Ketidakadilan Gender

Hay guys…

postingan kali ini merupakan tugas kuliah penulis yang akan penulis bagikan, siapa tau bisa jadi tambahan referensi tugas kalian, ye kan… Artikel katidakadilan gender ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Sosiologi Gender, yang sedang penulis tempuh di semester lima ini. Semoga bermanfaat…

Sebelumnya, ketidakadilan gender atau ketidaksetaraan gender adalah segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki yang bersumber pada keyakinan gender. Michelle Rosaldo mendefinisikan ketidaksetaraan sebagai sebuah kondisi dimana seorang perempuan secara universal dibawah laki-laki, dimana laki-laki menjadi dominan karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan merendahkan perempuan kelingkup domestik. Partisipasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik telah memberikan kenaikan otoritas laki-laki atas perempuan secara universal, namun juga penilaian yang lebih tinggi terhadap peran laki-laki dibandingkan perempuan. (Rosaldo dan lamphere, 1974). Ketidakadilan gender itu dialami perempuan dan terjadi di berbagai bidang kehidupan seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian, politik, dan keamanan (masih adanya tindak kekerasan pada perempuan). Berikut adalah beberapa bentuk ketidakadilan gender:

Stereotip (Stereotypes)

Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Biasanya stereotip merugikan pihak lain atau melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip adalah yang bersumber dari pandangan gender, yang akibatnya merugikan perempuan karena dengan pelabelan tersebut perempuan mengalami pembatasan, kesulitan, dan pemiskinan. Inge Broverman (1972) menyimpulkan bahwa penstereotipan mengenai peran jenis kelamin yang berkaitan dengan ciri pribadi sangat luas cakupanya. Sifat-sifat yang baik cenderung dilekatkan kepada laki-laki sehingga laki-laki mampu membuat kelompok yang unggul, sementara ciri perempuan membentuk kelompok yang hangat-ekspresif. Stereotip ini banyak ditemukan di sekolah, bacaan anak-anak, gaya bahasa, dan pekerjaan.

Beban Ganda (Double Burden)

Beban ganda (double burder) berkaitan dengan beban kerja, yakni pembagian kerja dan tanggung jawab yang selalu memberatkan perempuan. Keyakinan gender bahwa hanya perempuanlah yang berhak mengelola rumah tangga telah memperkuat keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya pekerjaan rumah tangga (domestik). Beban kerja menjadi dua kali lipat terlebih lagi bagi perempuan yang bekerja diluar rumah. Selain bekerja mereka harus bertanggung jawab untuk keseluruhan pekerjaan rumah tangga. Di pedesaan Jawa, perempuan harus bekerja 11 jam perhari, sedangkan laki-laki 8 jam perhari. Di pedesaan Bostwana, perempuan harus bekera 7 jam perhari, laki-laki cukup 5 jam perhari. Kondisi ini menunjukan bahwa posisi perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua, yang dalam kondisi apapun selalu kalah dari laki-laki yang dianggap sebagai warga negara kelas satu.

Marginalisasi (Pemiskinan) Perempuan

Pemiskinan adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi kaum perempuan. Proses marginalisasi disebut juga sebagai proses pemiskinan, seringkali menimpa baik laki-laki maupun perempuan disebuah negara, karena berbagai peristiwa misalnya oleh bencana alam, konflik bersenjata, penggusuran, proses eksploitasi bahkan kebijakan pembangunan. Ada salah satu bentuk pemiskinan batas salah satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh keyakinan gender. Pemiskinan berbasis gender ini berbeda jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marjinalisasi terhadap kaum perempuan, seperti karena kebijakan pemerintah, interpretasi agama, tradisi dan kebiasaan.

Scoot melihat beberapa persoalan lain dalam pemakaian konsep ini. Pertama, marginalisasi merupakan gejala relatif yang tak banyak signifikansinya kalau tidak dibandingkan dengan kerja laki-laki ataupun dengan kerja perempuan disektor atau daerah yang lain. Kedua, konsep ini tidak memberikan penjelasan mengapa marginalisasi perempuan bisa terjadi. Jadi, konsep tersebut lebih bersifat deskriptif daripada analisis. Kemudian, ia mengatakan pula untuk mencegah pendekatan yang statis, kita perlu melihatnya sebagai gejala yang prosesual dan relatif prosesual. Prosesual adalah bahwa marginalisasi harus dilihat berdasarkan perjalanan waktu. Relatif prosesual adalah bahwa bentuk marginalisasi yang dialami perempuan harus dibandingkan dengan yang dialami laki-laki.

