• Thursday, January 27th, 2022

Menata Diri (9)/Edisi Terakhir: Merasa Di-CCTV Oleh Allah Swt

Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.

 

Sikap mawas diri atau pengawasan melekat (muraqabah) merupakan salah satu ciri kalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi Allah Swt. dan malaikatnya yang ditempatkan didalam diri kita, saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan mengawasi diri kita agar tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh didalam kalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt. perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.

 

Pemandangan pada hari kiamat: ketika orang ditanya tentang dosa dan kejahatannya di dunia, mereka berusaha menyangkal. Namun, penyangkalan tidak ada manfaatnya karena anggota badan yang pernah terlibat melakukan perbuatan itu berteriak memberikan kesaksian dan pengakuan: “Akulah yang melakukannya”, Misalnya, kaki mengatakan, “Aku yang melangkahkan kaki ke tempat maksiat itu”. Tangan mengungkapkan, “Aku yang memegang atau menandatanganinya,” Tenggorokan mengatakan, “Aku yang menelannya,” Perut berteriak, “Aku yang menampungnya,” dan seterusnya.

 

Ini semua menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada kemungkinan kita bisa menyembunyikan kesalahan di hari Kiamat. Ada ulama yang menggambarkan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kita, tidak lain adalah tinta yang mencatat semua perbuatan kita, begitu seseorang meninggal maka darah tubuhnya lenyap entah kemana.

 

Hal tersebut membuktikan bahwa Allah Swt.  selalu mengintai dan mengawasi secara aktif seluruh perbuatan hamba-Nya. Ini sesuai dengan hadist Nabi Saw. ketika suatu saat ia ditanya Jibril tentang pengertian ihsan. Nabi Saw. Menjawab: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa engkau dilihat oleh-Nya (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Dalam hadist lain disebutkan, “Kalau engkau tidak melihat Allah, yakinlah engkau dilihat oleh-Nya.” Ini menunjukkan tentang muraqabah. Dalam sebuah ayat Allah swt. Berfirman:“Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 1)

 

Jika seorang hamba sudah tahaqquq dengan ayat ini maka ia telah merasakan maqam muraqabah. Ia merupakan maqam yang mulia, di mana pondasinya adalah ilmu dan hal. Dengan ilmu artinya hamba mengetahui bahwa Allah Swt. selalu mengawasi dirinya terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, mendengar semua yang diucapkannya, bahkan apapun yang terbetik di dalam benaknya. Adapun hal adalah menetapnya pengetahuan ini dalam kesadaran hamba di dalam kalbunya. Sehingga kesadaran inilah yang dominan dan menguasai dirinya tanpa pernah lali.

 

Jika keduanya sudah membaur dalam diri maka buahnya adalah malu (al-haya) kepada Allah Swt. sehingga memastikan dengan sifat ini, hamba jauh dari segala bentuk kemaksiatan dan semangat dalam ibadah. Adapun mereka para murraqabin buah yang didapat dari keduanya adalah musyahadah. Dalam musyahadah ini buah yang didapat pertama adalah an ta’budallaha ka’annaka tarahu (menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya) kedua, buah yang didapat selanjutnya fa in lam takun tarahu (jika engkau telah tiada (fana) maka engkau akan melihat-Nya).

 

Menurut bahasa, muraqabah berarti murashadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan. Menurut istilah para ahli hakikat, muraqabah ialah seorang hamba yang senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Muraqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-geriknya. Pada hakikatnya muraqabah adalah  bentuk simpati Allah swt. kepada kita, tentang apa kekurangan dan kelebihan kita, benar tidak perbuatan kita, apakah sudah sesuai dengan ajaran yang telah dituntunkannya atau belum.

 

Muraqabah merupakan sumber segala kebaikan. Seseorang tidak akan sampai pada derajat muraqabah kecuali setelah mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya mengenai apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan bagaimana memperbaiki ke depannya. Perbedaannya, muhasabah adalah introspeksi ke dalam, dari diri kita sendiri, menyaksikan diri kita sendiri melakukan apa. Sedangkan muraqabah lebih bersifat eksternal faktornya, penilaian dari luar diri kita, CCTV-nya Tuhan yang menyaksikan kita. Sehinga dalam muraqabah ini ketika melakukan sesuatu, seorang hamba sadar bahwa dirinya direkam.

 

Maka dampaknya kemudian hamba melakukan perbaikan dan koreksi atas perbuatannya dengan tobat jika ia melakukan dosa dan kesalahan. Jika yang dilakukan adalah kebajikan dan ketaatan maka muraqabah menjadi semangat baru untuk berbuat yang lebih baik.

 

Di kalangan ulama tasawuf mengartikan  muraqabah kepada Allah dalam segala lintasan pikirannya, Allah akan memeliharanya dalam segala tingkah lakunya. Ibn “Atha’illah mengatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah muraqabah kepada yang Haqq (Tuhan) sepanjang masa. Abu Hafsh (al-Haddad) pernah mewasiatkan kepada murid dan sahabatnya, Kalau engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap diri dan hatimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka sebab mereka hanya bisa mengawasi lahiriahmu, sedang Allah mengawasi batinmu.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Merasa malulah kepada Allah sesui kedekatan dan pengetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterimakasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu.”Bukankah seluruh perbuatan-perbuatan kita direkam oleh Allah Swt.? sebagaimana firman-Nya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun niscaya Dia akan melihat. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun niscaya Dia akan melihat.” (QS. Al-zalzalah [99]: 7-8).

 

Orang yang selalu sadar bahwa dirinya selalu dipantau oleh Allah Swt. maka orang ini tergolong muraqib (orang yang bermuraqabah) yang akan menempuh shirath al-mustaqim. Muraqib adalah orang ang sempurna takwanya, dosa sekecil zarahpun akan dihindari. Bahkan, sebagian yang ia anggap halal ia jauhi khawatir ternyata haram sehingga menjadi hijab. Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Orang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yang besar, sehingga takut menjatuhi dirinya. Sedangkan orang kafir melihat dosanya bagaikan lalat di hidung yang dapat terbang dengan usiran tangan.

 

Selain dengan muhasabah, agar kita senatiasa muraqabah yaitu dengan muhadharah artinya kita menghadirkan jiwa, menghadirkan perasaan, eling menghadirkan spiritual mood kita, sehingga suasana batin kita selalu hadir dihadapan Allah Swt. batinnya selalu basah dengan kedekatan (taqarub) pada Allah swt. dalam keadaan apapun dan di mana pun. Sehingga kita dengan sendirinya memiliki proteksi diri yang kuat, tidak mudah tergoda oleh siapapun dan keadaan yang bagaimanapun.

 

Orang yang senantiasa muraqabah akan selalu respons dengan pemberian Allah Swt., apabila diberi nikmat dia mengucap, “alhamdulillah,” apabila ditimpa musibah ia mengucap,”Inna lillah,” apabila melihat keajaiban ia mengucap, “Subhanallah,” semuanya ia kembalikan  kepada Allah Swt. orang yang senantiasa muraqabah setiap langkahnya teratur, terukur, setiap ucapannya berakhlak. Sedangkan, yang tidak mengindahkan tatakrama muraqabah akan sembrono, ceplas-ceplos, bahkan berpotensi menjadi racun di masyarakat.

 

Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.

 

Semarang, 28 Januari 2022

 

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

• Thursday, January 27th, 2022
Semoga Mas Agung (gambar tersebut) yang berusia 8 tahun selalu sehat selalu. Semoga kelak Mas Agung menjadi orang yang sukses.
Salam buat nenek yang sedang sakit, sehingga mas Agung berangkat memulung sendiri. Salam buat kedua orang tua Mas Agung yang sudah meninggal dunia.
Selamat berjuang di “permainan” kehidupan ini. Kata orang: susah tak selamanya susah. Senang tak selamanya senang.
Hari ini atau saat ini, Mas Agung tidak sekolah/putus sekolah itu tidak apa-apa. Karena, Mas Agung sudah “bersekolah” di kehidupan dunia yang penuh dengan ribuan kompetensi.
Di saat teman yang seumuran pergi sekolah, Mas Agung sudah praktik mencari uang dengan memulung untuk beli obat buat neneknya.
Andaikan kita dekat, aku ingin mengajakmu makan di warteg dan bawakan beban yang di pundakmu itu. Rasanya, tak pantas beban yang melekat di pundakmu. Mungkin, seharusnya tas sekolah yang ada di pundakmu. Terlebih, itu jam sekolah.
Punya labolatorium yang berisi komputer dan tablet yang canggih sebagai media, rasanya terlalu “jauh”. Cukup komunikasi yang baik secara langsung itu sudah sangat baik sekali. Medianya, sederhana saja yaitu “perhatian” saja.
Guru Mas Agung adalah orang yang mau memperhatikan saja. Tak kepikiran guru harus memiliki laboratorium. Laboratoriumnya adalah alam raya ini.
Pakai masker dan jaga jarak, hilang dalam “kamus” kehidupanmu. Yang penting bisa hidup saja. Makanan sehat dan bergizi, bisa jadi “lenyap” dalam pikiranmu. Asal, makan tiga kali dalam sehari saja, sudah Alhamdulillah.
Lalu, kapan jam bermainmu? mungkin sudah tidak ada. Karena, Mas Agung sudah sibuk dalam memulung.
Mari, doakan Mas Agung dan Mas Agung-Mas Agung yang lain–senasib–dengannya. Anak yatim piatu ada di sekitar kita. Bisa jadi, yatim kasih sayang. Yatim, tak harus kehilangan orang tua.
Semoga Allah mendengar bisikan hati dari doamu, Mas Agung. Amin.
Semarang, 27 Januari 2022
Keterangan gambar: kompas edisi, 25 Januari 2022 halaman 1
Mungkin gambar 3 orang, orang berdiri, luar ruangan dan teks yang menyatakan 'SELASA 25 JANUARI 2022 Memulung untuk Bertahan Hidup www.kompas.id FAmO Kepa Jadv Akh Pemungutan Februari 2024 Juni mendatar JAKARTA, KOMPAS setelah kati Kepastian jadwal penundaan Agung (8) menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk memulung kardus botol minum kemasan Senin /2022). Sejak ditinggal pergi dan ayahnya yang meninggal Agung yang bersekolah ingga bersama neneknya Untuk bertahan hidup. neneknya bekerja sebagai pemulung Karena hari tu neneknya sakit, ia berangkat seorang diri oulan DM psansi emilu,'
• Sunday, January 23rd, 2022

Nikah (1)

 

Definisi

Nikah menurut bahasa artinya: mengumpulkan. Menurut syara’ artinya: akad yang memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul.

 

Firman Alah: “Fangkihuu Maa Thaaba Lakum Minannisaa”.

Artinya: “Maka nikahilah wnaita-wanita yang kamu senangi” (An-Nisa’: 3)

 

Sabda Nabi saw: “Ingkihuul Waluud”. Artinya: “Nikahlah dengan perempuan yang banyak anak (keturunan banyak anak)”.

 

Hukum Nikah

Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, maka hukumnya wajib. Kalau ia (mukalaf) tidak mampu, maka hukumnya makruh. Kalau ia berniat menyakiti isteri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asal dari nikah adalah mubah. Nikah, hukumnya sunat bagi orang yang memerlukannya. Syariat nikah berasal dari Al-qur’an, hadist serta ijma’umat.

 

Firman Allah: “Wa-Ankihul Ayaamaa Mingkum Washshaalihiina Min’ibaadikum Wa Imaaikum”. Arttinya: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan”.

 

Sabda Nabi Saw: “Tanaakahu U Taktsuruu Fainnii Ubaahi Bikumul Umam”. Artinya: “Saling menikahlah kamu semua dan banyakkan keturunan sesungguhnya denganmu aku berlomba umat (besok hari kiamat)”.

Bersambung.

 

Semarang, 23 Januari 2022

Sumber: Kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah

• Friday, January 21st, 2022

Menata Diri (8): Menjaga Rasa Malu
Oleh KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Mohon maaf, saya belum menuliskan lanjutan tema menata hidup, sehingga saya menyajikan tulisan dari KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku guru dan sumber rujukan utama dalam tema tersebut. Berikut tulisannya:

Mungkin ada benarnya anggapan orang yang mengatakan, manusia modern lebih cenderung menyingkirkan rasa malu. Padahal, semodern apapun dan sebesar apapun perubahan yang ada di sekitar kita, mestinya rasa malu itu sebagai harga diri utama kita paling permanen menyertai sepanjang perjalanan hidup kita. Rasa malu boleh pergi seiring dengan roh meninggalkan jasad kita. Hal itu Karena malu diterjemahkan dari bahasa Arab istahya’ yang diambil dari al-hayath yang artinya hidup. Orang yang memiliki rasa malu (istahya) itu lantaran kuatnya dimensi hayath di dalam dirinya, sehingga dapat merasakan hal-hal yang sensitive. Jadi, malu lahir karena kuat dan lembutnya perasaan seseorang. Makanya hidup tanpa rasa malu adalah mayat berjalan, demikian sebuah syair Arab melukiskannya.

Ilustrasi kisah Nabi Yusuf dengan perempuan istana dapat dijadikan pelajaran. Dikisahkan dalam Al-qur’an: Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS. Yusuf [12]: 24).

Sesungguhnya, tanda (burhan) yang dilihat, ialah bahwa wanita itu melemparkan pakaian ke sebuah patung yang ada di dalam rumahnya lalu menutupi wajah patung itu. Yusuf as. bertanya padanya, “Apa maksudmu berbuat begini?” Jawabnya, “Sesungguhnya aku merasa malu pada Tuhanku ini, jika dia melihatku, “Kata Yusuf, “Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah”.

Selanjutnya, ditegaskan pula dalam firman Allah dalam al-Qur’an: “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu.” (QS. Al-Qashash [28]: 25)

Sesungguhnya, dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu. Ini menunjukkan kesempurnaan iman. Riwayat lain mengatakan bahwa kedua putri Syuaib as. pulang lebih awal dari biasanya. Maka Nabi Syuaib bertanya, “Apa yang membuatmu pulang terburu-buru?” Keduanya menjawab, “Kami menjumpai seorang lelaki saleh yang kasihan pada kami dan membantu mengambilkan air. Maka Nabi Syuaib berkata pada salah satu putrinya (yang tertua). “Pergilah. Ajak dia menemuiku”. Dalam perjalanan, Musa as. mengikuti putri Nabi Syuaib dari belakang. Tiba-tiba angin berembus dan menyingkap baju putri Nabi Syuaib. Sehingga ia pun malu. Maka Nabi Musa as. Berkata, “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkan aku arahnya ke mana”.

Kisah Nabi Yusuf yang diabadikan di dalam Al-Qur’an di atas menarik untuk dijadikan pelajaran bahwa dalam segala perbuatan yang memalukan hanya akan membawa penyesalan dan keberanian untuk berkata “tidak” kepada hal-hal yang memalukan akan mendatangkan keajaiban positif dari Allah SWT untuk yang bersangkutan. Dalam habis Nabi Saw. Dikatakan: “Rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Menurut riwayat riwayat lengkapnya, suatu ketika ada orang yang memarahi saudaranya yang tidak punya malu. Ia berkata, “Mungkin kamu akan malu, setelah kamu tahu bahayanya.” Mendengar itu Rasulullah Saw. berkata, “Biarlah dia. Rasa malu merupakan bagian dari iman.” Rasa malu mencegah orang dari berbuat keburukan. Di dalamnya tercakup banyak sekali kebaikan sehingga ia terhitung cabang dari iman. Dikatakan sebagai cabang iman lantara malu mampu mencegah orang dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Al-Qadhi “Iyadh mengatakan malu adakalanya merupakan sifat bawaan dan adakalanya diupayakan. Jika malu merupakan sifat bawaan maka untuk memanfaatkannya di jalan syar’i harus didahului dengan upaya, ilmu dan niat. Di sinilah malu menjadi bagian dari iman. Apabila keduanya ada dalam diri seseorang maka itu akan menjadi sumber kebaikan yang kuat.

Jadi, orang yang beriman ialah orang-orang yang mampu memproteksi diri dari hal-hal yang memalukan. Semua dosa, maksiat, dan kedurhakaan adalah memalukan. Bukan saja malu terhadap manusia tetapi yang lebih penting ialah malu terhadap Allah Swt., Zat Yang Maha Melihat. Yang membedakan antara orang-orang yang beriman dan yang tidak ialah perbuatannya. Jika ada yang mengaku beriman tetapi masih doyan dengan dosa berarti ada kemunafikan di dalam diri yang bersangkutan.

Dzun Nun al-Mishri, seorang ulama Tasawuf mengatakan, “Pecinta akan berbicara dan pemalu akan diam.” Al-junaid pernah ditanya tentang rasa malu. Ia menjawab, “Malu adalah suatu keadaan yang membuat orang melihat anugerah dan melihat kekurangan diri. Inilah yang kemudian melahirkan malu.”. Ibn Atha’illah mengatakan, “Ilmu yang peling besar adlaah rasa gentar dan malu”.

Seorang laki-laki terlihat shalat di luar masjid, lalu ditanya mengapa tidak masuk dan shalat di dalam saja? Ia menjawab, “Aku malu masuk ke dalam rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.”Seorang laki-laki terlihat tidur di tempat binatang buas, lalu ditanya, “Apakah tidak takut tidur disini?” Ia menjawab, “Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah Swt. Telah mewahyukan kepada Nabi Musa as., “Nasihatilah dirimu jika engkau menghiraukan nasihat itu, maka nasihatilah sesama manusia, jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasihati manusia.” Disebutkan, jika seorang duduk untuk menasihati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya, “nasihatilah dirimu sebagaimana engkau menasihati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhan-Mu, sebab Dia melihatmu.”

Al-Fudhail mengatakan, “Diantara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurangnya rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.” Rasa malu sekarang seperti menjadi barang langka. Yang banyak kita saksikan ialah memamerkan perbuatan memalukan. Jika perbuatan memalukan menjadi pemandangan umum di dalam masyarakat maka ancaman siksa Tuhan akan dekat. Siksaan Tuhan bukan hanya dalam bentuk banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, wabah penyakit menular, angin puting beliung, dan lain-lain, tetapi juga diutusnya pemimpin zalim, berkembangnya kriminalitas yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut, diberikan anak-anak durhaka, dan perasaan publik yang gelisah dan tidak tenang.

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, January 01st, 2022

 

Salat Jumat

Oleh Agung Kuswantoro

 

Melakukan salat Jumat bagi anak laki-laki berusia 7 tahun hingga 10 tahun, bukanlah hal yang mudah. Misal: dilakukan pada siang hari jam 12.00 WIB dimana fisik untuk jalan kaki agar bisa pergi ke masjid, membutuhkan kesabaran untuk mendengarkan khutbah Jumat, dan kondisi anak dimana jam 12.00 WIB adalah jam istirahat dan makan.

 

Dari alasan-alasan tersebut, saya sebagai orang tua – perlu strategi agar anak mau dan tertarik untuk berlatih salat Jumatan.

 

Saya sendiri pun, harus menyiapkan fisik dan waktu agar bisa menemani kedua anak saya – Mubin dan Syafa’ – Jumatan. Saya usahakan pulang rumah agar bisa mengajak Mubin dan Syafa’ Jumatan.

 

Biasanya saya pulang istirahat lebih gasik – sebelum jam 11.00 WIB—agar bisa mempersiapkan salat Jumat. Maksimal berangkat dari rumah jam 11.30 WIB. Setelah itu, kami berangkat ke masjid.

 

Saya pun tidak asal memilih masjid untuk Jumatan. Prinsipnya, masjid yang ramah anak untuk Jumatan. Misal: protokol kesehatan diperhatikan, ada saf/barisan anak, kebersihan masjid terjamin, khutbah tidak terlalu lama, dan nyaman untuk salat Jumat.

 

Mungkin indikator-indikator masjid yang berkriteria sempurna itu, tidak banyak. Minimal: terkelola, masjidnya. Mengapa saya “ketat” dalam “pemilihan masjid”? karena, salat Jumat “membawa”/mengajak anak itu repot. Jadi, saya harus mengambil resiko terkecil, saat saya di masjid bersama Mubin dan Syafa’. Berjuang, simpelnya, saat “membawa”/mengajak Mubin dan Syafa’ untuk Jumatan.

 

Dulu, saya juga merasakan sendiri sebagai anak yang ingin Jumatan. Saya dulu ingin sekali Jumatan. Sampai-sampai ikut orang dewasa – yang notabene tetangga rumah – agar bisa Jumatan. Beliau bernama Bapak Syarif.

 

Tiap jam 11.00 WIB, saya datang ke rumahnya agar saya bisa salat Jumat. Saya selalu dengan beliau, ketika Jumatan. Karena, Bapak saya sudah meninggal dunia sejak saya di kandungan. Jadi, saya harus ikut orang dewasa saat Jumatan.

 

 

Pengalaman kecil saya saat Jumatan menjadikan pengalaman hidup yang sangat berharga untuk anak saya, sehingga saya berusaha menemani  Mubin dan Syafa’ agar bisa salat Jumatan.

 

Yuk latih dan dampingin anak-anak kita agar kelak mereka menjadi anak saleh. Amin. []

 

Semarang, 31 Desember 2021

Ditulis Di Rumah jam 14.30 – 14.45 WIB

 

 

• Wednesday, December 29th, 2021

Salat “Gempa”
Oleh Agung Kuswantoro

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila mereka menolak) pada saat mereka berumur sepuluh tahun”(HR. Abu Dawud).

Dalam pemahaman saya: hadis di atas, bukanlah hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan Imam Muslim. Artinya, jika hadist tersebut diriwayatkan oleh kedua Imam Hadist (Abu Hurairah dan Imam Muslim), maka taraf “kevaliditasnya” sangat tinggi. Namun, dari beberapa keterangan, bahwa urutan Imam Hadist setelah Abu Hurairah dan Imam Muslim adalah Imam Abu Dawud. Bisa diartikan hadist pada paragraf di atas memiliki “kevaliditas” yang baik. Sehingga, sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita disunahkan untuk mengikutinya.

Adalah Mubin yang ingin belajar mengikuti Sunah Nabi Muhammad SAW dari hadist tersebut. Tidak hanya Mubin, saya pun ingin mengikuti ajaran tersebut. Jika Mubin sebagai anak – sekaligus orang yang berusia tujuh tahun (lebih) – sedangkan saya—selaku orang tua – yang berusia tiga puluh sembilan tujuh tahun. Jadi, saya sebagai orang tua, sedangkan Mubin sebagai anak. Mubin berposisi sebagai yang “diperintah”, sedangkan saya berposisi sebagai yang “memerintah”.

Melihat konteks hadist di atas, ada perintah yang secara tidak langsung/tersembunyi yaitu: orang tua. Kalimat “pukullah” itu, muncul pertanyaan: “Siapa yang memukul?” Dalam pandangan saya adalah orang tua. Bukan, orang lain (baca: orang tua dari selain anak tersebut) dan (bukan) sesama anak yang memukul. Penekanannya anak yang memukul. Penekanannya berarti bukan orang tua dari anak tersebut dan teman anak tersebut. Lalu siapa? “Orang tua anak tersebut!”, jawabnya.

Saya sebagai orang tua yang sedang belajar: untuk mempraktikkan hadist di atas, bukanlah hal yang mudah. Artinya: sebelum “memerintahkan” untuk salat, maka secara “otomatis” salat saya, itu sudah benar dan terpenuhi/terlaksana lima waktunya. Tidak cukup lima waktunya saja yang saya lakukan, tetapi salat sunah penyerta salat wajib (sunah kobliyah/bakdiyah dan salat sunah lainnya.

Bisa dikatakan: “Aku wis ngelakoni” (baca: aku sudah melakukan) dari apa yang saya perintahkan. Menjadi tidak tepat dan “lucu”, jika orang memerintahkan salat, tetapi yang orang memerintah salat, belum pernah salat. Ibarat ada guru renang. Seharusnya, guru renang tersebut sudah bisa berenang dan sudah praktik berenang di kolam renang. Baru, menyuruh siswanya berenang di kolam renang tersebut.

Kembali ke judul di atas: salat “gempa”. Salat “gempa”, hanya istilah saya yang digunakan kepada Mubin, saat salat. Salat sejatinya dilakukan dengan berdiri, rukuk, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tahyatul awal dan akhir, dan salam.

Alhamdulillah gerakan tersebut untuk salat tertentu bisa dilakukan. Salat yang biasa, Mubin lakukan dengan gerakan sempurna yaitu: Subuh, Dhuhur, Asar, dan Maghrib. Yang sering—menjadi tantangan untuk salat dengan gerakan belum sempurna—adalah salat Isya. Dimana, (mungkin) sudah malas, ia “menawar” kepada saya dengan salat gempa, salat 1 rakaat, atau salat sambil tidur.

