Memahami Antropologi Terapan

head-bimasenaRuang Lingkup Antropologi : Seberapa luas cakupannya?

Objek kajian Antropologi tidaklah selalu berkaitan dengan hal-hal primitif, peninggalan masa lalu, orang-orang aneh yang tinggal di tempat yanh jauh, ataupun hal-hal lain yang bagi masyarakat umum adalah asing. Sebagai contoh Pada tahun 1990-an, Latif Wiyata melakukan penelitian di Madura terkait tradisi Carok sebagai Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Dari penelitian itu, dapat kita lihat bahwa seorang peneliti Antropologi juga meneliti orang lokal (dalam negeri) sebagai objek penelitiannya. Lalu Antropologi yang sebenarnya itu seperti apa? Apakah pernyataan “Jika membicarakan segalanya, segala yang ingin di bicarakan, kemudian apa saja menjadi bahan pembicaraan, sama halnya dengan tidak mebicarakan apapun” berlaku pada Antropologi?

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita lihat apa itu kebudayaan, apakah semua hal yang dilakukan manusia sebagai objek kajian Antropologi merupakan kebudayaan? Menurut kaum klasik, hampir tidak ada yang ada dan melekat dalam diri manusia yang tidak dianggap budaya kecuali perilaku refleks dan mimpi. Jadi, tidak semua yang dilakukan manusia merupakan kebudayaan, sehingga tidak semua yang dilakukan manusia merupakan kajian Antropologi. Kata “keseluruhan” yang dimaksud dalam konsep kebudayaan Koentjaraningrat bukan berarti segala hal yang terkait manusia merupakan kebudayaan/kajian Antropologi. Orang yang melakukan refleks dan mimpi merupakan tindakan yang dilakukan tanpa sadar, jadi tidak disebut sebagai kebudayaan dan tidak termasuk dalam kajian Antropologi. Meskipun dalam Antropologi juga mengkaji tentang, politik, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya, bukan berarti bahwa Antropologi juga mempelajari semua yang dipelajari dalam disiplin ilmu-ilmu tersebut. Misalkan dalam kajian Antropologi kesehatan, bukan berarti yang dipelajari adalah ilmu-ilmu dalam kesehatan secara menyeluruh sebagaimana dipelajari oleh calon dokter, melainkan bahwa Antropologi Kesehatan sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari hasil tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya di sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Antropologi merupakan ilmu yang mengkaji segala tindakan manusia yang dilakukan secara sadar baik oleh individu ataupun kelompok yang telah disepakati bersama dan dijadikan milik bersama (Koentjaraningrat, 1988).Tindakan yang dimaksud bisa berupa bentuk ide/gagasan, tindakan, maupun hasil dari tindakan tersebut, seperti wujud material, yang dilakukan masyarakat primitif ataupun modern.

Sifat Kebudayaan dalam Atropologi yang Dinamis-Adaptif

Kebudayaan bersifat adaptif, berarti bahwa kebudayaan selalu menyesuaikan kebutuhan manusia pada zamannya baik individu maupun kelompok. Sedangkan sifat dinamis yang dimaksud adalah bahwa kebudayaan itu selalu mengalami perubahan baik ke arah yang lebih baik, maupun sebaliknya. Kebudayaan dengan sifat yang demikian diibaratkan sebuah adonan kue yang hendak dituangkan ke cetakan yang kemudian dimasak. Bentuk dari kue yang akan dibuat tentu akan mengikuti bentuk cetakan sesuai kehendak pembuatnya (adaptif). Dan bentuk adonan yang semula lembek seperti lumpur, bisa berubah menjadi kue (dinamis).Hasilnya setelah dimasak pun ada yang enak (progres), ada yang tidak enak (regres). Jadi, bisa dikatakan pula kalau kebudayaan itu elastis.

Sebagai contohnya, kita bisa melihat kejadian masa lalu dimana kebudayaan Belanda bercampur dengan kebudayaan Jawa hingga membentuk kebudayaan Indis. Kehadiran orang Belanda mempengaruhi gaya hidup, arsitektur, dan perlengkapan hidup, serta ketujuh unsur universal kebudayaan. Bukan hanya budaya Belanda yang mempengaruhi Kebudayaan Jawa, tetapi juga sebaliknya, orang Belanda yang hadir di Jawa terdesak dengan kebutuhan untuk menyesuaikan dengan iklim, alam sekeliling, kekuasaan, dan tuntutan hidup sesuai daerah tropis, mereka mendirikan rumah dan peralatan hidup sesuai dengan keadaan alam sekeliling. Untuk kepentingan ini, pihak Belanda pun mengambil unsur budaya setempat (Batavia: G.Kolf, 1923). Dari contoh tersebut dapat kita lihat bagaimana cara-cara penyesuaian yang bersifat fisik-geografis, dan lingkungan sosialnya.

Contoh lain yang bisa diambil dari masa kini adalah bergesernya makna dari tradisi kungkum di tugu Suharto (Semarang), dan tradisi Carok di Madura. Dulu tradisi kungkum merupakan tradisi yang sakral dan dianggap membawa kemakmuran, tapi akibat pergeseran nilai atau cara pandang penduduk setempat terhadap tradisi tersebut, kini Kungkum pada setiap malam satu suro hanya sekedar tradisi turun-temurun saja. Sedangkan dalam tradisi Carok di Madura, sebenarnya bertujuan untuk hal yang berkaitan dengan jati diri seseorang yang dilakukan dengan cara bertarung memakai Celurit sebagai senjatanya. Namun siring berkembangnya zaman, tradisi tersebut mulai bergeser makna menjadi sebuah seni bela diri khas Madura yang terkadang dipentaskan sebagai ajang pertunjukan kearifan budaya lokal. Dari kedua contoh tersebut, dapat kita lihat bagaimana pergeseran nilai mempengaruhi perubahan kebudayaan.

Antropologi Murni vs Terapan

Antropologi murni dan terapan keduanya memiliki persamaan yakni sama-sama mengkaji tentang manusia dan kebudayaannya, sementara perbedaanya adalah, kalau Antropologi murni, sebagaimana ilmu murni yaitu ilmu yang membahas, mendalami & mengembangkan ilmu itu sendiri, jadi fokusnya pada teori yang ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru, tanpa menggunakannya dalam masyarakat. Dalam kajian Antropologi murni, umumnya membahas tentang masyarakat primitif dengan keunikan budayanya. Sedangkan Antropologi terapan, sebagaimana ilmu terapan yakni, ilmu yang menggunakan pengetahuan dalam antropologi untuk masyarakat, jadi, kita menempatkan teori-teorinya untuk kemudian diaplikasikan dalam pemecahan masalah dalam kehidupan masyarakat. Antropologi terapan pada umumnya membahas tentang kebudayaan masa kini, karena tujuan dari ilmu itu sendiri adalah untuk menolong mencari solusi masalah praktis kemanusiaan & untuk memfasilitasi pembangunan.

Contoh kasus kaitannya dengan penggunaan Antropologi murni yaitu, penelitian yang dilakukan oleh Hildred Geertz tentang keluarga Jawa. Dalam penelitiannya, Geertz hanya melakukan riset tentang keunikan kebudayaan asli setempat, tanpa melakukan perubahan atau membangun kebudayaan tersebut. Jadi peneliti membiarkan keaslian budaya setempat sebagai keunikan budaya yang khas dari daerah yang dijadikan sasaran penelitiannya. Sedangkan contoh kasus yang berkenaan dengan Antropologi murni yaitu adanya upaya memperbaiki suku bangsa Indian di Amerika. Jadi dalam kasus ini, setelah peneliti melakukan studi mengenai masyarakat Indian, yang kemudian melanjutkan studi mengenai bagaimana cara meningkatkan taraf hidup orang Indian. Perbaikan suku Indian yang dimaksud adalah bahwa bangsa Indian sebagai penduduk asli Amerika memiliki taraf hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan para pendatang. Sehingga perlu adanya pembangunan pada suku tersebut agar taraf hidup mereka bisa setara dengan taraf hidup suku bangsa pendatang(ras kulit putih).

Sedangkan kita sebagai mahasiswa yang mempelajari Ilmu Antropologi, setelah lulus nanti akan jadi apa? Sebagai mahasiswa yang mempelajari Antropologi kita dihadapkan pada dua pilihan fokus disiplin ilmu dalam Antropologi, yaitu apakah kita lebih memilih Antropologi murni yang sebatas mempelajari teori-teori dan perkembangannya, ataukan Antropologi terapan yang menempatkan teori-teori tersebut untuk kepentingan pembangunan. Jika kita lebih mengarah ke Antropologi murni, tentu kita hanya sebatas mempelajari manusia dengan kebudayaannya yang unik saja. Sehingga kita membiarkan kebudayaan itu tetap asli sebagai kearifan lokal tanpa merubahnya. Jika lebih mengarah ke Antropologi terapan, berarti selain kita melakukan studi budaya masyarakat tertentu, kita juga harus melanjutkannya untuk mempelajari bagaimana membangun budaya masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat yang menjadi objeknya. Jadi, kita merubah dalam arti membangun suatu budaya tertentu, agar taraf hidup masyarakatnya menjadi lebih baik.

Referensi

  1. Marzali, Amri.2002.Ilmu Antropologi Terapan Bagi Indonesia Yang Sedang Membangun.Universitas Indonesia
  2. Soekiman, Djoko.2001.Kebudayaan Indis.Komunitas Bambu
  3. Bahan ajar Pengantar Antropologi oleh Harto Wicaksono, S.pd, M.A

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: