Skip to content


RESIPROSITAS MANTU POCI DALAM TRADISI MASYARAKAT KABUPATEN TEGAL

 PENDAHULUAN

Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali dalam pertukaran tersebut disertai dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu dua atau lebih. dalam pertukaran ini, masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari partner-nya, namun masing-masing tidak menghendakai untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. bila individu melanggar perjanjian resiprositas, ia mungkin mendapat hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat, keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada di tangan masing-masing individu. Kerja sama ini muncul karena adanya rasa kesetiakawanan Resiprositas sebanding berada di antara resiprositas umum dengan dengan resiprositas negatif.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Namun demikian, fungsi sosial tersebut dapat rusak kalau salah satu pihak tidak konsekuen dalam mengembalikan. Resiprositas memberikan beban moral kepada para pelakunya untuk mengembalikan apa yang sudah diterimanya baik barang atau jasa meskipun tidak ada perjanjian untuk itu dan tidak ditentukan waktu dan jenis pengembalian. Resiprositas memberikan ikatan kepada masyarakat melalui agama, organisasi sosial kemasyarakatan, rasa senasib sepenanggungan dan prestise untuk melanjutkan dan menjaga hubungan-hubungan sosial.

Secara sederhana resiprositas dapat diartikan sebagai suatu cara atau mekanisme yang terjadi dalam sistem perdagangan yang terdapat di pedesaan (dalam masyarakat tradisional) masyarakat peralihan dari tradisional ke modern dan dalam masyarakat industri sekalipun. Dalam sistem resiprositas alat tukar yang digunakan bukan berupa uang (alat tukar yang sah dan diakui) melainkan dengan alat tukar berupa barang antar barang / barang dengan emas yang mana sistem pertukaran semacam ini sudah membudaya dan sudah merupakan tradisi yang diikat dengan suatu sistem adat dan perjanjian adat. Terjadinya resiprositas diakibatkan adanya suatu proses timbal balik antara individu, individu dengan kelompok dan kelompok kelompok antar kelompok yang ada di dalam lapisan masyarakat.

KERANGKA TEORI

Resiprositas ini menghendaki atas barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai sebanding, disertai pula kapan pertukaran itu berlangsung kapan memberikan, kapan menerima, dan kapan mengembalikan. Dalam pertukaran ini masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari patnernya, namun tidak menghendaki untuk memberikan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi ini menunjukkan para pelaku sebagai unit-unit sosial yang otonom.

Ciri resiprositas sebanding ditunjukan oleh adanya norma – norma atau aturan –aturan atau sanksi –sanksi sosial untuk mengontrol individu- individu dalam melakukan transaksi. Ciri lain dari resiprositas sebanding adalah keputusan untuk melakukan kerjasama resiprositas berada ditangan masing – masing individu. Kerjasama ini muncul karena adanya rasa kesetiakawanan dikalangan mereka sehingga terlembaga dikalangan mereka.

Resiprositas dalam kajian teori pertukaran merupakan pertukaran timbal balik antara individu atau antar kelompok (Sairin, 2002: 43). Yang di pertukarkan adalah barang atau jasa sesuai kebutuhan masing-masing dan dilakukan oleh individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resiprositas yaitu : resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas sebanding. Resiprositas yang terakhir ini sebenarnya kata lain dari pertukaran pasar atau jual beli. Jadi resiprositas penjabaran dari sistem pertukaran, karena di dalam masyarakat banyak sistem pertukaran maka mulai dikenali beberapa nama untuk jenis pertukaran dan salah satunya resiprositas sebanding. Kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum, maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan hubungan personal yang intim (Sahlins, 1974: 194). Meskipun resiprositas sebanding tetap ada pertukaran yang menetapkan nilai yang sama namun dalam pertukaran ini tetap ada ikatan antar kelompok, karena masing-masing kelompok masih merasa saling membutuhkan.

Menurut Sahlins (1974:199) dalam masyarakat tribal, resiprositas umum terjadi di kalangan individu yang hidup dalam satu rumah tangga. Dalam pertukaran barang dilakukan masih dalam ikatan persaudaraan. Jadi yang melakukan pertukaran ini masing-masing individu saling mengenal karena masih ada ikatan kekeluargaan. Biasanya dilakukan kepada tetangga yang masih berada di sekeliling rumah atau rumah masing-masing kelompok tetapi mereka masih saling mengenal satu sama lain. Resiprositas dari ide pemberian tanpa pamrih. Namun, seiring dengan berjalannya waktu menjadikannya sebuah tindakan pamrih dan demi kegunaan yang dinikmati secara individual. Dengan demikian resiprositas yang didasarkan pada perasaan individu mampu menciptakan kekuatan solidaritas dalam masyarakat.

PEMBAHASAN

Dalam penulisan ini penulis mengambil tema tentang resiprositas sebanding. Resiprositas sebanding merupakan sistem pertukaran barang atau jasa yang memiliki nilai sebanding. Sebanding adalah meskipun jenis barang yang ditukarkan bendanya berbeda jenis tetapi nilai dari barang tersebut sama.

Kabupaten Tegal terdapat resiprositas salah satu contohnya tradisi Mantu Poci. Menurut Syamsul Bakhri (2015) Mantu Poci adalah sebuah hajatan pernikahan yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Desa Sidakaton, Sidapurna, Dukuhturi, Kupu, Lawatan, dan kepandaian. Desa tersebut terletak di Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal. Di desa basis Warteg (Warung Tegal) ini tradisi Mantu Poci berkembang (Setiawan 1997 : 3). Konon, dahulu kala ada sepasang calon pengantin yang berbuat nekat kabur dari Desa Sidakaton karena emoh (tidak mau) dijidohkan oleh kedua orang tuanya, Alasannya mereka sudah mempunyai pilihan sendiri. Sehingga rencana pernikahan yang tinggal tiga hari lagi kacau balau.

Dalam kekacauan dan kegundahan itu, ada seorang warga yang memberikan usul untuk menempuh perkawinan Poci sebagai pengganti calon pengantin yang telah kabur. Usulan itu ternyata disambut dengan suka cita, baik oleh pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki. Pada acara mantu poci tamu undangan wajib mendoakan sepasang suami istri yang menggelar mantu poci agar dapat segera diberi keturunan karena tujuan utama diselenggarakannya mantu poci adalah agar penyelenggara mantu poci merasa seperti sepasang orangtua yang sudah berhasil merawat dan membesarkan putra putri mereka kemudian dilepas dengan hajat pesta besar. Tatacara dalam kondangan (menghadiri acara pernikahan) disini dikenal dengan tradisi “Buka Sumbangan” di depan umum. Tradisi itu dituturkan bukan semata-mata untuk melecehkan para penyumbang, melainkan sekedar mengetahui seberapa besar sumbangan yang harus dikembalikan pada saat diundang para penyumbang dalam hajatan pengantin atau sunatan. Sebelum Poci digunakan sebagai kotak sumbangan, Poci diberi rangkaian hiasan dari bunga melati dan diarak keliling Desa. Baru kemudian diletakan di atas kursi yang telah dihias dan diapit oleh kedua orang tua atau yang punya hajat. Acara ini biasanya digelar selama tiga hari berturut-turut. Sebelum acara ini dilegar, pemilik hajat jauh-jauh hari sudah mendata jumlah titipan sumbangan yang pernah diberikan kepada orang yang punya hajatan. Jadi dalam kepercayaan masyarakat apabila diundang tidak hadir dan tidak mengembalikan sumbangan, maka akan mendapatkan sangsi moral. Dalam pertukaran ini masyarakat tidak dibebankan untuk mengembalikan langsung pada yang memberikan. Kelompok yang memberikan pun tidak mengharapkan akan diberi timbal balik karena kelompok tersebut yakin bahwa akan ada kelompok lain yang memberikan bahkan nominal barang atau jasanya lebih tinggi.

PENUTUP

resiprositas dapat diartikan sebagai suatu cara atau mekanisme yang terjadi dalam sistem perdagangan yang terdapat di pedesaan (dalam masyarakat tradisional) masyarakat peralihan dari tradisional ke modern dan dalam masyarakat industri sekalipun. Dalam sistem resiprositas alat tukar yang digunakan bukan berupa uang (alat tukar yang sah dan diakui) melainkan dengan alat tukar berupa barang antar barang / barang dengan emas yang mana sistem pertukaran semacam ini sudah membudaya dan sudah merupakan tradisi yang diikat dengan suatu sistem adat dan perjanjian adat. Terjadinya resiprositas diakibatkan adanya suatu proses timbal balik antara individu, individu dengan kelompok dan kelompok kelompok antar kelompok yang ada di dalam lapisan masyarakat.

Resiprositas ini menghendaki atas barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai sebanding, disertai pula kapan pertukaran itu berlangsung kapan memberikan, kapan menerima, dan kapan mengembalikan. Dalam pertukaran ini masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari patnernya, namun tidak menghendaki untuk memberikan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi ini menunjukkan para pelaku sebagai unit-unit sosial yang otonom.

Mantu Poci adalah sebuah hajatan pernikahan yang sudah mendarah daging bagi masyarakat. Dalam Mantu Poci terdapat tata cara dalam kondangan (menghadiri acara pernikahan) disini dikenal dengan tradisi “Buka Sumbangan” di depan umum. Tradisi itu dituturkan bukan semata-mata untuk melecehkan para penyumbang, melainkan sekedar mengetahui seberapa besar sumbangan yang harus dikembalikan pada saat diundang para penyumbang dalam hajatan pengantin atau sunatan. Acara ini biasanya digelar selama tiga hari berturut-turut. Sebelum acara ini dilegar, pemilik hajat jauh-jauh hari sudah mendata jumlah titipan sumbangan yang pernah diberikan kepada orang yang punya hajatan. Jadi dalam kepercayaan masyarakat apabila diundang tidak hadir dan tidak mengembalikan sumbangan, maka akan mendapatkan sangsi moral. Dalam pertukaran ini masyarakat tidak dibebankan untuk mengembalikan langsung pada yang memberikan. Kelompok yang memberikan pun tidak mengharapkan akan diberi timbal balik karena kelompok tersebut yakin bahwa akan ada kelompok lain yang memberikan bahkan nominal barang atau jasanya lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhri, Syamsul.2015.“Mantu Poci” Resiprositas dalam Tradisi Buka Sumbangan Masyarakat Tegal. Online. Tersedia di : gojegan.blogspot.co.id/search/label/Budaya Masyarakat Tegal (diakses 10/11/15)

 

Posted in UMUM.


19 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.

  1. Farika Tri Ariyanti says

    mengenai tampilan blog sebaiknya artikel dirata kanan kiri agar terlihat lebih rapi 🙂

  2. PUTRI AYU says

    tulisannya dirapikan ya kak… oiya ini artikelnya kategori apa ya kak…

  3. putri novitasari says

    font dalam tulisan diatas kurang rapi karena tulisan bagian atas kecil namun bagian bawah besar atau kapital semua jadi kurang sinkron. terimakasih.

  4. aeeey says

    Artikelnya bermanfaat ndor 😀

  5. Siti Farikhah says

    artikelnya menambah informasi, menarik untuk dibaca 🙂

  6. ignasia intan says

    menambah wawasan, hehe

  7. Siti Fatimah says

    siiiiiiiip

  8. Gisella Tioriva says

    sip

  9. Rani Meilina Siswoyo says

    dari judulnya aja uda menarik minat saya untuk membaca 😀 Isinya juga gak kalah menarik

  10. Silvia Alfiyani says

    lebih diperbaiki lgi ya



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.