Salam Ceria…
Generasi Muda Berprestasi…
Dalam postingan kali ini, Saya akan mempublikasikan tugas Semester 3 dalam mata kuliah “Religi dan Etika Jawa.” Tugas tersebut membahas tentang sejarah kemunculan Teori Sosiologi Klasik. Apakah Kalian sudah mengetahui perbedaanya? Kalau belum sebagai penambah wawasan saja, Silahkan lebih lanjut di baca artikel dibawah ini.
Wonogiri merupakan sebuah Kabupaten yang daerahnya dikelilingi oleh persawahan dan pegunungan.
Wonogiri berasal dari dua kata, yaitu wana yang berarti alas (sawah), dan giri yang berarti gunung,. Jadi jangan heran apabila anda sedang berkunjung ke daerah Wonogiri, pada saat anda sedang diperjalanan akan dihibur dengan suasana pedesaan yang masih asri dan belum banyak terkena campur tangan manusia. Daerah yang mendapat julukan sebagai kota gaplek merupakan tempat dimana saya dilahirkan dan dibesarkan hingga sekarang ini.
Jadi saya tinggal di Wonogiri kurang lebih selama 19 tahun bersama dengan keluarga dari pihak bapak. Ibu saya berasal dari Kerawang, dimana keluarganya berasal dari Betawi, sedangkan bapak saya berasal dari Wonogiri yang merupakan orang asli Jawa. Namun, dalam keluraga besar bapak saya yang berasal dari Jawa menganut sistem kekerabatan patrilineal, dimana menarik garis keturunan dari pihak bapak. Sehingga ibu saya mengikuti bapak saya hidup dan betempat tinggal menetap di Wonogiri. Dari saya lahir hingga dewasa ini, yang saya ketahui tentang masyarakat Jawa saja, sedangkan ibu yang yang berasal dari betawi, saya tidak pernah diajarkan dan melakukan tradisi dan perlakuan sebagaimana orang Betawi pada umumnya. Sehingga, apabila disuruh memilih saya memilih menjadi orang Jawa daripada orang Betawi.
Daerah Wonogiri mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Sebagai petani, karena daerah Wonogiri masih terdapat banyak lahan yang kosong sehingga banyak dari masyarakatnya yang mengolah lahan tersebut menjadi pertanian. Sedangkan sebagai nelayan, daerah Wonogiri terdapat waduk yang airnya tidak pernah surut, dengan adanya waduk tersebut sangat membantu perekonomian masyarakatnya baik melaui hasil ikannya maupun air dari waduk tersebut yang sekarang ini digunakan warganya sebagai sumber air bersih yakni PDAM. Waduk tersebut diberi nama “Waduk Gajah Mungkur”, selain itu waduk juga berfungsi sebagai daerah pariwisata yang menambah retribusi daerah.
Namun semenjak adanya semangat juang dari masyarakat khususnya yang tinggal di kecamatan Wonogiri ini mengubah lahan pertanian tersebut menjadi tempat pemukiman, pusat pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, dan lain sebagainya. Sekarang ini banyak dari masyarakatnya yang tidak hanya mengandalkan alam dalam mempertahankan hidupnya, banyak dari mereka yang telah mengembangkan ide kreatifnya dimulai dari pembukaan industri rumahan secara sederhana yang kemudian berkembang menjadi pesat. Apabila dilihat dari segi mata pencaharian masyarakat di kota Wonogiri, yang awalnya homogen sekarang ini menjadi heterogen, karena mereka mempunyai aktivitas dalam mempertahankan hidupnya dengan cara yang berbeda-beda. Maksudnya, dalam pekerjaannya tidak hanya sebagai petani dan nelayan saja, namun telah bervariasi yakni ada yang menjadi guru, polisi, dokter, perawat, bidan, pedagang, buruh pabrik, dan lain sebagainya.
Menurut sepemahaman saya selama hidup di Wonogiri yang termasuk kedalam masyarakat Jawa kaena letaknya masih terdapat dalam provinsi Jawa Tengah, yakni bahwa masyarakat Jawa didaerah yang saya tempati, kebanyakan dari masyarakatnya beragama Islam namun Islam tersebut dibagi menjadi beberapa aliran, antara lain :
- Nadhlatul Ulama (NU)
- Muhammadiyah
- Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Ketiga aliran tersebut hidup secara bersamaan dalam suatu daerah tertentu, namun untuk NU dan LDII biasanya mempunyai kelompok untuk berkumpul masing-masing, biasanya berkumpul untuk acara pengajian, takziah, berkurban, sholat idul fitri, idul adha, dan lainnya. Sehingga apabila dilihat dari luar, aliran NU dan LDII tidak membaur dengan masyarakat lainnya yang tidak sealiran dengan mereka. Selain agama Islam dengan beberapa alirannya juga terdapat masyarakat yang ber agama Kristen dan Katholik, namun dalam jumlah yang sedikit berbeda dengan Islam. Meskipun mereka memiliki kepercayaan yang tidak sama, namun masyarakat Jawa khususnya di Wonogiri masih melestarikan dan melakukan sikap toleransi baik antar agama, pekerjaan, status, dan lain sebagainya.
Menurut pernyataan dari Clifford Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Suseno, Magniz (1984 : 83) menyatakan :
“Bahwa Pandangan dunia jawa adalah agama jawa, baik sebagai agama abangan, agama santri, maupun agama priyayi menurut laipasan-lapisan dalam masyarakat.”
Berdasarkan pernyataan dari Clifford Geertz diatas, saya menjadi paham bahwa masyarakat jawa khususnya di Wonogiri dalam pandangan mengenei agama yang dianut tersebut, akan saya hubungkan dengan agama Islam, dimana diatas telah dijelaskan. Di daerah yang saya tempati terdapat masyarakat yang beragama Islam, yang mana masyarakat selalu tekun dan patuh dalam setiap menjalankan perintah dan larangan sesuai dengan syariat agama islam, yakni yang telah tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Selain itu, juga terdapat masyarakat yang beragama Islam, namun mereka dalam menjalankan sesuatunya tidak selalu sesuai dengan syariat Islam, melainkan mereka lebih dominan bersikap sinkretis, yakni dalam kepercayaan yang dianut cenderung menghubungkannya dengan kepercayaan lokal yang secara turun temurun telah dilaksanakan. Dimana dalam kepercayaan atau tradisi tersebut, tidak hanya mengandung unsur keislaman saja tetapi juga mengandung unsur Hindhu maupun Budha, semisal tradisi yang saat ini masih dijalankan di Wonogiri yang mengandung unsur dari kedua agama tersebut yakni tradisi slametan orang meninggal.
Dimana dalam tradisi slametan tersebut, awalnya berasal dari ajaran agama Hindhu namun sinkretis (percampuran) kebudayaan tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat Jawa yang beragama Islam kejawen. Tradisi tersebut meliputi nelung ndina(tiga hari), mitung ndina(tujuh hari), matang puluh dina(40 hari), nyatus dina(100 hari), pendhak/mendhak, dan nyewu dina(1000 hari). Biasanya di daerah Wonogiri tradisi tersebut, diadakan pada malam hari setelah bakda isya’ hingga selesei, acara tersebut dilakukan oleh bapak-bapak yang sudah berkeluarga dengan membaca tahlil dan setelah selesei dijamu dengan makanan ringan. Dalam ajaran agama Islam sebenarnya tujuan dari slametan tersebut adalah mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal agar di berikan tempat yang indah dan terhindar dari siksa kubur. Namun dalam realitanya, tradisi tersebut dicampuradukan dengan ajaran agama Hidhu, yakni dari masyarakat yang beragama Islam kejawen dalam melaksanakan tradisi slametan juga dibarengi dengan pembuatan sajen/sesaji, yang mana bertujuan untuk menghormati para leluhurnya yang sudah meninggal. Dalam pembuatan sajen tersebut, jumlahnya disesuaikan dengan sanak keluarga yang sudah meninggal. Semisal dalam keluarga orang jawa yang meninggal sudah berjumlah 8 orang, maka dalam menyajikan piring dan gelasnya juga berjumlah 8. Masyarakat percaya bahwa dengan menyajikan sajen tersebut, dapat memeberikan kesehatan dan restu bagi keluarga yang ditinggal. Tidak lupa setelah sesajen tertata rapi, harus dibacakan doa maupun mantra oleh anggota keluarga yang dituakan.
Pelaksaan tradisi slametan orang meninggal di daerah Wonogiri dengan Semarang, khususnya di Kalipancur, kompleks Pasadena memiliki perbedaan yang signifikan. Dimana dalam kompleks Pasadena yang mengisi acara tersebut bukan dari kalngan bapak-bapak, melainkan dari kalangan ibu-ibu yang dilakukan setelah habis bakda Maghrib. Perbedaan yang paling mencolok juga terlihat dari masyarakat di kompleks Pasadena yang tidak lagi membuat sesajen untuk par leluhurnyam karena dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap agama. Kemudian dari alur tradisi slametan tersebut juga berbeda, dimana dalam masyarakat Jawa yang tinggal di Wonogiri alur dari tradisi slametan tersebut, meliputi :
- Bapak-bapak datang kerumah pihak yang menggelar tradisi tersebut.
- Disajikan minuman dan beberapa snack.
- Membaca yasin, tahlil, dan tahmid
- Disajikan makanan berat (makanan nasi dan daging sapi)
- Pulang
Sedangkan alur tradisi slametan yang dijalankan oleh masyarakat Jawa di kompleks Pasadena, Semarang meliputi :
- Ibu-ibu datang kerumah keluarga yang menggelar tradisi tersebut.
- Membaca yasin, tahlil, dan tahmid.
- Disajikan minuman dan beberapa snack
- Pada saat pulang dibawakan box yang berisi nasi, lauk-pauk, sayur, buah, dan snack.
Dalam hidup dengan sesamanya, masyarakat jawa khususnya didaerah Wonogiri masih mengemban sikap toleransi terhadap sesamanya yang berebeda dengan dirinya, baik dilihat dari perbedaan agama, pekerjaan status sial dan lain sebagainya. Hal tersebut terlihat dari masyarakat yang menganut agama islam kejawen yang dapat berhubungan baik dalam kehidupannya dengan masyarakat yang beragama islam dapat dikatakan tekun dalam menjalankan syariat Islam. Diantara keduanya dapat saling memhami satu sama lain, sehingga akan tercipta suasana yang damai.
Magniz, Suseno (2003 : 39) menyatakan bahwa :
“Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.”
Jadi menurut konsep rukun tersebut sesuai dengan implementasi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa di Wonogiri, yang mana mereka masih memegang teguh prinsip tersebut demi menjaga ketentraman dan kenyaman hubungan mereka dengan masyarakat lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari saya, prinsip rukun tidak hanya di praktekkan dengan bersikap toleransi saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara saling membantu, bersikap ramah, setiap ada kegiatan berusaha untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Dengan cara seperti itu, dapat mempertahankan kerukunan yang terjalin salam masyarakat pada suatu daerah.
Etika sosial dan perilaku masyarakat jawa di daerah Wonogiri, awalnya mereka masih melaksanakan unggah-ungguh jawa. Antara masyarakat satu dengan lainnya masih berhubungan dengan sangat baik, bahkan bagi anak-anak masih mengembangkan sikap hormat kepada orang yang lebih tua darinya. Namun sekarang ini, dengan adanya pengaruh perubahan sosial yang dibawa oleh masyarakat luar, membuat generasi muda sekarang ini sikap hormat dan malunya sudah mulai luntur, dikarenakan ada penyaringan dari perubahan tersebut yang tidak berjalan dengan semesetinya. Maksudnya dalam mengahapi perubahan tersebut masyarakat jawa kurang melakukan penyaringan mana perubahan yang dianggap baik dan buruk, sehingga menimbulkan deviation atau peyimpangan pada nilai-nilai kehidupan yang sudah tidak sesuai lagi.
Menurut tokoh Ki Pariwara, sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Endra Swara, Suwardi (2003 : 139) menyatakan bahwa terdapat anjuran bagi manusia yang hidup dibumi ini harus mempunyai etika sebagai berikut :
- Dapat membuat orang lain senang
- Hendaknya berhati-hati dalam ucapan, pandangan dan hati.
