Studi Kasus Penguasaan Tanah Di Desa Sulursari

Hallo penikmat senja…

Postingan kali ini merupakan studi kasus penguasaan tanah di desa Sulursari yang merupakan domisili penulis sendiri dilihat dari perspektif Sosiologi Pedesaan. Artikel dibawah berisi bagaimana struktur penguasaan tanah hingga bagaimana kategori kemiskinan yang dilihat dari aspek pertanian. Artikel ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Pedesaan yang penulis tempuh pada saat semester empat. Semoga bermanfaat…

Struktur Penguasaan Tanah

Masyarakat desa Sulursari merupakan masyarakat pertanian dimana tanah merupakan bagian yang penting. Tanah bukan hanya sebagai tempat memproduksi bahan pangan, tetapi juga menjadi dasar kehidupan sosial. Penguasaan tanah akan mempengaruhi bagaimana masyarakat menciptakan kemandirian pangan. Dimana masyarakat tidak perlu membeli bahan pangan pokok yang dapat mereka hasilkan sendiri dari lahan pertanian tersebut, seperti halnya padi dan jagung. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai dengan kemampuan mengakses tanah. Proporsi petani pemilik penggarap lebih besar, namun luasan yang dimiliki sebagian masih sedikit. Tanah di desa Sulursari termasuk kedalam tanah kering, karena tanah disana mengandalkan air tadah hujan untuk mengairi sawah dan aliran sungai apabila musim penghujan. Selain pada musim penghujan, para petani tidak dapat menanam padi melainkan menanam tanaman yang tahan panas, karena karakteristik tanah yang kering.

Struktur penguasaan tanah oleh masyarakat di tingkat tertinggi di tempati oleh pejabat-pejabat desa, seperti Lurah, Seketaris Desa, Kamituo, Bayan, dan Kaur. Mereka adalah pejabat-pejabat desa mulai dari yang teratas hingga yang terendah. Pejabat desa mendapatkan jatah tanah dari negara yang disebut dengan tanah “bengkok”, dimana tanah tersebut nantinya akan dilelang kepada masyarakat dengan harga minimal Rp. 1.700.000 sampai maksimal Rp. 2000.000. Masyarakat yang memenangkan lelang dapat mengelola tanah tersebut selama satu tahun, hingga di adakanya lelang kembali. Tanah yang dimiliki para pejabat desa merupakan tanah pemerintah yang disebut tanah “prancangan”. Penguasa tanah kedua adalah petani kaya, dimana tanah yang petani itu miliki memiliki luas 1 hektar atau lebih. Meskipun seorang petani kaya tersebut dapat menyewakan tanahnya kepada petani lain, namun ia lebih senang memperkerjakan buruh tani daripada penyewa untuk menggarap tanahnya.

Setelah itu ada petani sedang, dimana luas tanahnya kurang dari 1 hektar. Sekedar cukup untuk kebutuhan diri sendiri dan tidak mempekerjakan buruh ataupun penyewa tanah. Kemudian ada petani miskin, dimana petani tersebut memiliki luas tanah yang sempit benar-benar tidak mencukupi untuk kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil. Terakhir adalah buruh tani tak bertanah, dimana petani tersebut tidak memiliki alat pertanian sama sekali dan bertempat tinggal diatas tanah milik orang lain atau menumpang.

Status Dan Bentuk Kepemilikan Tanah

Status dan kepemilikan tanah di desa Sulursari menyebar seperti halnya yang telah penulis jelaskan pada sub bab sebelumnya. Dimana status kepemilikan tanah yaitu milik pribadi, apabila tanah tersebut atas nama dirinya entah tanah tersebut didapatkan dari hasil warisan ataukah membeli dengan jerih payahnya sendiri dengan luas yang bervariasi. Yang kedua yaitu pemilik dengan jangka waktu tertentu seperti halnya para pejabat desa, dimana mereka menjadi pemilik atas tanah pemerintah dalam jangka waktu yang ditentukan. Namun, selama pejabat tersebut masih menjabat sebagai pejabat desa, maka ia diperbolehkan mengelola tanh tersebut sesui dengan inisiatifnya sendiri dengan syarat tidak merugikan masyarakat desa dan demi kesejahteraan masyarakat desa.

 Selanjutnya adalah penyewa, dimana petani tersebut dapat menggarap sawah apabila masih dalam masa sewanya. Hasil yang didapatkan melalui tanah sewaan tersebut 100% menjadi kepemilikan dari penyewa tersebut. Panjangnya masa sewa tanah serta harganya sesuai kesepakatan dengan pemilik tanah sebelumnya. Kemudian ada petani penggarap, dimana petani tersebut tidak memiliki tanah melainkan menggarap tanah milik orang lain. Petani ini berbeda dengan petani penyewa, karena petani penggarap tidak membayar uang sewa tanah, melainkan menggunakan sistem bagi hasil sesuai dengan hasil panen yang didapatkan. Pembagian tersebut biasanya setengah dari hasil panen, setengah untuk pemilik tanah dan setengah lagi untuk petani penggarap. Untuk biaya perawatan tanaman dan perawatan tanah pertanian di bebankan kepada petani penggarap.

Distribusi Kepemilikan Tanah

  1. Waris

Tanah yang didapatkan dari warisan biasanya didapatkan apabila kedua orang tua sudah meninggal. Namun ada pula yang orang tuanya masih hidup namun sudah membagikan tanah warisan untuk anak-anaknya. Hal ini bertujuan agar tanah warisa terbagi rata dan tidak timbul pertengkaran atau kecemburuan sosial antar anak, atas banyaknya wisan yang didapatkan. Dalam pembagian waris tidak ada ketentuan tentangbesar kecilnya setiap bagian harta yang harus dibagi, bergantung pada kesepakatan musyawarah di dalam keluarga (Sadikin, 2005).   Di pedesaan Jawa, luas tanah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Ini artinya, yang menjadi landasan hukum dalam waris adalah hukum nasional, bukan hukum agama (Islam). Pewarisan tanah biasanya dilakukan oleh petani yang secara fisik sudah tidak mampu lagi mengelola lahan pertaniannya sendiri. Tanah-tanah yang status kepemilikannya berasal dari warisan pada umumnya langsung diubah status kepemilikannya secara formal (Mahanani, 2005).

  1. Jual beli

Transaksi jual beli sering terjadi antara 2 belah pihak saja yaitu; pihak penjual dan pembeli. Tidak ada keterlibatan pihak desa atau instansi terkait (jual beli di bawah tangan). Kesepakatan untuk membeli dan menjual tanah didasarkan atas prinsip saling percaya. Bagi petani yang melakukan jual– beli, hal ini jelas memudahkan mereka. Hal ini terjadi karena tanah di dusun dianggap masih mempunyai fungsi sosial yang sangat besar dan tidak terkait dengan kepentingan pasar. Petani masih melihat tanah sebagaimana adanya, tanah sebagai aset yang harus diolah terlebih dahulu dan ditanami, tanah belum dilihat sebagai alat untuk memperoleh keuntungan memperjual belikannya. Namun, sebagian masyarakat di desa Sulursari sudah ada pula yang memiliki pemikiran dengan penjelasan di atas. Dimana dalam proses jual beli harus mengkaitkan instansi terkait dengan pihak desa. Untuk memperkecil kemungkinan adanya kecurangan didalam proses jual beli tersebut.

  1. Sistem bagi hasil

Usaha pertanian dengan sistem bagi hasil adalah upaya petani yang tidak memiliki tanah untuk tetap bisa bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan sistem bagi hasil petani penggarap tidak perlu membeli tanah tersebut, melainkan memberikan separuh dari hasil panen kepada pemilik tanah, dengan ketentuan segala hal yang berhubungan dengan penanaman seperti pupuk, benih, dan pengolahan tanah dibebankan kepada petani penggarap. Kebanyakan petani yang melakukan sistem ini masih memiliki hubungan kekerabatan, meskipun kerabat jauh.

  1. Sewa

Hak sebagai hasil sewa adalah hak seseorang untuk mengusahakan usaha tani diatas tanah orang lain dengan memberi sejumlah imbalan uang atau barang sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak setelah batas waktu sewa selesai, maka tanah dikembalikan pada pemiliknya. Di desa– desa saya ada beberapa macam istilah sewa yaitu motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan dan jual potongan. Di dalam motong, kontrak dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen dan di dalam sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan, harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap berbeda dengan harga sewa tanah bagi penyewa yang harus menunggu beberapa musim sebelum dapat menggarap tanah yang disewanya. Mereka yang harus menunggu beberapa musim kemudian baru menggarap memperoleh harga lebih murah daripada mereka yang langsung menggarap.

Ketunakismaan (Landlessness)

Beberapa keluarga di desa Sulursari tidak memiliki tanah pertanian, namun sebagian besar dari mereka melakukan sistem bagi hasil dan sewa, apa pula yang menjadi buruh tani atau pergi keluar kota untuk bekerja diluar bidang pertanian. Untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga, mereka yang tidak memiliki tanah pertanian melakukan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan tersebut. Masyarakat tunakisma hanya ada beberapa di desa Sulursari, karena mayoritas penduduk memiliki lahan pertanian meskipun tidak terlalu luas.

Sikap gotong-royong masyarakat masihlah sangat terasa. Terbukti ketika seorang tunakisma tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam, maka beberapa petani kaya dengan murah hati menawarkan tanahnya untuk digarap oleh tunakisma tersebut, karena rasa tak tega kepada sesama. Biasanya kebanyakan dari mereka akan memilih sitem bagi hasil, karena mereka tidak perlu mengeluarkan begitu banyak uang. Berbeda halnya dengan sistem sewa, yang mereka harus mngeluarkan banyak uang di awal untuk menyewa tanah, meskipun hasilnya 100% untuk mereka. Namun, mereka tetap lebih memilih untuk melakukan sistem bagi hasil.

Pendapatan Dan Distribusi Hasil Pertanian

Pendapatan bagi petani tidak dapat ditentukan, karena pendapatan mereka tergantung hasil panen yang mereka dapatkan. Hasil panenpun juga tergantung dengan musim atau cuaca yang terjadi. Maka tidak jarang apabila terkadang para petani mengalami gagal panen, karena cuaca yang tidak bersahabat begitu pula dengan serangan hama. Sehingga banyak dari para petani yang memilih merantau untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak tercukupi dari hasil panen tersebut. Pendapatan para petani tidak haya dari hasil panen, melainkan juga dari hasil bekerja disawa orang lain yang biasa disebut dengan “jagul”. Dengan bekerja di tanah orang lain para petani dapat mendapatkan uang tambahan untuk keperluan hidup sehari-hari.

Selain itu, distribusi hasil pertanian untuk pemilik dan penggarap sawah dalam sistem bagi hasil akan dibagi rata yaitu setengah dari hasil panen. Apabila dalam sawah seluas 1 hektar menghasilkan panen sebanyak 2 ton, maka pembagianya yaitu, 1 ton untuk pemilik tanah dan 1 ton untuk penggarap tanah. Lain halnya dengan sistem sewa, karena penyewa tanah telah melakukan pembayaran sesuai kesepakatan sebelumnya, maka seluruh hasil panen akan menjadi milik penyewa tanah tersebut. Untuk pemilik pribadi, hasil panen sudah tentu menjadi miliknya pribadi, entah kemudian dijual ataupun di simpan untuk kebutuhan sehari-hari sendiri.

Kategori Kemiskinan

Untuk kategori kemiskinan di desa Sulursari, dapat dilihat dari keadaan ssial da ekminya. Mereka yag berada dalam kategri miskin biasanya mempunya masalah pada perekonomianya. Masyarakat kategori ini biasanya tidak memiliki tanah, hewan ternak, dan tabungan. Mereka yang berada dalam kategri miski biasaya mendapatka perhatia lebih dari pemeritah da juga masyarakat sekitar. Mulai dari bantuan-bantuan berupa uang, makanan dan lain-lain. Masyarakat kategori ini biasanya mendapatkan jatah beras bulog dari pemerinytah dan juga bantuan langsung tunai, demi menunjang kelangsungan hidup mereka kedepanya.

Banyak dari mereka yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bergatug dari bantuan pemerintah dan tetagga, melainkan mereka mau bekerja apa saja yang mereka mampu lakukan. Menjadi buruh cuci, pekerja rumah tangga, dan membantu tetagga yang memerlukan tenaga berlebih. Karena desa Sulursari letaknya dekat denga hutan,biasanya mereka mencari kayu bakar dihuta da dijual kepada tetangga atau dijual kepasar. Pekerjaan apapun mereka lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: