Kain Rajut Simbah

“Uhuk-uhuk.” aku terbatuk saat debu-debu beterbangan setelah ku kibas kain rajut yang aku ambil di lemari tua yang sudah dimakan usia, aku ingat lemari berwarna coklat susu itu ku gunakan menyimpan baju–baju ku di saat usia ku masiih berumur 8 tahun. Mataku kembali memperhatikan kain rajut yang sedang aku pegang terlihat kusam dan penuh debu, Aku baru tersadar bahwa itu adalah kain yang aku buat bersama simbah, terlihat coraknya yang sebagian lebih bagus dan rapi, dan sebagian lagi tak beraturan, ya memang bagian yang tak beraturan itu adalah bikinanku dan yang lebih bagus adalah bikinan simbah.

Terbayang-bayang memoriku bersama simbah, saat berumur 9 tahun aku meminta kepada simbah untuk mengajari cara merajut, walaupun susah aku tetap bersemangat.

“Nduk mbok uwis leh ngrajut di rampungke sesuk wae, wis bengi iki ndang turu.” Kata simbah sambil mengambil rajutan yang ada di tangan ku

“Halah….simbah ki lho gek seru ki mbah, hoaamm…” kata ku sambil menguap.

“Kae to wis ngantuk, ayo ndang turu mengko di seneni ibu bapak mu lho.” Kata simbahku sambil menggandeng tanganku menuju kamar ku.

Karena mengantuk aku menurut saja saat tangan simbah menggandeng tanganku. Setelah sampai di kamar aku langsung meletakkan badanku di atas kasur, disaat itu pula simbah menutupiku dengan selimut.

“Mbah mbok sekali-kali simbah bobok sama aku! Disini!” kataku sambil menepuk-nepuk kasur.

“Yo ra iso to nduk wong kasur mu iku cilik mengko nek ambrol ora sido turu, njuk kepriwe.” Kata simbah sambil mengelus rambutku.

“Gak pa pa mbah, nih masih cukup kan buat simbah.” Aku menggeser badanku sampai kira-kira simbah bisa tidur denganku,

“Yo wis simbah nunggu ning kene wae yo.” Kata simbah dengan menarik kursi belajar ku untuk di dudukinya.

“Horeee….tapi mbah aku di garuki ya, ben cepet bubuk.” Kata ku sambil membelakangi simbah.

“Yo kene punggung to sing di garuki?” kata simbah mulai menggaruk punggungku.

Aku sudah tidak bisa menjawab lagi hanya kepala ku sajalah yang bisa mengangguk.

Setelah pagi tiba terlihat kain rajutku yang semalam terletak di meja ruang tv sudah selesai dirajut dengan baik.

Dalam hati ku “pasti simbah yang bikin.”

“Simbaaah……pasti simbah ya yang nyelesai-in rajutan ku?”

Aku selalu tersenyum saat mengenang peristiwa ini, karena peristiwa ini aku merasa simbah ada di dekat ku selalu.

Tetapi aku juga merasa sedih simbah sekarang hanya ada di bayang-bayangan ku saja sekarang dia tidak lagi nyata. Aku bergegas untuk mencuci kain rajutan itu. Dan akan ku pakai besok saat kuliah.

Esok harinya di kampus, aku senang sekali saat memakai kain rajut ini. Kain rajut ini tidak seperti kain rajut biasa, model nya yang seperti rompi dan bernuansa modern saat ku padankan dengan baju ku. Dan kain rajut ini juga membuat ku merasa lebih dekat dengan simbah.

“Rompi mu bagus Dhill, beli dimana?” tanya Dea saat bertemu denganku di lorong kampus. Dea adalah temanku dari kecil, Dea juga kenal baik dengan simbah ku.

“Aku nggak beli kok? Emang beneran bagus ya?” jawabku sambil memperhatikan bajuku.

“Serius bikin sendiri? Aku ajari juga donk!”

“Boleh, tapi aku sedikit lupa nih cara bikinnya.”

“Emang kapan kamu bikinnya Dhill?”

“Waktu umurku 9 tahun.”

“Hah? Lama amat, kamu inget-inget dulu deh cara bikinnya!”

“Iya deh, hmm..masuk yuk” tak terasa kelas sudah ada di depan mata, kami pun masuk dan duduk berdampingan.

Aku tak mengira kalau teman-teman kampusku merespon positif kain rajut ini, banyak dari mereka memuji dan malah ingin membelinya.

Aku hari ini berniat untuk mengunjungi makam simbah setelah pulang kuliah. Tak lupa aku membeli bunga terlebih dahulu di toko bunga. Sesampainya ditoko bunga aku bertemu dengan seorang cowok yang familiar dan seumuran denganku, tapi aku tak ingat itu siapa.

“Hmm…bajunya bagus mbak.”

“Makasih mas.” Aku tersipu.

“Buat sendiri?”

“Iya.”

“Baru pertama kali saya melihat baju yang anda kenakan. Oh iya perkenalkan saya Rudi Lou, boleh saya meminta nomor telepon anda? Mungkin kita bisa membuat bisnis bersama.”

“Maaf Rudi Lou yang desainer itu ya? Oh tentu boleh.”

Tak kusangka aku bertemu dengan desainer terkenal, dan dia mengajakku berbisnis bersama.

Sesampainya di makam simbah. Aku menceritakan semua yang aku alami itu di depan makam simbah, dan berterimakasih atas pelajaran merajutnya simbah, karena kesabaran simbah aku bisa merajut, dan dengan kain rajutan itu aku bisa menuju dunia perbisnisan yang telah lama aku impikan.

Terimakasih simbah, aku bangga dan bahagia punya simbah seperti simbah ku semoga semua pelajaran dari simbah untuk ku bisa aku tularkan kepada orang lain. Dan semoga simbah bahagia di samping Allah SWT. Terimakasih simbah, aku sayang simbah

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: