Pendahuluan

Pekalongan telah dikenal banyak orang sebagai “Kota Batik”. Kota yang berada di pesisir pantai utara ini dapat dikatakan semakin berkembang menjadi kota industri. Di sana muncul banyak perusahaan, yang paling terlihat adalah industri Batik –baik skala rumahan (kecil) maupun pabrik (besar)—dan pabrik tekstil yang merupakan penunjang pada pembuatan Batik. Batik menjadi sektor usaha yang banyak dijalani oleh masyarakat Pekalongan, dapat pula dikatakan bahwa Batik telah berpengaruh besar terhadap jalannya roda perekonomian masyarakat Pekalongan. Hal tersebut sudah dilakukan secara turun temurun dari zaman kakek-nenek mereka. Mereka terus mengembangkan Batik karena Batik merupakan salah satu kebudayaan yang mereka miliki dimana orang-orang sebelum mereka juga melakukan itu dan terbukti bisa hidup dengan baik. Sekarang ini, Batik terus mengalami perkembangan. Batik tidak hanya dikenal oleh masyarakat Pekalongan ataupun lingkup Jawa, namun sudah dikenal pada lingkup nasional, dan bahkan internasional.

Perkembangan Batik ternyata tidak hanya membawa keberkahan bagi masyarakat Pekalongan, namun hal itu harus dibayar dengan tercemarnya sungai. Hal demikian terjadi karena terdapat kebiasaan buruk dimana masyarakat Pekalongan membuang limbah hasil pembuatan Batik ke sungai. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya Batik, menjadikan keadaan sungai semakin parah dengan limbah Batik yang terdapat di dalamnya. Di Pekalongan, sudah jarang ditemui sungai dengan air yang jernih atau paling tidak coklat layaknya sungai pada umumnya. Namun, yang ada ialah sungai dengan air yang merupakan limbah Batik, yang dapat menyebabkan kerusakan sungai tersebut dan mengancam kelestarian lingkungan. Hal tersebut merupakan sebuah ironi dimana perkembangan Batik yang berarti salah satu wujud lestarinya budaya, ternyata menyebabkan kerusakan lingkungan dengan adanya sungai yang tercemar.

Pembahasan

Pekalongan sebagai Kota Batik, masyarakatnya banyak yang memiliki mata pencaharian pada urusan Batik. Batik memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat Pekalongan. Batik sebagai warisan budaya Indonesia sudah seharusnya dilestarikan. Hal ini merupakan salah satu pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan Batik sehingga Batik sampai sekarang ini masih terus ada. Eksistensi Batik tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih memegang nilai-nilai budaya leluhur, dalam hal ini adalah yang terdapat pada Batik. Kepopuleran Batik semakin bertambah setelah adanya penetapan Batik sebagai warisan kebudayaan dunia dari Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu. Masyarakat semakin bangga untuk menggunakan Batik dan Batik menjadi semakin meluas penyebarannya, tidak hanya di Indonesia namun hingga ke mancanegara.

Perkembangan Batik merupakan anugerah, terutama bagi masyarakat Pekalongan yang banyak berkecimpung pada urusan tersebut. Mereka bekerja dalam urusan Batik baik pada sektor produksi, distribusi, maupun penyediaan alat dan bahan untuk pembuatan Batik. Semakin besarnya peluang untuk mendapatkan keuntungan dari Batik membuat masyarakat Pekalongan semakin tergiur untuk menggeluti usaha itu. Industri Batik semakin bertambah banyak karena permintaan pasar juga tinggi sehingga terdapat harapan yang tinggi untuk meningkatkan perekonomian dari sektor usaha Batik.

Perkembangan usaha Batik di Pekalongan ternyata memiliki sisi lain yang negatif, yaitu terjadi pencemaran pada sungai akibat dari limbah Batik. Masyarakat Pekalongan memiliki kebiasaan buruk membuang limbah hasil pewarnaan Batik ke sungai. Hal itu dilakukan karena memang pemilik industri Batik –baik yang berskala rumahan maupun pabrik—tidak memerintahkan untuk melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai. Para pengusaha Batik di Pekalongan memiliki tingkat kesadaran terhadap lingkungan yang masih rendah (Mratihatani, 2013). Mereka menganggap bahwa limbah Batik yang dibuang di sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu adalah hal yang tidak berbahaya yang nantinya akan hilang dengan sendirinya bersama dengan datangnya hujan. Selain itu, juga terdapat alasan ekonomi bahwa untuk melakukan pengolahan limbah akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari usaha Batik tersebut. Pengusaha Batik skala kecil berdalih bahwa limbah yang dihasilkan hanya sedikit sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap pencemaran sungai, dan juga keuntungan yang kecil dari Batik sangat berat untuk membiayai pengolahan limbah. Mereka melimpahkan tanggung jawab itu kepada pengusaha Batik skala besar yang dianggap menyumbangkan limbah dalam jumlah banyak dan memiliki keuntungan yang besar sehingga tidak berat untuk melakukan pengolahan limbah dari usaha Batiknya.

Kebiasaan pembuangan limbah Batik di sungai juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap sungai. Masyarakat Pekalongan di wilayah kota dimana banyak terdapat industri Batik, tidak terlalu sering berhubungan dengan sungai dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa pembuangan limbah Batik di sungai tidak terlalu bermasalah dan tidak mengganggu aktifitas keseharian mereka. Untuk hal yang berurusan dengan air, seperti mandi dan mencuci pakaian, mereka menggunakan air sumur. Sedangkan masyarakat Pekalongan di wilayah kabupaten dimana sangat jarang terdapat industri Batik, sungai merupakan hal yang penting. Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka sering berhubungan dengan sungai, seperti untuk mandi, mencuci, hingga untuk mengairi sawah. Keadaan sungai yang bersih sangat mereka perlukan karena sungai menjadi sumber air untuk keperluan sehari-hari. Jika saja sungai tercemar, pasti mereka akan terkendala dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya.

Sekarang ini sebagian besar sungai di Pekalongan, terutama di wilayah kota, sudah tercemar oleh limbah Batik. Sangat sulit dijumpai sungai dengan air yang masih bening, melainkan yang ada ialah sungai dengan air yang berwarna-warni layaknya Batik, terkadang biru, merah, hijau, atau yan lainnya. Walaupun masyarakat menganggap itu bukan merupakan masalah, namun tidak mutlak benar seperti itu. Hal itu dapat dikatakan sebagai klaim dari pengusaha Batik atau sebagai bentuk toleransi masyarakat yang memang menyadari bahwa Batik telah memberi sumbangsih yang cukup besar terhadap perekonomian mereka.

Dampak dari pembuangan limbah Batik ke sungai antara lain adalah berkurangnya keindahan alam sungai dan terkadang menimbulkan bau yang tidak sedap. Ekosistem yang ada di dalamnya pun menjadi tidak seimbang, seperti semakin sedikitnya pesies ikan, kemudian munculnya tanaman liar di sungai, salah satunya adalah enceng gondok yang jika terus bertambah banyak dapat mengganggu lancarnya aliran sungai. Kemudian, limbah Batik yang dibuang ke sungai ataupun saluran pembuangan rumah terkadang meresap ke sumur-sumur masyarakat sehingga air sumur menjadi tercemar pula. Selain itu, pencemaran juga terjadi pada sawah yang berada di dekat sungai. Tanah pada sawah tersebut mengalami penurunan tingkat kesuburan karena terkontaminasi oleh zat kimia yang terkandung dalam limbah Batik, ditambah lagi dengan airnya yang juga telah tercemar menyebabkan sawah mengalami penurunan produktivitas padi dan bahkan sawah tidak lagi produktif.

Pencemaran sungai dari limbah Batik tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Harus dilakukan upaya penghentian terhadap hal tersebut dan dilakukan perbaikan. Perlu dilakukan penyadaran akan pentingnya menjaga lingkungan alam di sekitar kita, salah satunya yaitu sungai. Pandangan masyarakat Pekalongan bahwa sungai hanya sebagai tempat mengalirkan sisa atau limbah air dari aktifitas sehari-hari haruslah dirubah, perlu ditanamkan pemahaman bahwa pada sungai terdapat ekosistem yang berpengaruh terhadap kondisi sungai tersebut. Jika ekosistem itu rusak maka akan mengganggu fungsi sungai yang berarti juga mengganggu masyarakat dalam aktifitas sehari-harinya terkait pembuangan limbah air. Perlu juga dilakukan optimalisasi penggunaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL yang sudah disediakan pemerintah belum berjalan secara maksimal dan jumlahnya pun masih terbatas. Hal tersebut tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, namun perlu mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penggunaan IPAL untuk pengolahan limbah secara maksimal. Adanya peraturan untuk memperhatikan lingkungan alam dalam usaha Batik juga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, bimbingan juga perlu dilakukan agar masyarakat tidak merasa dituntut untuk melakukan hal yang sulit tanpa adanya arahan, sehingga malah menyebabkan masyarakat sungkan bahkan menghiraukan aturan tersebut.

Kelestarian Batik adalah hal yang baik, namun bukan berarti harus mengorbankan kelestarian sungai. Lestarinya Batik bisa juga diwujudkan dengan tetap menjaga kelestarian kondisi sungai. Tinggal bagaimana masyarakat memperlakukan antara Batik dan Sungai. Keduanya adalah hal yang penting untuk dilestarikan. Batik sebagai budaya tentunya perlu dijaga keberadaannya karena merupakan warisan leluhur dimana terdapat nilai-nilai luhur di dalamnya, yang menjadi ciri khas bangsa ini dan membedakan dengan bangsa lainnya. Selain itu, juga berperan terhadap perekonomian masyarakat, terutama masyarakat Pekalongan dalam hal ini, dimana Batik menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakatnya. Di sisi lain, sungai sebagai bagian dari lingkungan alam juga tidak kalah penting untuk dijaga kondisinya, termasuk pula untuk kepentingan produksi Batik dimana pembuatannya menggunakan air. Manusia tidak bisa terlepas dari hal tersebut karena sejatinya manusia juga merupakan bagian dari sistem alam. Oleh karena itu budaya juga memperhatikan bagaimana hubungan antara manusia dengan alam. Ini bukanlah hal aneh, karena seperti yang dikatakan oleh para Antropolog bahwa sejatinya budaya adalah hal yang diciptakan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya baik alam maupun sosial demi menjaga keberadaan manusia itu sendiri.

Simpulan

Masyarakat Pekalongan yang mengusahakan berkembangnya Batik sebagai salah satu kebudayaan, perlu pula untuk memperhatikan lingkungan alam. Jika tidak, hal tersebut dapat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan, kerusakan ekosistem sungai yang disebabkan oleh limbah Batik dapat menggangu produksi Batik itu sendiri karena kualitas air pada daerah tersebut semakin bertambah buruk sedangkan proses produksi Batik sangat memerlukan air. Sebagaimana kebudayaan yang sejatinya memiliki fungsi salah satunya sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungan dan tujuan utamanya untuk menjaga keberadaan manusia tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelestarian budaya harus mencakup kelestarian alam, dikarenakan subyek utama dari kebudayaan adalah manusia, sedangkan manusia adalah bagian dari alam.

 

Referensi:

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cita.

Mratihatani, Anandriyo Suryo dan Indah Susilowati. 2013. Menuju Pengelolaan Sungai Bersih di Kawasan Industri Batik yang Padat Limbah Cair. Dalam Jurnal Ekonomi UNDIP. 2 (2): 1-12