Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa

Hallo warga net…

Dibawah ini merupakan sedikit pemaparan mengenai budaya kekerasan dalam perspektif nilai-nilai dan etika masyarakat jawa yang merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Politik. Mungkin sebagian dari kalian berpikir artikel dan mata kuliah saya tersebut tidak ada kaitanya, namun disinilah letak keunikan sosiologi yang sesungguhya. Sosiologi Politik disini melihat bagaimana budaya alus dalam nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Jawa dapat meredam dalam kata lain menjinakan kekerasan yang tengah terajdi di tengah masyarakat. Sehingga kekerasan dapat dikalahkan oleh politik budaya alus itu sendiri. Penasaran kan bagaimana kelanjutanya, okay langsung saja silahkan membaca… Semoga bermanfaat.

Budaya atau kebudayaan (culture) menurut James P Spradley adalah sistem gagasan atau sistem pegetahuan yang berfungsi sebagai pedoman sikap dan pedoman perilaku masyarakat pemilik kebudayaan. Menurut Clifford C Geertz, kebudayaan adalah jalinan makna dimana manusia menginterpretasikan pengalamaya dan selanjutnya kebudayaan akan menuntun perilakunya. Kebudayaan beroperasi pada level komunitas, hal ini berbeda dengan kepribadian (personality) yang beroperasi pada level individu.

Budaya memiliki peran atau penuntun, pengarah atau pemaksa bagi masyarakat. Budaya kekerasan adalah sistem gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yanng kemudian mejadi pedoman dan penuntun masyarakat dalam melakuka tindak kekerasan. Akan tetapi nilai-nila dan etika jawa juga berperan didalam memahami budaya kekerasan itu. Nilai-nilai dan etika masyarakat jawa menurut Frans Magnis Suseno (1993) terintegrasi kedalam tiga prinsip yaitu, hormat, rukun, dan isin. Prinsip hormat merupakan setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri harus selalu menunjukan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukanya. Prinsip rukun adalah hubungan sosial dalam keadaan yang selaras, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, tenang dan tentram. Prinsip isin memiliki makna bahwa orang akan merasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, tidak pada tempatya, atau tidak pada waktu yang tepat. Menurut Clifford Geertz, kondisi seperti itu disebut sebagai model of reality, sebuah pola yang memang benar-benar hadir ditengah-tengah masyarakat.

  • Kekerasan dan peperangan pada masa kerajaan jawa

Masuknya kekuasaan kolonial Hindia Belanda segera saja merusak sistem kekuasaan kerajaan Mataram. Kekuasaan Mataram sering goncang dan berkurang karena ulah Belanda. MC Ricklefs (2002: 59-62) mengatakan bahwa Sesuhunan Pakubuwono II yang digambarkan lemah dan rapuh terpaksa mengalami dua kali pemberontakan, jatuhnya kraton kartosuro pada pemberontak, penyerahan final daerah pesisir kepada Belanda, dan menjelang ajalnya menyerahkan seluruh kedaulatan Mataram kepada Belanda.

Ricklefs (2002:107-10) mengatakan bahwa pada peranjian Giyanti 1755 M, Nicholas Hartingh bertindak ibaratya seorang dalang yang memainkan wayang dalam pertunjukan wayang jawa. Keadaan jawa yang porak poranda menjadikan uang sewa tanah pesisir oleh Belanda menjadi satu-satunya sumber penghasilan bagi kedua peguasa (Pakubuwono III Dan Mangkubumi) untuk sementara waktu. Setelah adanya perjanjian Giyanti 1775 M tanah jawa kembali diwarnai oleh kekerasan dan peperangan yaitu perang Diponegoro atau perang jawa pada tahun 1825 M.