Subordinasi (Penomorduaan)

para feminis sepakat bahwa subordinasi perempuan merupakan gambaran sentral dari semua struktur dominasi inter personal, namun feminis memilih lokasi dan penyebab subordinasi berbeda. Secara umum subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain. Bentuk subordinasi terhadap perempuan antara lain :

  1. Lebih banyak perempuan buta aksara dibandingkan laki-laki
  2. Laki-laki lebih bebas memilih pekerjaan/profesi daripada perempuan
  3. Mengurus pekerjaan rumah tangga dianggap kodrat perempuan

Kekerasan (Violience) Terhadap Perempuan

Teori feminis membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu meliputi segala bidang dan bahwa ia merupakan produk dari budaya patriarkhi dimana laki-laki menguasai institusi sosial maupun tubuh perempuan. Sosiolog feminis menyatakan bahwa kekerasan adalah bentuk perdebatan kekuasaan dalam perkawinan. Mereka menunjukan bahwa eksistensi dan skala penganiyaan istri dan kekerasan laki-laki dalam rumah tangga menjadikan persoalan kekerasan domestik sebagai contoh utama kekuatan yang saling berlawanan (negara, uang, hukum dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin) yang membentuk kehidupan perempuan. Sejarawan feminis mengungkapkan bahwa persoalan penganiyaan perempuan seringkali menjadi area keprihatinan sosial selama periode feminisme aktif, namun kekerasan tetap merupakan bagian perkawinan yang lazim dan terlembagakan di kultur Eropa (Binney, 1981).

Mereka menyatakan bahwa kekerasan laki-laki digunakan untuk mengontrol perempuan didalam aturan dan perilaku yang diperuntukan bagi mereka dan menyatakan bahwa kekerasan secara khusus digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksinya, misalnya dalam penggambaran simbolik dan ritual dari hubugan seksual (Brown, 1981). Kekerasan terhadap perempuan sama-sama merupakan sarana subordinasi perempuan dan bagian dari dominasi ideologis dan institusional.

Bentuk-Bentuk/Dimensi Kekerasan Terhadap Perempuan

Dalam kenyataanya, kekerasan terhadap perempuan lebih sering menunjukan bentuk gabungan dari dimensi-dimensi yang ada. Baik itu fisik, seksual, psikologis, finansial maupun spiritual. Karena ternyata salah satu dimensi kekerasan yang dialami perempuan akan menimbulkan bentuk kekerasan dalam bentuk dimensi yang lain. Oleh karena itu, sebenarnya perempuan yang mengalami kekerasan biasanya adalah kekerasan berganda, bukan hanya satu dimensi. Apabila kekerasan yang dialami oleh prempuan menimbulkan bekas fisik, sangat mungkin mudah disembuhkan dengan pertolongan medis, akan tetapi jika dampak yang ditimbulkan juga berakibat pada psikologis korban, inilah yang memerlukan penanganan lebih lanjut yang biasanya terlupakan. Kekerasan terhadap perempuan justru umumnya datang dari orang-orang terdekat korban.

Mengapa Terjadi Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan ?

Ada tiga konsep yang bisa dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, kekerasan terhadap perempuan merupakan produk sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perpekstif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah daripada laki-laki. Kedua, melebarnya pola-pola kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentunya, harus dijelaskan melalui konsep sosial ; yaitu bahwa struktur sosial yang memberikan hak-hak istimewa dan mengutamakan dominasi laki-laki akan direspons dengan pandangan-pandangan yang menganggap wajar sikap menomorsatukan kepentingan laki-laki dan mengesampingkan dan merendahkan perempuan, termasuk respons melakukan dan melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan. Ketiga, struktur sosial dan sosialisasi yang demikian, mempengaruhi individu untuk merespons dan bersikap dalam hidupnya.

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan utama dikeluarkanya Undang-Undang PKDRT adalah mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

  1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
  2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
  3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
  4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tercantum dalam UU PKDRT adalah :

  1. Kekerasan fisik
  2. Kekerasan psikis
  3. Kekerasan seksual
  4. Penelantaran rumah tangga

Kendala utama adalah tentang kendala kebiasaan, budaya, rasa malu, yang pada umumnya di sebagian masyarakat persoalan dalam rumah tangga adalah persoalan intern keluarga yang akan menjadi aib jika diungkap keluar rumah. Kendala-kendala tersebut terbagi kedalam dua kelompok. Pertama, bagi kalangan bawah yang berpendidikan relatif rendah, akan sulit melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya karena menganggap hal tersebut adalah hal wajar dan bukan tindakan melanggar hukum, dan mereka belum memahami UU PKDRT yang baru saja berlaku. Kedua, bagi kalangan atas yang berpendidikan tinggi, melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya mungkin merupakan beban yang sangat berat karena berkaitan dengan status, kedudukan, jabatan, dan prestise seseorang, sehingga para perempuan mengalami kendala psikologis yang berat.

Sumber :

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial. Semarang Unnes Press

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: