hallo teman-teman…
Kali ini penulis akan membahas mengenai Back Door Java (Negara, Rumah Tangga, Dan Kampung Di Keluarga Jawa) . Dimana materi tersebut berada di dalam mata kuliah Kajian Etnografi yang penulis tempuh ketika Semester 3. Tugas review buku mengenai Back Door Java (Negara, Rumah Tangga, Dan Kampung Di Keluarga Jawa) tersebut bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai mata kuliah Kajian Etnografi yang penulis tempuh. Semoga bermanfaat….
Dewasa ini rumah merupakan suatu komponen utama dalam kehidupan manusia, terlebih dalam kehidupan berumah tangga. Berbagai macam bentuk rumah tersebar di seluruh bagian wilayah suatu negara, rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang di ciptakan oleh masyarakat suatu wilayah tertentu dimna rumah tersebut didirikan. Rumah merupakan suatu struktur yang memiliki bentuk simbolis dan bentuk fisik yang didalamnya terdapat makna dimana suatu kekerabatan dan kekeluargaan terjalin dengan erat. Selain itu bentuk-bentuk rumah juga memiliki makna-makna tersendirisesuai dengan filosofi masyarakat setempat. Begitu pula yang terjadi pada rumah-rumah masyarakat Jawa. Dimana rumah-rumah memiliki bentuk fisik yang sedemikian rupa yang didalam bentuk fisik tersebut memiliki berbagai makna tersembunyi yang telah mendarah daging didalam diri masyarakat Jawa itu sendiri. Bentuk-bentuk rumah tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap aktivitas individu yang menempati rumah tersebut.
Rumah Jawa memiliki beberapa bagian yang terpisah-pisah menjadi ruang depan dan ruang bagian belakang. Dimana ruang depan lebih didominasi oleh laki-laki sedangkan ruang belakang didominasi oleh perempuan. dari bagian ruang tersebut terdapat salah satu bentuk fisik yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap aktivitas individu pemilik rumah adalah pintu belakang rumah. Dimana pintu belakang di Jawa memiliki arti bagi hubungan kekerabatan, namun juga ada sisi pesan yang dikirimkanya mengenai hubungsn pertukaran dalam kampung dan masyarakat mengenai keadaan sosio-ekonomi warga kampung yang berubah-ubah. Namun pada dasarnya pintu belakang dan pintu belakang memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti untuk hubungan sosial dikampung, tetapi dari segi yang berlawanan dan jauh berbeda. Hilangnya pintu belakang pada sebuah rumah dapat berpengaruh sangat besar terhadap aktivitas masyarakat. Pengaruh tersebut berupa hambatan-hambatan yang terjadi apabila diadakanya suatu kegiatan dirumah tanpa pintu belakang tersebut. Hilangnya pintu belakang juga memutus hubungan kekerabatan dengan tetangga terdekatnya. Dimana hal tersebut sangat dihindari oleh masyarakat Jawa, sehingga bagi masyarakat Jawa sebuah rumah harus memiliki pintu belakang. Pintu belakang tersebut bukan semata-mata pintu biasa, melainkan memiliki makna dan fungsi yang sangat besar bagi kehidupan sosial dan kekerabatan bagi individu pemilik rumah dengan tetangga-tetangga disekitar rumahnya begitupun sebaliknya.
Penelitian mengenai pintu belakang rumah Jawa tersebut dilakukan oleh seorang etnografer yaitu Jan Newberry di kampung Rumah Putri Yogyakarta. Peneliti menggunakan metode penelitian observasi lapangan, dimana Jan Newberry ikut terjun menjalani kehidupan di rumah Jawa bersama berbaur dengan masyarakat Jawa. Rumah peneliti yang tidak memiliki pintu belakang sangat menghambat aktivitasnya sebagai pemilik rumah tersebut. Sehingga peneliti menuliskan segala pengalamanya selama menempati rumah tersebut kedalam karya etnografinya tersebut. Observasi lapangan yang dilakukan oleh peneliti menyebabkan peneliti merasakan secara langsung, bahagaimana kehidupan sosial masyarakat tersebut berlangsung, bagaimana interaksi, komunikasi serta bagaimana pentingnya peran pintu belakang tersebut di dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Back Door Java
Back Door Java merupakan sebuah buku etnografi karya Jan Newberry yang mengupas budaya kelas pekerja sebagai cara untuk memahami interaksi anatara masyarakat kampung dengan kekuasaan negara dan dampak kekuasaan negara di kampung rumah putri Yogyakarta. Terutama pada pekerjaan dan kehidupan kaum perempuan. Untuk meneliti kehidupan masyarakat kampung rumah putri, peneliti harus berbaur dan menjadi ibu rumah tangga seperti kebanyakan perempuan di kampung tersebut. Dengan menjadi bagian dari masyarakat, peneliti bisa melihat sendiri fenomena-fenomena apa saja yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat kampung Rumah Putri tersebut.
Pandangan peneliti mengenai “kampung” awalnya adalah sebuah daerah padat penduduk di kota dan rumah-rumah yang berhimpitan dibelakang gedung-gedung dan jajaran toko. Pandangan tersebut kemudian berubah setelah peneliti memasuki kampung rumah putri. Kampung rumah putri memiliki jalan utama yang lebar dan tidak terdapat bangunan rumah yang berhimpitan. Di sepanjang jalan dapat terlihat rumah-rumah besar dan permanen serta banyak pohon rindang di pinggiranya. Beberapa jalan di kampung rumah putri cukup lebar untuk dilalui sebuah mobil. Kampung rumah putri hampir terlihat seperti pedesaan karena terdapat lapangan terbuka, ruang terbuka seperti kebun serta sawah. Peneliti juga menemukan bahwa dibalik jalan-jalan dan rumah-rumah yang besar itu terrnyata terdapat rumah-rumah yang lebih kecil di gang-gang kampung. Rumah-rumah itu biasanya terbuat dari bambu, bukan berdinding semen dan lantainya adalah tanah. Selain kecil, rumah itu juga dihuni oleh banyak anggota keluarga, sehingga mereka harus hidup secara berdesak-desakan. Masyarakat kampung rumah putri yang diteliti oleh Jan Newberry merupakan “orang kebanyakan”. Peneliti menyebutkan bahwa masyarakat kampung rumah putri bukan pelopor dan penggerak modernisasi bangsa Indonesia. Meskipun begitu, mereka juga dikatakan “tidak miskin-miskin amat”. Mereka bukan petani khas jawa yang membanting tulang di sawah.
Di kampung sangat ditekankan bahwa menerima dan menyuguhkan makanan kepada tamu harus tidak mencolok. Di sini pintu belakang memainkan peranan yang sangat penting karena, pertama dapat menimbulkan kesan bahwa menerima tamu dilakukan dengan mudah, dan kedua pintu belakang memungkinkan menyembunyikan semua kegiatan pertukaran dan konsumsi yang harus dilakukan dalam mempersiapkan penerimaan tamu. Sama halnya dengan pertukaran antar rumah tangga harus tertutup, tidak kentara, dan tanpa kesulitan sama sekali. Oleh karena itu, keberadaan pintu belakang rupanya menjadi arus lalu-lintas manusia Jawa demi menjalin kekerabatan, rasa sosial, interaksi antar tetangga, hingga urusan klenik dalam rumah tangga.
Ada dua persoalan kunci yang dikupas oleh peneliti dalam analisis awal mengenai rumah tangga, atau produksi dan konsumsi rumah tangga. Pertama, adanya penggabungan didalam rumah tangga, dan kedua merupakan batas-batas antara adat saling berbagi dan aturan moral yang menjadi ciri unit rumah tangga dan kepentingan pribadi yang melandasi kegiatan ekonomi, sosial, kekerabatan dan lain-lain. Ada sebuah komponen kunci dalam interpretasi Halperin tentang perawatan rumah tangga, yaitu fokus utama kegiatan ekonomi ialah pemenuhan kebutuhan ekonomi (provisioning) jaringan keluarga dengan ‘cara kentucky’, sebuah pola “strategi-strategi yang beragam dan saling terkait untuk menjalani kehidupan” yang mengintregasikan keluarga-keluarga batih yang hidup terpisah dari sisi tata runag karena sanak keluarga diharapkan saling membantu sesuai dengan keperluan (Halperin 1994:152). Perawatan rumah tangga dapat melibatkan individu, pasangan, atau kelompok serta rumah tangga. “model perawatan rumah tangga memungkinkan kita memahami batas-batas rumah tangga sebagai satuan pemenuh kebutuhan” (Halperin 1994:149).
Kehidupan rumah tangga dan ide rumah kediaman ideal juga menempatkan perempuan sebagai pengawl tradisi. Disingkirkanya perempuan dan rumah kediaman dari dunia niaga dan industri yang terus meluas mengandung implikasi bahwa bidang rumah tangga terkait dengan pelestarian tradisi. Di Jawa, perempuan dilihat sebagai perantara antara dunia adat dan nilai-nilaikelas menengah. Seperti misalnya nilai-nilai yang menggalakan peranan ibu rumah tangga. Pentingnya kegiatan sehari-hari perempuan dalam rumah tangga sebagai pengukur budaya telah disadari sejak dari awal. “Upacara adat dan kegiatan sehari-hari perempuan dalam kehidupan sehari-hari, pada giliranya, berperan sebagai pengukur makna dan keaslian tradisi” (Gouda 1995:81). Seperti kata Kardinah, saudara perempuan Kartini, pada 1914 kekuatan sebuah budaya terletak dalam “pelestarian kemurnian perempuan” dan perempuan harus berperan sebagai “malaikat penjaga” nilai-nilai spiritual dan budaya terbaik dari tradisi Jawa (Gouda 1995:80-81).
Tidak ada tempat bagi kontradiksi dan kekaburan tentang perempuan ideal dan rumah kediaman menampakan diri secara lebih tajam daripada ketika ide perempuan ideal dan rumah kediaman digunakan sebagai dasar revolusi nasional, seperti halnya ketika ide itu digunakan sebelumnya untuk melestarikan kekuasaan penjajah. Peranan aktif yang dimainkan kaum perempuan dalam revolusi nasional sering mengakibatkan berkurangnya kebebasan mereka, karena keberhasilan mereka dalam berperan sebagai simbol tradisi asli menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat umum dan politik.
Moralitas kampung bergantung lebih daripada pada perilaku kaum perempuan, walaupun kaum perempuan seperti dikumandangkan oleh semboyan-semboyan PKK, memang merupakan titik kritis persinggungan antara rumah tangga dn masyarakat. Persoalan utama menurut masyarakat kampung yang terus menerus dan tanpa variasi dikemukakan adalah persoalan nilai kehidupan kampung. Meskipun ada ketimpangan besar antara retorika dan praktik gotong royong, buktu kerjasama antara masyarakat kampung jelas ada. Pemakaman masih mendapatkan dukungan terkuat dari para tetangga, jika ada orang sakit atau mengalami kesulitan maka individu tersebut juga akan dibantu oleh masyarakat. Namun ada beberapa bentuk kerjasama masyarakat yang mulai hilang seiring dengan perubahan dalam kehidupan perkotaan.
Etika masyarakat dapat dikerahkan sebagai bentuk yang kuat untuk kontrol setempat. Bahwa ada moralitas penting yang melekat pada kehidupan kampung jelas ketika peneliti berurusan dengan tetangga-tetangga peneliti. Masrayakat kampung terus-menerus membicarakat tentang kehidupan di kampung dan kehidupan diluar kampung. Menurut mereka hidup lebih aman dikampung, warga lebih akrab dan tolong-menolong dikampung. Mereka yang tidak mematuhi etika umum kehidupan kampung menjadi bulan-bulanan berbagai jenis cara untuk membawa mereka kembali kejalan yang benar menurut nilai-nilai lokal. Namun, ada akibat-akibat yang tidak diharapkan dalam moralitas masyarakat tersebut.
Penggunaan kaum perempuan sebagai alat untuk menghasilkan reproduksi sosial berbiaya rendah bertumpu pada ideologi kehidupan rumah tangga yang tepat. Istilah “rumah kediaman” tersebut berkaitan berkaitan dengan ide bahwa tempat kaum perempuan sejatinya adalah dirumah, mengasuh anak, masyarakat dan pada akhirnya negara. Bagian tersebut membahas hasil-hasil penelitian mengenai asal-usul ideologi perempuan tempatnya dirumah di Barat, dan kemudian membahas bagaimana ideologi tersebut berkembang dan digunakan di negara kita.
Kesimpulan
Penelitian yan dilakukan oleh etnografer asal Amerika, Jan Newberry, mungkin memang sudah lama. Tetapi tetap menarik bagi saya. fokus dari penelitian ini sebetulnya ada dua, yaitu meneliti kegiatan perkumpulan nasional untuk ibu rumah tangga (PKK) dan meneliti kehidupan orang Jawa kelas pekerja diperkotaan yang lebih menitik beratkan pada makna dari adanya pintu belakang suatu bangunan rumah. Agak sulit bagi saya untuk memahami semua isi buku karangan Jan Newberry ini karena banyak kalimat-kalimat khas etnografi yang kurang saya mengerti. Namun, saya menyukai buku ini karena tertarik pada gambaran mengenai kehidupan masyarakat sebuah kampung bernama Rumah Putri. Sebuah kampung yang terletak di tengah kota Jogjakarta dan berbatasan langsung dengan keraton. Kampung Rumah Putri sering dikaitkan dengan adanya hubungan warga-warga kampung dengan keraton Jogjakarta.
Daftar Bacaan
Newberry, Jan, 2013. Back Door Java; Negara, Rumah Tangga, dan Kampung Di Keluarga Jawa. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.