Saya kenalkan dulu salat “gempa”. Salat “gempa” dilakukan dengan sedikit melompat ke bumi saat sujud. Sehingga, lantai yang dibuat sujud terasa bergetar dan berbunyi “drup”. Salat 1 rokaat adalah salat yang dilakukan 1 rokaat dengan gerakan dan bacaan sempurna. Total rokaat yang seharusnya dari salat 1 rokaat adalah 4 rokaat. Bisa dikatakan diringkas menjadi 1 rokaat dari 4 rokaat. Terakhir, salat sambil “tidur”. Mubin jika kondisi sudah (mungkin) capek/malas, biasanya juga salat sambil tidur dengan jumlah rokaat sempurna.

Bagi saya, Mubin sudah melakukan salat “gempa”, 1 rokaat dan salat sambil “tidur” itu, sudah alhamdulillah. Itulah pembelajaran bagi dia dan saya. Saya “memerintahkan” salat, disampingnya saya melakukan salat.

Ketika dia melakukan salat sambal “tidur”, salat “gempa”, dan 1 rokaat – saya pun melakukan sholat secara sempurna—dengan jumlah rokaat dan gerakan disampingnya. Bisa dikatakan: ia “makmum” saya.

Memang, belajar salat itu bukanlah hal mudah. Mumpung anak-anak, harus dilatih. Coba bayangkan latihan salat saat sudah dewasa atau berumur tua. Bisa jadi, yang “memerintah” salat itu, dibentak. Mengapa? Karena tidak terima dan yang bersangkutan mililki tenaga yang kuat.

Bandingkan saat anak-anak, ketika diperintahkan salat. Bisa jadi, langsung melakukannya. Saat menolak perintah salat, tenaga anak belum sebesar anak dewasa untuk melawannya. Jadi, penolakan dari perintah salat itu, resikonya lebih kecil.

Nah, itulah cara saya dalam belajar salat dengan anak saya. Semoga Allah mengampuni dosa saya karena saya telah memberikan izin/membolehkan Mubin untuk salat sambil “tidur”, salat “gempa”, dan 1 rokaat.

Yuk, mari belajar salat yang baik dimulai dari diri pribadi. Janganlah untuk “memerintah” salat ke orang lain, tetapi memerintah ke diri sendiri dulu. []

Semarang, 27 Desember 2021
Ditulis Dirumah jam 04.30 – 05.00 WIB.

• Tuesday, December 21st, 2021

Menata Diri (7): Membiasakan Sikap Tawadhu
Oleh Agung Kuswantoro

Saat kita berjalan kaki, lalu melihat sekumpulan orang yang sedang naik mobil mewah, lantas apa yang kita lakukan? Jika kita diam saja, maka bisa jadi kita sudah menempatkan diri sesuai dengan keadaan secara wajar. Artinya: kita tidak merendahkan dan melebihkan diri. Meminjam istilah Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA (2021), bahwa menempatkan diri pada tempat sewajarnya bernama tawadhu.

Kata tawadhu dalam bahasa Indonesia itu tidak ada padanannya. Tawadhu berasal dari kata wadho’a yang artinya: meletakkan/menempatkan. Lawan kata dari tawadhu adalah sombong, angkuh, dan congkak.

Contoh sederhana tawadhu seorang anak yaitu: ketika bercerita dengan teman sebayanya adalah bercerita tentang mainan atau bermain fisik. Anak tidak bercerita kepada teman sebayanya tentang pergi ke mall atau bercerita film TV/game HP yang ia lihat sendiri, tanpa sepengetahuan/perhatian orang tua.

Anak yang menceritakan pengalaman pergi ke mall itu ranah orang tua/dewasa. Cerita TV/game HP itu “identik” dengan cerita orang dewasa. Artinya: cerita anak tersebut, bukan pada kedua ranah/tentang itu (mall dan TV/game HP). Cerita anak adalah bermain. Artinya: anak yang bercerita ke mall dan TV/game HP itu, tidak menempatkan diri anak pada tempat sewajarnya. Dunia anak adalah bermain.

Jika anak menceritakan pergi ke mall dan TV/game HP itu, berarti anak tersebut sombong, angkuh, dan congkak. Mengapa? Karena, anak tersebut sudah melebihi diri anak dalam wajarnya, anak. Seharusnya, yang bercerita pergi ke mall dan TV/game HP adalah orang tua/orang dewasa.

Tawadhu dalam pandangan ilmu tasawuf ditujukan kepada orang yang tunduk, patuh, dan khusyuk semata-mata hanya karena Allah. Allah diatas segala-galanya. Orang yang dalam posisi ini, “keakuan” dirinya sudah hilang, diganti dengan keridhaan Allah (Nasaruddin, 2021:32).

Orang yang menempatkan diri paling bawah, tidak pernah jatuh. Sebaliknya, orang yang selalu menempatkan diri di tempat lebih di atas orang lain, pasti sering jatuh. Semakin tinggi tempatnya, maka jatuhnya semakin menyakitkan.

Jika seseorang mendambakan ketenangan hati/batin, sebaiknya memilih untuk menempatkan diri lebih dibawah/tawadhu. Nabi Muhammad SAW mencontohkan sifat tawadhunya, meskipun ia seorang Rasul, Nabi, Kepala Negara, panglima angkatan perang, dan jabatan lain yang diperolehnya, tetapi tetap menunjukkan ketawadhuannya.

Contoh ketawadhuan Nabi Muhammad SAW yaitu menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, mendatangi/menghadiri undangan tanpa membeda-bedakan kelasnya, mengendarai keledai yang hidungnya sudah diikat dengan tali yang dibuat dari sabut, memberi makan unta dan kambing, menyapu lantai, memperbaiki sandal, makan bersama pembantu, berjabat tangan dengan orang kaya-miskin, mendahulukan memberi salam kepada orang kaya-miskin, tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan kepadanya walaupun hanya kurma kering yang disajikan, tersenyum tanpa tertawa, sedih tanpa cemberut, berhati lembut terhadap sesama manusia, tidak pernah menunjukkan telah makan kenyang, dan tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus, dan berbagai perilaku ketawadhuan Nabi Muhammad SAW lainnya.

Dari sifat di atas, menunjukkan bahwa gaya hidup Nabi Muhammad SAW lebih menekankan pada sifat tawadhu. Gaya hidup Nabi Muhammad SAW lebih menekankan kepada ketenangan batin. Bisa dimaknai: menempatkan “dunia” sesuai kondisi sewajarnya. Nabi Muhammad SAW menempatkan dunia dengan sewajarnya yaitu: tidak merendahkan dan meninggikan “keduniaannya”.

Tawadhu tidak boleh berlebihan, sehingga mengumbar kekurangan diri yang melampaui batas kewajaran. Al-Khawash mengatakan: “Jangan sekali-kali menyebut terlalu banyak kekurangan dirimu (pada orang lain), karena dengan begitu bisa berkurang rasa syukurmu”. Jadi, sewajarnya saja kita dalam bersikap atas kekurangan kita.

Semoga pesan di atas, kita bisa melakukan sifat tawadhu. Tawadhu harus ditempatkan sesuai keadaan yang wajar. Jangan terlalu berlebihan dan mengumbar kekurangan. Tirulah sifat tawadhu Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan. Semoga kita bisa melakukannya. Amin. [].

Semarang, 21 Desember 2021
Ditulis Di Rumah jam 04.15 – 05.00 WIB.

• Friday, December 17th, 2021

Ada “Tangan” Allah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Melihat pemberitaan sesi akhir F1 2021 (Ahad, 12 Desember 2021) di Abu Dhabi, saya menjadi berfikir bahwa dalam setiap apa pun hidup di dunia, pasti ada yang “menang” dan “kalah”. Di luar konteks “menang” dan “kalah” itu, ada “tangan” Allah (baca: kuasa Allah). Allah memiliki kekuasaan Yang Maha Luar Biasa. Sehebat dan serapi-rapi rencana dan strategi apa pun, belum tentu manusia yang “menang”.

 

Kembali ke balapan tadi. Seharusnya secara logika akal: yang menang adalah Hamilton. Tetapi, Max Verstappen–lah yang menang. Malahan, Hamilton yang kalah dalam balapan jet darat tersebut.

 

Siapa sangka ada kecelakaan dilakukan oleh Nicolas Latifi yang menghantam dinding pembatas, dimana safety car melaju yang mengakibatkan jarak antara Hamilton dan Max Verstappen sangat tipis. Disinilah, mulai muncul strategi ganti ban dan pit stop.

 

Diluar balapan ini, yang pasti ada “tangan Allah”. Kesemua kejadian balapan tersebut, ada kehendak Allah. Mengutip berita Kompas (Senin, 13 Desember 2021) memberi judul “Mukjizat Verstappen”. Menurut saya, berita tersebut, ada benarnya. Dimana memang Hamilton-lah yang menang, jika tidak ada kecelakaan.

 

Hal ini memberikan pelajaran kepada kita, sesempurnanya apa pun yang dilakukan oleh kita, belum tentu Allah berkehendak, sehingga kita diharuskan untuk tetap “merundukkan hati” dan perbanyak doa, karena pada hakikatnya, dalam kehidupan di dunia, pasti Allah tetap ikut “campur” untuk kebaikan diri kita sebagai hamba Allah yang patuh kepada-Nya. []

 

Semarang, 16 Desember 2021

Ditulis di Rumah, jam 12.00 – 12.15 WIB.

• Tuesday, December 07th, 2021

Terus Bersyukur: Alhamdulillah Sistem Arsip Digital UNNES Diluncurkan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Alhamdulillah saya sebagai warga UNNES ikut bangga dengan diluncurkan Sistem Arsip Digital (https://unnes.ac.id/berita/upt-kearsipan-unnes-luncurkan-sistem-digital-arsip.html) yang sudah masuk dalam https://apps.unnes.ac.id/;

 

Saya menjadi saksi bahwa perjuangan untuk mewujudkan system tersebut, bukanlah hal mudah. Tercatat dari beberapa kegiatan sejak tahun 2018 hingga 2020 yang saya ikut didalamnya dalam merancang Sistem Arsip Digital yaitu:

 

(1) Bimtem system informasi arsip dinamis (https://unnes.ac.id/berita/upt-kearsipan-unnes-lakukan-bimtek-sistem-informasi-arsip-dinamis.html);

 