  • Kekerasan pada masa reformasi 1998

Munculnya Sultan HB X pada peristiwa reformasi dapat mencegah timbulnya kekerasan dan amok massa di Yogyakarta. Brata (2003) mengatakan bahwa, ketika telah terjadi kesepakatan antara pihak keraton dengan sebagian elemen gerakan massa bahwa tempat berlangsungnya gerakan massa pada 20 Mei 1998 adalah kraton Yogyakarta dan akan dipimpin oleh sultan Hamengkubuwono X, maka muncul adanya istilah pisowanan ageng untuk menamai peristiwa gerakan massa tersebut. Peristiwa ini merupakan wujud dari hasrat masyarakat Yogyakarta untuk meuntut diwuudkanya reformasi dan tuntutan terjadinya peralihan kekuasaan negara Indonesia.

            Pada peristiwa pisowanan ageng 20 Mei 1998, warga berbondong-bondong sowan atau datang menghadap kepada sultan bukan sebagai tanda bakti setia kepada raja, melainkan untuk ikut mendukung gerakan reformasi, dan hal ini menjadi simbol perlawanan yang dapat mempercepat jatuhya Suharto, gerakan massa di Yogyakarta adalah gerakan massa paling besar. Gerakan pisowanan ageng merupakan suatu people power sebagai pengguligan regim dan juga sebuah kekuatan rakyat untuk memaksa penguasa untuk turun.

  • Budaya alus & budaya kasar

Dalam pandangan James T Siegel kategori alus dan kasar adalah salah satu kategori hierarki dalam masyarakat Jawa yang bisa mewujud dalam bahasa dan perilaku. Kasar dicirikan oleh kekuatan fisik, penampilan sangar, banyak bicara, banyak melakukan gerakan yang tidak perlu, dan agresif serta menyukai kekerasan. Sifat alus identik degan gerakan yang sederhana tapi menyimpan energi besar, bicara halus, dan penuh pengendalian diri.

Watak alus adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, tapa brata, perlu usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Sedangkan watak kasar adalah watak dasar manusia sehingga untuk memilikinya tidak perlu usaha apapun. Jika seseorang itu berasal dari sabrang atau secara genealogis merupakan orang jawa, akan tetapi belum memiliki watak alus dan masih menampilkan perilaku kasar, maka orang itu akan dicemooh dengan kalimat “durung njawani” atau “dudu wong jawa”, yang artinya “belum menjadi jawa, bukan bagian dari orang jawa.

  • Dupak bujang, semu mantri, esem bupati

Untuk memerintah orang lain atau berkomunikasi maka seorang pemuda atau wong cilik mengguakan kekerasan fisik dengan ungkapan dupak bujang, yaitu dengan memakai tendangan kaki baru komunikasi dapat berjalan. Yang agak lebih tinggi sedikit adalah komunikasi atau perintah yang dilakukan oleh seorang mantri atau priyayi menengah, yaitu semu mantri. Dimana ia harus menyidir orang lain terlebih dahulu baru komunikasi dapat berjalan. Yang paling tinggi adalah komunikasi oleh bupati, yaitu esem bupati. Priyayi tinggi yang posisinya dibawah raja, untuk berkomunikasi ia cukup mesem, tersenyum saja orang lain sudah taggap maksutya.

  • Menjinakan kekerasan

Massa yang berbondong-bondong melewati jalan raya kota Yogyakarta untuk mendatangi pisowanan ageng 20 Mei di kraton, sebenarnya juga dapat berpotensi berbuat kekerasan dan anarki dijalanan yang mereka lewati. Potensi bangkitnya nafsu amarah dan perilaku kekerasan kemudian dapat diantisipasi atau diredam dan dijinakan dengan model gunungan grebeg, dimana massa yang datang kepada sultan diberi kesempatan untuk menggerebeg makanan sebagai hadiah dari sultan untuk dimakan bersama.

            Makan bersama juga bisa meghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat. Menurut P.M. Laksono, selamatan adalah fenomena makan bersama dalam lingkup yang terbatas, sedagkan grebeg adalah fenomena makan bersama dalam lingkup yag lebih luas dan massal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: