Kebocoran Data dari Sisi Kearsipan

Kebocoran Data dari Sisi Kearsipan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Adanya kebocoran data menjadi perhatian kita untuk lebih berhati-hati dalam menyimpan data (baca: arsip). Lalu, bagaimana sebenarnya kebocoran data ini, dilihat dari kearsipan?

 

Arsip yang ada dalam seseorang adalah tanggung jawab orang yang bersangkutan. Artinya, dia memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat fisik dan isi arsip tersebut. Sedangkan, jika arsip sudah diserahkan/diberikan kepada lembaga/organisasi, maka lembaga/organisasi tersebut memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawatnya.

 

Bagaimana jika orang lain mengetahui akan informasi arsip? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu pahami sistem klasifikasi keamanan dan akses arsip dinamis. Ada tingkat akses ke publik suatu arsip dibagi menjadi tiga yaitu terbuka, terbatas, dan tertutup. Pada prinsipnya, arsip yang disimpan oleh lembaga/organisasi dibagi menjadi dua kategori yaitu substantif dan fasilitatif.

 

Siapakah yang dapat mengakses suatu arsip? Jawabannya sangat tegas: ada lima pengguna hak akses arsip (dinamis) yaitu penentu kebijakan, pelaksana kebijakan, pengurus internal/eksternal, publik, dan penegak hukum.

 

Itu maknanya, ada arsip yang bersifat tertutup dan terbatas bagi penggunanya. Misal, arsip kepegawaian. Dalam rangka melaksanakan fungsi pembinaan pegawai, unit kepegawaian/subbag kepegawaian melaksanakan kegiatan penyusunan personal file, seperti disiplin pegawai dan DP3. Arsip yang tercipta dari kegiatan ini, dapat dipertimbangkan sebagai arsip rahasia karena memiliki nilai bagi individu yang bersangkutan dan dapat menimbulkan kerugian yang serius terhadap masalah privacy.

 

Contoh lagi, arsip keuangan. Dalam rangka melaksanakan salah satu fungsi yaitu pengelolaan  perbendaharaan, seperti melakukan kegiatan administrasi pembayaran gaji. Arsip yang dihasilkan diantaranya adalah daftar gaji, potongan gaji, dan dokumen lainnya yang dapat dikategorikan arsip rahasia, karena mempunyai nilai bagi individu pegawai dan dapat menimbulkan masalah/kerugian terhadap masalah privacy.

 

Sebaliknya, ada pula arsip yang bersifat terbuka, seperti dokumen akademik, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan dokumen lainnya. Tepat saat ini, banyak alumni sebuah lembaga pendidikan bertanya dan meminta akreditas prodi/institusi. Mereka (alumni) dapat meminta kepada unit yang bersangkutan (BAKK/prodi).

 

Dari penjelasan di atas, ada arsip yang dapat diakses ke publik dan tidak dapat diakses ke publik. Yang dapat diakses ke publik harus sesuai kaidah sistem klasifikasi keamanan dan akses arsip. Jika orang yang mengambil informasi arsip, dimana informasi arsip bersifat tertutup, maka dapat dituntut secara hukum karena menjadi tanggung jawab lembaga/organisasi yang mengelola kearsipannya.

 

Jadi sebenarnya ada informasi arsip yang bersifat terbuka dan tertutup. Jika orang ingin mengetahui informasi dari sebuah arsip maka bisa melakukan pinjam arsip. Itupun, lembaga/organisasi harus memperhatikan sifat akses arsip tersebut (apakah terbuka atau tertutup). Jika tertutup, maka tidak boleh dipinjamkan arsip tersebut.

 

Disinilah, letak kebocoran data, dimana mengambil informasi suatu arsip lembaga/organisasi yang tanpa izin dari lembaga tersebut. Simpelnya, bahwa yang mengambil informasi arsip adalah pencuri. Seharusnya izin terlebih dahulu dengan pinjam arsip. Ingat dimana pengguna akses pun ada tahapan/tingkatannya. Bagi yang mengambil data/informasi arsip, bisa dikenakan sanksi hukum karena telah melanggar aturan hukum sebuah arsip/informasi. []

 

Agung Kuswantoro, Kepala UPT Kearsipan dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang

 

Semarang, 20 September 2022

Ditulis di UPT Kearsipan UNNES jam 10.30 – 10.55 WIB

 

 

Kajian Arbain Nawawi (40): Memuliakan Tetangga dan Tamu

Kajian Arbain Nawawi (40): Memuliakan Tetangga dan Tamu

Oleh Agung Kuswantoro

 

Lanjutan hadist ke-15 dari Kitab Arbain Nawawi mengenai empat akhlak penting. Kemarin sampai (nomor) kedua. Sekarang, (nomor) ketiga, memuliakan tetangga merupakan parameter keimanan kepada Allah SWT dan hari Akhir. Hadist Rasulullah saw. menyebutkan bahwa ketidakpedulian terhadap tetangganya yang kesulitan merupakan tanda taatnya iman. Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah saw, bersabda:

“Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang dan tetangga disampingnya kelaparan, padahal dia tahu.

 

Keempat, memuliakan tamu juga merupakan parameter kualitas iman seseorang. Dengan kata lain, bagusnya iman seseorang bisa terlihat dari perilaku dan pelayanan seseorang terhadap tamunya. Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Makna hadist bahwa siapa saja yang berkomitmen terhadap syari’at Islam maka wajib baginya memuliakan tetangga dan tamunya serta berbuat baik kepada keduanya.”

 

 

Bersambung.

Semarang, 1 Oktober 2022

Ditulis di Rumah jam 18.15-18.23 Wib.

 

Kajian Arbain Nawawi (39): Berkata Baik Atau Diam?

Kajian Arbain Nawawi (39): Berkata Baik Atau Diam?

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hadist ke-15 dari kitab Arbain Nawawi menyebutkan “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka muliakanlah tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka muliakanlah tamunya”.

 

 

Hadist tersebut mengandung empat akhlak penting. Yaitu, pertama, kualitas iman seseorang terhadap Allah SWT dan hari Akhir ditentukan oleh sikapnya terhadap dirinya – yaitu berkata baik atau diam – dengan manusia lain khususnya sesama Muslim.

 

Kedua, berkata yang baik lebih utama dibandingkan diam. Namun, jika tidak bisa berkata baik, diam lebih utama. Ini yang berbeda dengan pemahaman budaya “orang barat” yang menyebutkan silent is gold (diam itu emas). Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: “Kami telah meriwayatkan dari Ustadz Abu al-Qasim al-Qusyairi rahimahullah, dia berkata, “Diam membawa keselamatan dan itulah hal yang menjadi dasar.

 

Menurut Kiai Hasan (2020) mengatakan: diam pada waktunya adalah sifat kesatria laki-laki sebagaimana berbicara pada tempatnya merupakan di antara perangai paling mulia.” Dia (al-Qusyairi) berkata, “Aku mendengar Abu Ali ad-Daqaq berkata, “Barangsiapa yang diam dari kebenaran maka dia adalah setan bisu.”

 

Bersambung.

Semarang, 1 Oktober 2022

Ditulis di Rumah jam 18.00-18.12 Wib.

Mengapresiasi Tulisan dengan Membaca

Mengapresiasi Tulisan dengan Membaca
Oleh Agung Kuswantoro

Ketika seorang—ternyata ia adalah dosen dari perguruan tinggi negeri di Indonesia—ingin membeli dan membaca buku saya, saya merasakan sangat senang. Memang beberapa buku yang saya tulis tidak diperjualbelikan di Gramedia atau penjualan online. Jadi, pemesanan langsung lewat saya.

Saya menyadari bahwa “segmen pasar” dari buku saya itu kecil. Lagi pula, saya menulis itu, bukan karena suatu kewajiban profesi (baca: dosen) dan berbisnis tetapi karena senang menulis saja. Jadi asal tulis, tanpa ada pikiran jadi buku atau artikel ilmiah atau popular.

Kembali ke paragraf awal. Orang tersebut, WA ke saya, bertanya: “Apakah ini nomor HP/WA Agung Kuswantoro? Saya menjawab: “ya”. Langsung dia menyampaikan keinginannya untuk membaca dan memahami buku yang bertema elektronik kearsipan.

Sikap orang tersebut bagi saya adalah salah satu bentuk mengapresiasi dari tulisan. Selain itu, cara mengapresiasi tulisan adalah laporan dari penerbit mayor terkait penjualan buku saya dengan tema administrasi perkantoran berbasis komputer. Penerbit tersebut menyampaikannya dengan rapi atas buku saya yang terjual. Alhamdulillah bagi saya dapat rezki berupa royalti. Sekali lagi saya menulis ya asal menulis saja, tidak berpikiran menulis untuk mendapatkan royalti.

Apresiasi terbesar dari sebuah tulisan adalah dibacanya tulisan yang ditulis penulis. Terlebih, tulisan tersebut mendapatkan komentar dari pembaca. Rasanya, senang sekali. Itulah suatu kebahagiaan seorang penulis.

Semoga kita masih tetap semangat untuk menulis dan menjadi manusia yang ingin selalu belajar dengan cara menulis. Demikian juga, Anda! Amin. []

Semarang, 27 September 2022
Ditulis di Rumah jam 20.40 – 20.53 Wib.

Bermasyarakat

 

Bermasyarakat
Oleh Agung Kuswantoro

Sendiri itu lebih mudah dalam menyelesaikan masalah, tetapi bersama-sama/banyak orang seharusnya pun lebih mudah dalam menyelesaikan masalah. Namun, justru (terkadang) hal itu, lebih susah. Misal: bermasyarakat. Bermasyarakat bisa dikatakan mudah dan susah. Terlebih, kita sebagai “pendatang”.”Pendatang” belum tentu diterima oleh masyarakat setempat.

Berbuat baik, belum tentu dinilai berbuat baik oleh masyarakat. Plural/beraneka ragam itulah yang menjadi salah satu faktornya. Belum lagi, tingkat pemahaman informasi, ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat setempat dengan pendatang, pasti berbeda.

Sekali lagi, bermasyarakat tidaklah mudah. Sepahaman saya saat Nabi Muhammad Saw di Mekkah saat awal Islam ada, susah bermasyarakat. Karena, masyarakat masih jahiliyah/bodoh/belum paham. Untuk salat saja, harus bersembunyi. Sehingga, kondisi yang tidak memunginkan menjadikan Nabi Muhammad Saw untuk pindah ke Madinah. Allah Swt yang memerintahkan pindah/hijrah.

Sebuah pembelajaran bagi kita, ternyata bermasyarakat “sekelas” Nabi Muhammad Saw saja, tidak langsung mudah. Butuh proses. Yang penting semangat untuk bermasyarakat tetap ada. Apa mungkin jalannya harus hijrah/pindah atau diam saja di tempat tersebut adalah pilihan. Karena bermasyarakat butuh kesabaran. Semoga kita bisa menjadi manusia yang mampu bermasyarakat di tempat kita tinggal. Amin. []

Semarang, 18 September 2022
Ditulis di Rumah jam 08.05 – 08.15 Wib.

Kajian Arbain Nawawi (38): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat)

Kajian Arbain Nawawi (38): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Masih mengkaji hadist ke-14: “jiwa dengan jiwa (membunuh)”. Maksudnya adalah seseorang yang membunuh orang lain maka pelakunya harus dihukum mati. Itupun setelah mendapatkan vonis dari mahkamah syari’at yang membuktikannnya dan dieksekusi oleh Negara.

 

Syekh Ibnu al-Utsaimin rahimahullah dalam Hasan (2020) mengatakan, “iiwa dengan jiwa maksudnya adalah qishaash, yaitu jika seseorang membunuh orang lain secara sengaja, dia juga hendaklah dibunuh dengan syarat-syarat yang sudah diketahui.”Namun, jika pembunuhan terjadi secara tidak sengaja, tidaklah di-qishaash.

 

Lanjutan hadist tersebut adalah: “dan orang yang meninggalkan agamanya, dia memisahkan diri dari jamaah”. Maksudnya adalah orang yang murtad. Murtad merupakan “kriminalitas spiritual” tertinggi sehingga pelakunya harus dibunuh. Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Hasan (2020), “ini adalah secara umum bagi setiap orang yang murtad dari Islam, dalam keadaan apa pun, wajib membunuhnya jika dia tidak kembali pada Islam.

 

Ulama mengatakan, “Ini juga berlaku untuk semua yang keluar dari jamaah (kaum Muslimin), berupa melakukan bid’ah, berontak, atau selain keduanya. Begitu pun, kaum Khawarij, wallahu’alam. Al-Allamah Ibnu al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “meninggalkan agamanya (maksudnya) adalah dengan itu, dia murtad dengan segala macam bentuk riddah (kemurtadan). Sabdanya memisahkan diri dari jamaah, ini merupakan sambungan penjelasannya, yaitu bahwa orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang memisahkan diri dari jamaah, dia keluar darinya.”

 

Demikianlah syarah dari hadits keempat belas. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan Kiai Bisyri Mustofa, Rembang.

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

 

Catatan: Materi pernah disampaikan di kajian rutin usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Madrasah di Rumah (9): Maulud Nabi

 

Madrasah di Rumah (9): Maulud Nabi
Oleh Agung Kuswantoro

Menjelang bulan Maulud Nabi Muhammad SAW 1444 Hijriyah, saya dan kedua putra saya serta istri, seperti biasa melakukan madrasah dengan materi tarikh/sejarah Nabi Muhammad SAW. Madrasah seperti biasa diawali dengan solat berjamaah, asmaul husna, materi kajian.

Sejarah singkat mulai dari lahir hingga meninggal dunia ditambah dengan peristiwa-peristiwa khusus yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Berbagai referensi yang saya gunakan adalah kitab tarikh Nabi Muhammad (versi kitab jawa pegon), Sirah Nabi Muhammad (Quraisy Shihab), dan Muhammad Sang Yatim (Muhammad Sameh Said).

Itulah cara kami dalam bermadrasah di rumah. Semoga Bapak Ibu tetap semangat mendampingi putra-putrinya untuk bermadrasah. [ ]

Semarang, 19 September 2022
Ditulis di Rumah jam 20.00 – 20.05 Wib.

Kajian Arbain Nawawi (37): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat) Hadist Ke-14

Kajian Arbain Nawawi (37): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat) Hadist Ke-14

Oleh Agung Kuswantoro

 

Masih mengkaji hadist ke-14: “ats-tsayyib az-zaaniy (orang yang sudah menikah, janda, atau duda yang berzina”

 

Dalam syarah Arbain Nawawi menurut Kiai Hasan (2020) Maksud kalimat tersebut adalah zina muhshan. Ulama telah menyepakati (ijma) bahwa pelakunya harus dirajam sampai meninggal (mati). Imam Abu al-Abbas al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Ats-tsayyib di sini adalah al-muhshan. Ini adalah nama jenis, termasuk didalamnya laki-laki dan perempuan. Ini adalah hujjah atas apa-apa yang telah disepakati kaum Muslimin. Diantara hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah rajam”.

 

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, “sabdanya: orang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina, (ini) mengisyaratkan pada apa-apa yang telah disepakati kaum muslimin, (yaitu) berupa rajam”.

 

Adapun untuk gadis atau perjaka yang berzina (ghairu muhshan), para ulama juga telah ijma’ bahwa mereka didera (dicambuk) seratus kali. Syekh Sayyib Sabiq rahimahullah mengatakan, “Para fuqaha telah bersepakat bahwa gadis merdeka jika dia berzina, dia dihukum jilid (cambuk atau dera) seratus kali, sama saja baik laki-laki maupun perempuan, karena Allah SWT berfirman (surah an-Nuur ayat 2), “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing keduanya seratus kali. Janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah jika engkau beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman”. Wallahu ‘alam.

 

Bersambung.

 

Sumber: Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Belajar dengan Prof. Nasaruddin Umar

Belajar dengan Prof. Nasaruddin Umar
Oleh Agung Kuswantoro

“Belajar tak kenal waktu dan selektiflah dalam memilih guru”, itulah kalimat bijak yang saya dapatkan dari seorang guru.

Alhamdulillah, atas izin Allah SWT saya masih dan istikamah belajar bersama Prof. Nasaruddin Umar/Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Saya sangat kagum dan hormat dengan Prof. Nasaruddin Umar dengan ilmu, akhlak, tawadhu’ dan filosofi hidupnya.

Mendapatkan kabar Prof. Nasaruddin Umar berada di UNISSULA, saya dan keluarga mengatur waktu agar bisa salat Jumat di masjid UNISSULA (9 September 2022).

Atas izin Allah, saya dipertemukan dan berdialog 2-4 menit, dan Prof. Nasaruddin Umar menandatangani buku karyanya yang sudah saya dapatkan di toko buku. Senang rasanya bisa bertatap muka dengan Prof. Nasaruddin Umar, yang biasanya hanya melalui zoom meeting “teasofi” dan kajian di Masjid Istiqlal via youtube.

Ceramah/khutbah saat di Masjid UNISSULA berisikan (1) orang tua itu tidak hanya orang tua di rumah saja; tetapi dosen/guru adalah orang tua kita sehingga nasihat guru/dosen harus didengar oleh mahasiswa, (2) Tirulah contoh terbaik ini: suami paling soleh (Nabi Luth), istri paling solehah (istri Fir’aun); anak paling soleh (Nabi Ismail), dan anak paling buruk/bejat (Kan’an/anak Nabi Nuh). Contoh-contoh yang baik harus diikuti dan contoh yang buruk harus dihindari.

Usai khutbah saya berusaha mendekati ke arah mimbar Imam. Alhamdulillah saya dapat maju ke sof/barisan ke-2 dari Imam. Usai salat Jumat, saya berada di sof ke-1 (belakang Imam) untuk salat ba’diyah salat Jumat. Saya izin ke panitia untuk minta tanda tangan. Alhamdulillah, diizinkan. Lalu, saya mendekat dan dialog dengan Prof. Nasaruddin Umar.

Saya mengenalkan diri. Lalu, saya juga menyampaikan bahwa beberapa waktu yang lalu saya pernah berkirim surat ke Prof. Nasaruddin Umar ke “NUO” terkait izin materi-materi kajian yang pernah saya tulis bersumber dari Prof. Nasaruddin Umar.

Saya mengajak istri (Lu’lu’ Khakimah) dan kedua anak saya (Mubin dan Syafa’) saat salat Jumat. Usai salat Jumat, saya dan istri mohon agar didoakan kebaikan untuk keluarga saya. Njaluk dongo, istilahnya.

Terima kasih Prof. Nasaruddin Umar atas kesempatan dan waktunya untuk bersedia bertatap muka dan berdialog “hati”.

Terima kasih pula saya ucapkan kepada Rektor UNISSULA, takmir Masjid UNISSULA, Pak Dokter Yani UNISSULA, Bu Endang UNISSULA, dan sekretaris Prof. Nasaruddin Umar (Mas Ahdar) atas informasinya. Semoga kita semua menjadi probadi yang baik di mata Allah sebagaimana contoh teladan yang disampaikan oleh Prof. Nasaruddin Umar. Amin. []

Semarang, 10 September 2022
Ditulis di Rumah jam 03.00 – 03.30 Wib.

Kajian Arbain Nawawi (36): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat)

Kajian Arbain Nawawi (36): Makna Hadis Secara Spesifik (Kalimat)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hadist ke-14 Arbain Nawawi mengatakan: Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Untuk makna dari tersebut, saya mengambil dari Kiai Hasan (2020). Maksud haram darah seorang Muslim adalah orang yang telah mengikrarkan kalimat syahadat (Tiada Tuhan, selain Alllah, dan sesungguhnya (Muhammad) adalah rasulullah) – untuk ditumpahkan (dibunuh). Hal ini sesuai hadist dari Rasulullah Saw: “Sesungguhnya, darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian, haram atas kalian (untuk diganggu)”.

 

Para ulama memaknai hadist ini, tidak halal darah seseorang muslim sebagai keharaman membunuh seorang Muslim. Syekh Ibnu al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Tidak halal darah seseorang muslim, yaitu tidak halal membunuhnya. Kami menafsirkannya demikian karena itu sudah dikenal (ma’ruf) dalam bahasa Arab. Syekh Isma’il al-Anshari rahimahullah mengatakan: “Tidak halal darah seseorang artinya tidak boleh menumpahkan darahnya. Maksudnya adalah larangan membunuhnya walaupun darahnya tidak tumpah. Muslim di sini adalah siapa  saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat secara sadar dan ridha maka terjaga jiwa mereka, serta kita pun dilarang menyakiti mereka.

 

Jika salah satunya terjadi, atau dua, apalagi semuanya, mereka boleh ditumpahkan darah mereka karena tiga keadaan tersebut. Syekh Muhammad bin Isma’il al-Anshari menjelaskan mengapa tiga hal ini jika dilakukan, pelakunya wajib dibunuh, “Perbuatan yang dengannya wajib bagi imam (pemimpin) untuk membunuh atau memeranginya karena terdapat maslahat yang luas di dalamnya, yaitu penjagaan terhadap jiwa, nasab, dan agama”. Imam Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah mengatakan, “Ketiga hal ini merupakan alasan kemubahan ditumpahkannya darah berdasarkan nash.” Dia juga mengatakan, “Jadi, maksudnya adalah tidak halal menyengaja bermaksud untuk membunuh, kecuali  tiga hal ini, wallahu’alam.

 

Sumber: Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.