Masyarakat Jawa dikenal banyak orang sebagai masyarakat yang berbudaya adiluhung, halus, penuh tata krama dalam setiap perilakunya pada kehidupan sehari-hari sehingga tidak sedikit masyarakat –baik orang Jawa itu sendiri maupun bukan—berasumsi bahwa masyarakat Jawa memiliki kebudayaan tinggi. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tidak pula salah. Menilik orang Jawa terdahulu, yaitu pada zaman kerajaan, Kerajaan Jawa sering melakukan peperangan baik dengan kerajaan yang juga berada di Jawa maupun dengan kerajaan di luar Jawa. Bahkan, Kerajaan Jawa pernah menaklukan wilayah se-Nusantara yang luasnya melebihi wilayah Negara Indonesia sekarang ini, yaitu ketika masa Patih Gajah Mada. Dari hal demikian, nampaknya asumsi bahwa masyarakat Jawa adalah orang yang berprilaku halus terasa tidak tepat. Hal tersebut malah lebih mengarah pada asumsi bahwa masyarakat Jawa tidak berbeda jauh layaknya penjajah dari Eropa yang berkeinginan menguasai daerah seluas-luasnya.

Tidak salah pula asumsi bahwa masyarakat jawa memiliki kebudayaan yang halus. Hal demikian ditunjukkan dari cerita-cerita wayang dimana Ksatria Jawa tetap bertindak alus sekalipun dalam pertarungan dengan musuh, seperti pada cerita Arjuna yang mengalahkan Buto Cakil dengan gerakan sederhana tapi menyimpan energi yang besar. Perkembangan zaman secara terus menerus dan pesat dapat dianggap sebagai salah satu penyebab berubahnya karakter orang Jawa tersebut. Dari peristiwa Reformasi 1998 terlihat bahwa rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa, menuntut Bapak Soeharto melepaskan jabatannya sebagai presiden dan menghendaki terwujudnya negara yang demokratis dimana hal tersebut dilakukan dengan tindakan kekerasan sehingga terjadi banyak kekacauan di negeri ini. Namun, berbeda dengan tindakan rakyat di Keraton Yogyakarta dimana gerakan Reformasi tidak dilakukan dengan berbuat kekacauan. Hal ini lebih sesuai dengan sifat orang Jawa yang menjunjung tinggi sikap rukun, urmat, dan isin. Mereka melakukan pisowanan ageng, yang dapat pula diartikan sebagai bentuk kekuatan rakyat untuk memaksa turunnya penguasa. Dalam hal tersebut rakyat berbondong-bondong berkumpul di Keraton Yogyakarta bersama Sultan Hamengkubuwono X dengan damai disertai hadiah gunungan garebeg. Mereka tetap memegang jargon “Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti”, bahwa angkara murka sampai kapanpun akan kalah dengan keluhuran budi. Namun, sekarang ini banyak dari orang Jawa yang telah kehilangan karakter luhurnya. Perilaku kesehariannya, sering diwarnai dengan kebiasaan-kebiasaan orang Barat, yang seakan-akan merupakan kebudayaan terbaik, meskipun terkadang tidak sesuai dengan nilai pada kebudayaan Jawa itu sendiri.