(2) FGD dengan menghadirkan  Tasdik Eko Pramono S.Kom, MT CHFI dari ANRI terkait sinkronisasi Siradi dan SIKD (https://agungbae123.wordpress.com/2018/04/19/sinkronisasi-siradi-dan-sikd/)

 

(3) Bimbingan teknis model manajemen arsip dinamis (https://unnes.ac.id/berita/mengetahui-tata-kelola-arsip-di-unnes-melalui-pelatihan-upt-kearsipan.html);

 

(4) Workshop system kearsipan dinamis terintegrasi (https://unnes.ac.id/berita/peran-arsip-jangan-dianggap-remeh.html);

 

(5) Evaluasi system persuratan dan kearsipan (https://unnes.ac.id/berita/buhk-unnes-lakukan-evaluasi-persuratan-dan-kearsipan.html)

 

Terkait hal itu pula, saya pernah mendapatkan tugas ke ANRI, Jakarta untuk konsultasi secara langsung dari system kearsipan UNNES yang sedang dikembangkan. Saya bertugas bersama Mas Mas’ul Fauzi, sekitar tahun 2019-2020.

 

Dari pula saya menuliskan penelitian mengenai sinkronisasi Siradi, Siradi, dan SIKD agar lebih mudah dalam pengelolaan arsip digital yang dikembangkan oleh UNNES.

 

Sebagai wujud bersyukur kepada UNNES, muncullah Sistem Arsip Digital yang sudah dikembangkan selama 3 tahun. Selama 3 tahun ini, 1 tahunnya dilakukan uji coba system tersebut. Alhamdulillah bisa terlaksana dengan baik.

 

Terima kasih saya ucapkan kepada pimpinan UNNES, pimpinan ANRI, arsiparis-penata arsip dan tenaga kependidikan di lingkungan UNNES yang telah berpartisipasi dalam menciptakan dan mengembangkan sistem arsip digital. Semoga amal baik Bapak Ibu diterima oleh Allah Swt.

 

Pastinya dengan segala keterbatasan, sistem arsip digital memiliki keterbatasan. Insya Allah akan selalu dilakukan pengembangan dan evaluasi terkait sistem tersebut. Mohon doa dan dukungannya. []

 

Ditulis di Jakarta, 7 Desember 2021, jam 05.00- 05.20 WIB.

• Sunday, December 05th, 2021

 

Tulisan lama, semoga bermanfaat untuk kita. Berikut tulisannya.

Bahagia
Oleh Agung Kuswantoro

Berbicara bahagia itu relatif. Tiap orang memaknainya, berbeda-beda. Ada yang sudah naik mobil, hidupnya sudah bahagia. Ada yang sudah memiliki rumah, hidupnya sudah bahagia. Ada yang sudah memiliki anak, hidupnya sudah bahagia. Dan, contoh yang lainnya.

Lalu, dimanakah letak bahagia itu? Menurut saya, letak bahagia itu di hati. Jika letak bahagia di hati, maka indikator kebahagiaan, tidak lagi seperti contoh di atas. Contoh kebahagiaan di atas lebih cenderung terletak di badan. Contoh di atas menunjukkan bahagia yang bersifat keduniaan.

Sedangkan indikator kebahagiaan yang terletak di hati adalah bersifat ukhrawi. Indikator kebahagiaan bersifat ukhrawi adalah ketenangan. Tepatnya, ketenangan batin.

Ketenangan batin, hanya hati yang bisa merasakan. Bisa jadi “badan” memiliki tanah, wajah cakap/cantik, harta banyak, rumah mewah dan mobil keren. Namun, itu semua tidak menjadikan kebahagiaan.

Ada orang kaya, namun cerai hidupnya. Ada orang punya tanah luas, namun hutangnya banyak. Ada orang punya anak ganteng/cantik, namun selalu minta uang ke orang tuanya. Contoh kalimat-kalimat di atas mengindikasikan tidak tenang dalam hati. Artinya, tidak bahagia. Kebahagiaan dia, tidak bersumber dari hati. Namun, bersumber dari badan.

Lalu, bagaimana cara menggapai bahagia yang bersumber dari hati? Raihlah dan temuilah sang pemilik hati, yaitu Tuhan. Tuhanlah pemilik hati kita. Tuhan itu pasti kaya, dan Maha segala-galanya. Ia tidak meminta kepada ciptaan-Nya. Ia bisa mewujudkan/mengabulkan segala permintaan manusia yang bersifat “badan”.

Cara menemukan Tuhan itu sederhana yaitu lakukanlah kebaikan dan temui di tempat mulia (seperti rumah ibadah). Terus tebar kebaikan dengan bersedekah, sholat, puasa, zakat, naik haji, membagi makanan yang membutuhkan, saling menolong, dan perbuatan lainnya. Sedangkan tempat yang terbaik menemui Tuhan adalah Masjid/Musholla. Mari luruskan kebahagiaan kita dari kebahagiaan “badan” menuju kebahagiaan hati dengan berbuat kebajikan dan termuilah Tuhan di masjid agar kita menemukan kebahagiaan yang hakiki.

Semarang, 30 November 2021
Ditulis di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB.