Tanggal 1 Suro adalah awal dari tahun penanggalan Jawa. Pada hari tersebut, berarti juga terjadi pergantian tahun. Biasanya pergantian tahun Jawa terjadi bersamaan atau selisih sedikit dengan pergantian tahun Hijriyah, karena asal usul penanggalan Jawa juga tidak terlepas dari penanggalan Hijriyah. Banyak masyarakat yang menganggap waktu tersebut adalah waktu sakral, terutama pada masyarakat Jawa yang memang masih kental dengan hal-hal demikian.

Peringatan 1 Suro atau yang sering disebut dengan Suronan, biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan berdo’a dan selamatan. Pada masyarakat yang kental pengaruh Islamnya, biasanya suronan dilakukan dengan berdo’a bersama dan pengajian di Musholla atau Masjid. Hal tersebut kebanyakan terdapat di daerah-daerah pesisir, seperti Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, dan sebagainya. Sedangkan di daerah pegunungan, Suronan dilakukan dengan disertai tradisi-tradisi khas daerah setempat yang lebih kental daripada daerah pesisir, salah satunya adalah Suronan pada Keraton Surakarta maupun Jogjakarta yang dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan Jawa. Namun, kali ini saya hanya memfokuskan pada peringatan Suronan di Keraton Surakarta. Lebih tepatnya lagi di Pura Mangkunegaran yang masih merupakan istana bagian dari Keraton Surakarta, karena ketika observasi kemarin ternyata hanya bertepatan dengan Suronan Pura Mangkunegaran. Pada tahun ini, kebetulan Suronan Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran tidak bersamaan. Hal ini baru pertama kali terjadi, padahal dari dahulu acara Suronan dilaksanakan secara bersamaan antara Keraton Surakarta dengan Pura Mangkunegaran.

Keraton Surakarta setiap tahun melaksanakan tradisi Suronan. Suronan dilaksanakan untuk menyambut datangnya tahun baru penanggalan Jawa, berbeda dengan kebanyakan daerah dimana pemaknaan Suronan merupakan penyambutan awal tahun Hijriyah, yaitu 1 Muharram. Oleh karena itu Suronan di Keraton Surakarta –berlaku juga di Keraton Jogjakarta—tidak selalu bersamaan dengan tahun baru Hijriyah. Hal tersebut terjadi pada Suronan tahun ini, dimana tahun baru Hijriyah jatuh pada malam Rabu, 14 Oktober 2015, namun Suronan dilaksanakan pada malam Kamis sehari setelahnya, namun Pura Mangkunegaran melaksanakannya pada malam Rabu. Dilaksanakannya Suronan bertujuan untuk mendapatkan keselamatan di tahun yang baru, dimana terdapat anggapan bahwa pergantian tahun adalah pergantian kosmis. Mereka percaya bahwa kehidupan terus berputar, terkadang mendapati masa kejayaan, terkadang pula akan mendapati masa kemunduran. Maka dari itu Suronan juga menjadi sarana mawas diri (introspeksi diri). Hal yang terjadi pada tahun lalu digunakan sebagai pembelajaran untuk menjalani kehidupan di tahun mendatang agar diperoleh kehidupan yang lebih baik.

Walaupun terdapat perbedaan waktu pelaksanaan Suronan antara Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, namun masyarakat tetap berantusias mengikuti keduanya. Masyarakat setiap tahun tidak bosan mengikuti Suronan, terbukti dari padatnya jalan di sekitar Keraton Surakarta setiap acara Suronan. Antusiasme masyarakat salah satunya saya ketahui dari simbah –yang saya lupa menanyakan namanya—asal Sragen yang ternyata beliau menuju ke Pura Mangkunegaran dengan berjalan kaki, padahal jaraknya sejauh 17 Km dan beliau melakukan itu setiap tahun ketika Suronan. Saya mendapat informasi menarik dari penuturan simbah tersebut bahwa sebetulnya untuk mengikuti Suronan di Pura Mangkunegaran maupun Surakarta, diutamakan jalan kaki dari rumah tinggalnya masing-masing sebagaimana yang dilakukan orang-orang terdahulu. Jiika memang tidak kuat melakukan hal itu maka barulah menggunakan kendaraan untuk menuju ke Pura Mangkunegaran maupun Surakarta. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat masih meyakini nilai-nilai yang terkandung dalam acara Suronan yang telah dilakukan oleh leluhur mereka sejak zaman dahulu.

Antusias masyarakat tidak hanya terdapat pada masyarakat Solo sebagai bagian dari keluarga besar Keraton, namun tidak sedikit pula pengunjung dari luar daerah itu seperti orang yang saya temui yang berasal dari Rembang, Pati, dan tidak menutup kemungkinan pula dari daerah-daerah lain. Mereka datang bersama keluarga, teman, maupun pacar dengan tujuan sekadar menyaksikan ataupun secara sungguh-sungguh mengikuti prosesi acara Suronan. Bahkan, pengunjung yang berasal dari luar Solo pun ada yang setiap tahun rutin menghadiri Suronan. Semua pengunjung –baik masyarakat Solo maupun pengunjung dari luar—menyatu bersama keluarga Keraton Surakarta, tak memandang kaya atau miskin, tua ataupun muda. Hal itu merupakan pemandangan yang sangat indah dimana pemimpin dan rakyat saling bersatu, guyub rukun.

Persiapan acara Suronan di Mangkunegaran dimulai sejak sore, yaitu setelah waktu Ashar. Dilakukan pembersihan pusaka-pusaka istana terlebih dahulu sebelum nantinya di bawa ketika kirab. Air yang digunakan untuk membersihkan pusaka tidak dibuang, meliankan disiapkan untuk nantinya diperebutkan oleh pengunjung. Masyarakat percaya bahwa air tersebut tidak seperti air biasa, namun memiliki khasiat-khasiat tertentu.

Peserta kirab dari keluarga istana memakai pakaian tertentu. Untuk laki-laki mngenakan pakaian Jawa Jangkep dengan kain Batik, memakai Blangkon, serta membawa keris. Untuk perempuan memakai kemben Batik atau kebaya hitam serta mengenakan sanggul. Selain itu, juga mengenakan Samir dengan warna kuning keemasan dan hijau yang merupakan warna khas Mangkunegaran.

Acara Kirab pusaka dilakukan setelah waktu Isya’. Pengageng Pura Mangkunegaran yaitu Adipati Arya Mangkunegara atau disebut juga dengan Sampéyandalem Ingkang Jumeneng, yang saat ini adalah KGPAA Mangkunegara IX beserta keluarga menempatkan diri di Peringgitan, yaitu bagian emperan istana yang menghadap ke Pendopo. Kemudian ketua panitia didampingi kerabat senior memohon izin kepada Adipati Arya Mangkunegara untuk menjemput pusaka yang akan dikirab dari kamar pusaka. Setelah pusaka dikeluarkan, ketua panitia akan memimpin iring-iringan kirab setelah mendapat izin dari Adipati Arya Mangkunegara. Iring-iringan diawali dengan kerabat istana, lalu pusaka satu per satu dikeluarkan menuju ke pendhåpå dengan diiringi oleh petugas pengiring pusaka. Tidak semua pusaka dibawa ketika Kirab, namun hanya beberapa yang penentuannya secara khusus. Jika tidak ada pusaka yang bersedia untuk dikeluarkan maka Kirab tidak disertai dengan arak-arakan pusaka seperti yang terjadi pada Suronan tahun kemarin. Pusaka tersebut berupa senjata milik Pura Mangkunegaran yang dulu digunakan untuk melawan musuh, yaitu tombak dan lain sebagainya.

Kirab dilakukan tanpa suara dan tanpa cahaya atau sering juga disebut tapa bisu, mulai dari keluar melalui gerbang istana sebelah selatan kemudian keliling mengitari istana searah jarum jam. Pada saat bersamaan, di Masjid Mangkunegaran yang terletak di sebelah barat istana dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Setelah Kirab selesai, ketua panitia melaporkan pelaksanaan Kirab dan meminta izin untuk mengembalikan pusaka ke dalam kamar pusaka. Setelah itu, air cucian pusaka yang telah disiapkan di depan pendhapa akan diperebutkan oleh warga. Selanjutnya, pada pertengahan malam, yaitu jam 12 malam, dilaksanakan tirakatan atau semedi, yaitu berdiam diri untuk lebih dekat dengan Tuhan. Tirakatan dilakukan di istana hingga padepokan selama 1 jam dalam keadaan lampu dimatikan. Pada saat itu keluarga istana dan masyarakat khusyu’ mawas diri untuk lebih memahami jati diri dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Pada prosesi ini terkadang seseorang mendapat gambaran hal yang akan terjadi di waktu mendatang sehingga dapat menyikapi kejadian tersebut dengan baik.

Suronan tersebut masih terus lestari sampai sekarang ini dengan kepercayaan-kepercayaan yang terkandung di dalamnya. Inilah salah satu contoh sistem religi pada masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat Jawa.