- Hendaknya manusia memiliki rasa malu kepada Tuhan dan manusia, serta
- Hendaknya bangun persahabatan yang baik
Berdasarkan anjuran tersebut, apabila dilihat pada masyarakat jawa sekarang ini, susah ditemukan dari keempat anjuran tersebut yang dilakukan. Unggah-ungguh atau etika anak muda terhadap orang yang lebih tua dalam masyarakat Jawa didaerah Wonogiri bahkan di Semarang, menurut saya bahwa generasi muda saat ini berbeda dengan generasi muda zaman dahulu. Sekarang ini, kebanyakan dari mereka saat berbicara dengan orang yang lebih tua bahkan dengan kedua orangtuanya jarang sekali menggunakan bahasa Jawa krama alus. Sebenarnya masih ada dari mereka yang menggunakan bahasa Jawa krama alus, namun hanya segelintir saja dengan perbandingannnya bisa di kira-kira kan 70:30.
Sekarang ini, sikap anak muda yang kurang sopan, tidak menghormati, dan mempunyai sikap acuh tak acuh terhadap orang yang lebih tua. Menurut dari pengalaman saya sendiri, pada saat sedang naik bus dan bus tersebut dalam keadaan penuh. Kemudian terdapat sepasang suami isteri yang sudah tua masuk kedalam bus tersebut, mereka tidak memperoleh tempat duduk. Pastinya kita berpikir ada dari salah satu penumpang yang rela menawarkan tempat duduknya untuk orangtua tersebut. Namun apa yang dilihat, penumpang lainnya tidak ada yang menawarkan tempat duduknya, mereka acuh dan tidak peduli terhadap orang lain, bahkan ada dari mereka yang berpura-pura tidur, memainkan gadgetnya, atau mengobrol dengan teman disebelahnya.
Hal miris seperti ini berbeda sekali dengan anak muda pada zaman dahulu. Katakannlah pada saat saya masih kecil, mereka semua masih mau menghormati, memperdulikan, dan berlaku sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Perbedaan yang lain lagi, bahwa generasi muda sekarang ini cenderung mudah patah semangat, tidak mau berusaha, tidak mempunyai kemauan yang keras, dan tidak mau hidup susah. Hal ini berbeda dengan anak muda pada zaman dahulu, yang mengerti betul akan kondisi perekonomian keluarganya, bahkan ada dari mereka yang mencari uang sendiri untuk membiayai kebutuhan sekolahnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai kemauan yang keras, usaha yang maksimal, semangat yang mengembara, sopan dan santun terhadap orangtua atau dalam bahasa jawanya “ngajeni”.
Perubahan perilaku anak muda yang sekarang ini dikarenakan adanya dampak dari pengaruh globaliasai dan modernisasi. Globalisasi adalah unsur-unsur baru yang terdapat dalam suatu masyarakat, adanya pengaruh globalisasi mengakibatkan perubahan-perubahan itu terjadi dalam masyarakat, sehingga dengan terjadinya perubahan-perubahan didalam masyarakat akan mengakibatkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat mengalami disfungsi atau dengan kata lain kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat tersebut akan mengalami penyimpangan.
Seringkali dari masyarakat di Jawa sekarang ini, dalam ucapannya tidak lagi berpikir apakah perkataan yang dikeluarkannya tersebut akan meyakiti hati orang lain atau tidak. Hal tersebut merupakan suatu contoh realita bahwa masyarakat Jawa sekarang sudah tidak selalu menggunakan anjuran tentang etika sosial tersebut. Namun saya masih menjumpai pada beberapa masyarakat di jawa dalam kehidupannya, masih melestarikan kaidah dan ungguh-ungguh sesuai dengan masyarakat Jawa dahulunya. Apabila masyarakat jawa secara keseluruhan masih melaksanakan kaidah tersebut, maka hidup kita akan terasa aman, nayaman, damai, dan menghindari terjadinya konflik.
Dalam masyarakat Jawa di daerah Wonogiri mempercayai adanya mitos tentang gunung pegat. Dimana mitos yang selama ini masih diperayai oleh penduduknya tentang pasangan pengantin yang baru menikah, apabila melintasi gunung pegat ini maka pernikahanyta tidak akan berjalan dengan lama, entah karena bertengkar, bercerai maupun ada salah satu dari mereka yang meninggal. Bagaimana kutipan dalam buku karya Endra Swara, Suwardi (2003 : Yogyakarta), menyatakan bahwa :
“mitos bisa dianggap sebagai cerita yang “aneh” yang seringkali sulit kita pahami maknanya atau diterima kebenarannya karena kisah didalamnya “tidak masuk akal” atau tidak sesuai dengan apa yang kita temui sehari-hari.”
Bahwa pada dasarnya mengenei mitos tersebut, menurut perkataan dari masyarakat yang disebarluaskan dari mulut kemulut, mengatakan berawal dari seorang laki-laki yang cintanya ditolak oleh perempuan yang ia cintai. Akhirnya laki-laki tersebut memutuskanun untuk menduda sampai ajal menjemputnya, namun ia membalas dendam kepada pasangan pengantin baru, yang melintas di gunung pegat untuk menganggu hubungan pada pengantin baru tersebut. Sehingga dipercaya hubungan pernikahan mereka tidak akan bertahan dengan lama, akibat gangguan dari sosok laki-laki penghuni gunung pegat yang ditolak cintanya tersebut. Entah dalam kehidupan pengantin baru tersebut akan diwarnai dengan pertengkaran yang hebat, akhirnya akan menjerumuskan mereka kedalam perceraian, bahkan ada dari pengantin baru tersebut salah satunya yang meninggal.
Maka masyarakat percaya dan menghimbau bagi pengantin yang baru saja menikah jangan melintas digunung pegat tersebut atau dapat memakai jalan alternatif ke daerah tujuan, meskipun butuh waktu yang lama. Dimana berdasarkan cerita tersebut, meskipun mitos tentang gunung pegat terdengar aneh namun kita sebagai manusia seharusnya mempunyai sikap toleransi kepada masyarakat yang mempercayai akan hal itu. Apalagi bagi masyarakat yang beragama Islam jangan mudah percaya terhadap hal yang bersikap mitos, karena semua itu hanya berupa keyakinan yang batil dan tidak berdasar, sehingga bagi yang percaya dapat dikatakan sebagai suatu penyimpangan yang dianggap musyrik.
Selain itu, masyarakat Jawa di Wonogiri juga percaya tidak boleh melakukan perkawinan pada saat bulam muharram atau suro. Hal tersebut dikarenakan, adanya kepercayaan maupun mitos yang masih dipegang penuh oleh masyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para leluhurnya. Mereka percaya, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan pada bulan tersebut akan mendapat kesialan dalam membina hubungan rumah tangga, karena bulan muharram dipercaya sebagai bulan yang tidak baik bagi masyarakat Jawa. Kepercayaan tersebut, hingga saat ini masih dilakukan dan tidak dilanggar oleh masyarakat Wonogiri, namun setelah saya hidup disemarang selama 1,5 tahun ini, kepercayaan masyarakat sebagian tentang hal tersebut sudah mulai goyah, terlihat dari masyarakat Jawa disemarang sudah tidak mempermasalahkan pernikahan dibulan suro lagi, bahkan sebagian dari mereka banyak yang melakukan pernikahan pada bulan tersebut.
Berkaitan dengan tradisi atau kepercayaan lokal daerah Wonogiri sangat banyak. Namun sekarang ini, cara melakukannya dari beberapa tradisi terdapat hal atau unsur yang dihilangkan dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang ini. Di dalam buku clifford Geertz, 1960 mentakan bahwa “ kosmologi dan kepercayaan orang jawa, tidak akan lemah dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan, slametan kadang disebut dengan kenduren atau kita mengenalnya dengan nama kendurian yakni sebuah upacara keagamaan paling umum dalam adat jawa.”
Tentang slametan orang meninggal diatas telah dijelaskan, sedangkan untuk tradisi ruwatan yang bisanya dilakukan didaerah saya, bertujuan untuk melepaskan atau membebaskan seseorang dari kesialan, sehingga setelah melakukan ruwatan diyakini akan terhindar dari mara bahaya yang menimpanya. Dalam acara ruwatan ini, biasanya pihak yang menyelegarakannya juga melakukan pagelaran wayang kulit, yang mana wayang tersebut dilakonkan untuk mengusir hal-hal jelek dalam tubuh seseorang tersebut. Berikut merupakan tradisi yang masih dijalankan di daerah Wonogiri, antara lain :
- Malam 1 Suro
Seperti pada kebanyakan masyarakat Jawa lainnya, di Wonogiri pada saat malam satu suro juga mengadakan tradisi tersebut. Menurut narasumber yang saya wawancarai, bahwa di daerahnya pada saat malam satu suro semua waganya akan mendapat undangan dari Kepala desa untuk berkumpul pada suatu tempat yang telah disediakan dengan syarat setiap warganya datang tidak hanya dengan tangan kosong, melainkan mereka harus membawa makanan maupun minuman. Hal tersebut dilakukan karena untuk menambah maupun mempererat hubungan setiap warganya.
- Upacara Peringatan Kematian
Setelah orang meninggal, di daerah Jawa mengadakan upacara peringatan setelah kematian, tidak jauh berbeda dengan masyarakat jawa di daerah lainnya, di Wonogiri juga melakukan tradisi terebut. Sebenarnya tradisi tersebut merupakan hasil akulturasi antara agama hindu dan islam kejawen. Tradisi tersebut meliputi nelung ndina(tiga hari), mitung ndina(tujuh hari), matang puluh dina(40 hari), nyatus dina(100 hari), pendhak/mendhak, dan nyewu dina(1000 hari). Biasanya di Semarang tradisi terebut diadakan pada malam hari setelah bakda isya’ hingga selesei, acara tersebut dilakukan oleh bapak-bapak yang sudah berkeluarga dengan membaca tahlil dan setelah selesei dijamu dengan makanan ringan.
- Upacara pernikahan
Orang Jawa yang tinggal di Wonogiri saat menikah seperti pada tradisi pernikahan masyarakat Jawa kebanyakan antara lain meliputi tradisi Siraman, midodareni, balangan suruh, kacar-kucur, sungkeman dan lain-lain. Tetapi mereka tidak selalu menggunakan adat Jawa seperti dulu, karena saat ini telah mendapat berbagai pengaruh kebudayaan dari masyarakat luar.
- Mitoni
Mitoni/tingkeban dilakukan untuk mendoakan calon bayi dan ibu yang mengandungnya supaya selamat sampai saat kelahirannya nanti. Tradisi mitoni di semarang tidak seruntut dengan tradisi jawa pada zaman dahulu, karena tradisi tersebut saat ini hanya dilakukan dengan simple yaitu mengundang para warganya untuk datang kerumah orang yang sedang mengadakan acara tingkeban dengan maksud agar orang yang berkunjung tersebut turut serta dalam mendoakan sang jabang bayik dan ibunya selamat sampai anak tersebut keluar.
- Bersih Desa
Bersih desa merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat rezeki, kesehatan, dan lain-lainnya. Di Wonogiri ini, mengadakan bersih desa setiap satu tahun sekali dengan mengundang campursari sebagai hiburannya dan pada malamnya mengadakan acara kumpul bersama dengan warga lainnya, acara ini disebut lek-lekan sampai tengah malam.
- Gotong Royong
Tradisi gotong royong di kota Wonogiri, khususnya bagi warga Baturetno saat ini makin lama makin menipis. Tidak aneh lagi, karena masyarakat Jawa sekarang ini mulai terpengaruh dengan budaya luar yang semestinya bisa disaring. Seharusnya kita jangan langsung menelan mentah-mentah budaya yang berasal dari luar tersebut, perlu dipilih dan dicermati mana yang baik untuk kita dan mana yang tidak baik maka hal tersebut harus kita buang.
Sumber
Endra Swara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Cakrawala.
Suseno, Magniz. 1984. Etika Jawa : Sebuah analisafalsafitentang kebijaksanaan hidup jawa. Jakarta : PT Gramedia.