, Basyir, Mubasyir, dan Malaikat Khafadoh.

Misal: Nabi Muhammad Saw – waktu remaja – sering dilindungi oleh Malaikat dari panas dan dilindungi agar tidak ke Syam/tempat tertentu karena di tempat tersebut ada orang yang melukai—bahkan, akan membunuh—Nabi Muhammad Saw.

Dalam hadist ke-2 dari Arbain Nawawi disebutkan pula: Malaikat menjelma dalam bentuk manusia laki-laki dengan pakaian yang sangat putih dan wajahnya tidak menampakkan jejak-jejak perjalanan. Lelaki tersebut bertanya Imam, Islam, dan Ihsan kepada Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian, Malaikat itu sangat dekat dengan orang beriman. Lalu, perbuatan buruk yang tidak dijadikan “arsip” oleh manusia itu, berteman dengan setan.

Setan suka dengan “keramaian” atau “kerumunan” dimana dalam tempat tersebut ada: ucapan kotor, bohong, menganiaya, khiyanat, dan perbuatan buruk lainnya.

“Arsip” orang beriman kelak akan dibuka di Akhirat, dan akan diarahkan ke “depot” Surga. Jadi, saat di dunia, “mengarsiplah” kebajikan yang sebanyak-banyaknya untuk dibuka di Akhirat. Akhirat adalah alam terakhir. Akhirat adalah pilihan yang tepat bagi orang beriman. Akhirat menjadi tujuan setiap orang untuk membuka “arsip-arsip” di dunia. Semoga kita termasuk orang yang akan membuka “arsip” tersebut dan Allah mengizinkan kita masuk di surga-Nya. Amin. []

Semarang, 13 April 2022
Ditulis di Rumah jam 06.00 – 06.20 WIB

Catatan: Rencana materi akan disampaikan pada Kajian Islam di FIP UNNES jam 09.30 – selesai secara zoom meeting, Kamis (14 April 2022).

• Tuesday, April 05th, 2022

Nikah (6): Memandang Kepada Perempuan

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Setelah belajar memandang perempuan baligh dan perempuan anak kecil https://agungbae123.wordpress.com/2022/03/20/nikah-5-bagaimana-memandang-perempuan-yang-hampir-baligh-dan-memandang-anak-perempuan-kecil/ kita sekarang belajar memandang kepada perempuan.

 

Muhrim artinya yang harus dijaga, tidak boleh nikah, maka keduanya bagaikan dua orang laki-laki yang bersentuhnya tidak membatalkan wudlu, baik muhrim nasab, mushaharah atau susuan.

 

Laki-laki melihat seluruh badan laki-laki lain kecuali antara pusat sampai kedua lutut. Hukumnya boleh, tidak ada perselisihan. Juga tidak ada perselisihan tentang haramnya melihat gadis dengan syahwat sebab (gadis) merupakan haram yang paling utama dalam melihat wanita yang dirasa membawa fitnah, juga melihat muhrim dengan syahwat hukumnya haram.

 

Apabila melihatnya (dirasa) tidak membawa fitnah – menurut Rafi’i – hukumnya boleh.  Melihat muhrim tanpa syahwat, tetapi dirasa menimbulkan fitnah – menurut Jumhur – hukumnya haram.

 

Imam Nawawi berpendapat – yang tersebut dalam syarah Muhadzdzab – melihat gadis hukumnya mutlak haram. Yang dimaksud “mutlak”, melihat baik dengan syahwat atau tidak.

 

Melihat seorang perempuan kepada perempuan lain, hukumnya sama dengan melihat laki-laki kepada laki-laki lain denmikian juga melihatnya muslimat kepada muslimat lain. Kalau perempuan kafir melihat perempuan muslimat, hukumnya diperselisihkan, yang benar sama dengan muslimin.

 

Semua yang tidak boleh dilihat ketika masih melekat (menjadi satu dengan tubuh), seperti: kemaluan, dan lain-lain juga tidak boleh dilihat ketika sudah lepas dari tubuh. Maka orang laki-laki yang mencukur rambut kemaluannya dan perempuan yang nyisir rambutnya, hendaklah ditutupi.

 

Apabila haram melihatnya (anggota tubuh), haram menyentuhnya sebab lebih lezat. Maka laki-laki haram menyentuh paha laki-laki lain dengan tanpa sebab. Walaupun tidak haram memandang muhrim, tetapi menyentuhnya haram, sehingga seseorang tidak boleh menyentuh perut atau punggung ibunya, memijit kaki atau mencium mukanya hukumnya haram.

 

Juga, orang laki-laki tidak boleh menyuruh anaknya atau saudaranya perempuan untuk memijit kakinya. Qadli Husein  berpendapat: perempuan tua yang menghiasi mata laki-laki di hari Asyura, hukumnya haram.

 

Orang laki-laki tidur bersama-sama (satu bantal) dengan laki-laki lain hukumnya haram, demikian juga wanita dengan wanita lain, meskipun hanya dekat saja. Demikian pendapat Rafi’i yang diikuti oleh Nawawi. Wallahu ‘alam.

 

 

Semarang, 6 April 2022

Ditulis di Rumah, jam 05.00-05.20 WIB.

Sumber rujukan: Kitab Kifayatul Akhyar.

• Wednesday, March 30th, 2022

Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. alBaqarah: 183).

 

Menurut Multazam Ahmad (2022) dalam Suara Merdeka edisi jumat 25 Maret 2022 mengatakan bahwa, kemungkinan besar akan terjadi perbedaan bagi umat Islam untuk melakukan amal ibadah puasa . Hal ini disebabkan, perbedaan metode untuk menentukan penentuan pengertian awal bulan.

 

Bagi Saudara kita (Muhammadiyah) yang bermadzab hisab, jauh hari sudah menentukan bahwa awal Ramadhan akan jatuh 2 April 2022 (Sabtu/besok), sedangkan dari kelayakan NU yang bermadzab hisab dan rukyah, masih akan menunggu hasil rukyah mengawali puasa Ramadhan yang akan jatuh pada 3 April 2022 (Ahad). Hadis Nabi: “Berpuasalah kamu sekaliah setelah melihat hilal, berbukalah kamu sekalian setelah melihat hilal, Apalagi terhalang sempurnakanlah bilangan bulan”)

 

Ada 2 metode yang berbeda, namun ada 1 tujuan yang sama yaitu menjadi hamba yang bertakwa, muncullah sebuah pertanyaan: “puasa itu, wajib untuk siapa?”

 

Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

 

Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.

 

Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.

 

Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.

 

Orang sakit berpuasa

  1. H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).

 

Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.

 

Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.

 

Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.

 

Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.

 

Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.

 

Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.

 

Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).

 

Demikian, khutbah singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:

  1. Kemungkinan besar dalam penentuan awal Ramadhan 1443 Hijriah/tahun ini: ada perbedaan pendapat. Ada yang besok (Sabtu) dan dua hari lagi (Ahad).

 

  1. Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya: berakal dan baligh. Namun, di lapangan: belum tentu orang mukallaf itu berpuasa.

 

  1. Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.

 

  1. Bisa jadi, dosa yang banyak adalah penghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).

 

  1. Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.

 

Semoga bermanfaat khutbah ini. Amin. []

 

Semarang, 30 Maret 2022. Rencana akan disampaikan di Masjid Ulul Albab (MUA) Jumat, 1 April 2022. Materi ini pernah ditulis pada tanggal 6 April 2021 ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam  jam 05.00 – 05.15 WIB.